sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Menurunkan emisi karbon demi patuh komitmen

PLTS menjadi salah satu upaya untuk memperbaiki perubahan iklim.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Minggu, 06 Des 2020 11:47 WIB
Menurunkan emisi karbon demi patuh komitmen

Media sosial belum lama ini dihebohkan soal isu perubahan iklim. Pangkalnya, kreator TikTok @iben_ma mengunggah konten video berisi wawancara dengan sejumlah anak muda soal perubahan iklim. Dalam video yang telah ditonton oleh hampir 30.000 orang tersebut, sederet narasumber mengaku merasakan perubahan iklim.

Iben juga mengajukan sejumlah pertanyaan, termasuk soal upaya memperbaiki iklim dengan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Video Iben semakin viral setelah menjadi sorotan komika Arie Kriting. Arie mencuit melalui @Arie-Kriting. Menurut dia, semua orang peduli soal kelestarian lingkungan, namun tak mengetahui informasi secara komplet.

"Pada dasarnya semua orang peduli dan mendukung kelestarian lingkungan. Cuma mungkin informasinya masih belum banyak diketahui. Gak apa-apa, yang penting peduli dulu. Semoga makin banyak yg berpartisipasi dlm isu ini kedepannya," cuit Arie. Tercatat 423 netizen membubuhkan tanda suka dalam unggahan tersebut.

Banyak netizen yang menaggapi cuitan Arie. Menurut warganet, pemerintah harus lebih serius menggaungkan ajakan soal peduli lingkungan.

Sebenarnya, apa sih yang terjadi kok tiba-tiba isu perubahan iklim dan energi terbarukan jadi viral?

Pemerintah tengah gencar mengembangkan PLTS sebagai salah satu bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) guna mengurangi emisi dan gas rumah kaca (GRK). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat produksi PLTS telah mencapai 146,6 megawatt (MW) per kuartal I-2020. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang disetujui oleh Kementerian ESDM, sebanyak 804,9 MW listrik akan dihasilkan dari PLTS pada 2025. Di tahun yang sama, pemerintah menargetkan bauran energi surya sebesar 23% dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

Executive Director Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa memprediksi komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi GRK sebesar 29% pada 2030 sesuai Perjanjian Paris (Paris Agreement) akan tercapai apabila meningkatkan bauran EBT. Dia menghitung, jika target bauran energi bersih pemerintah tercapai 23% pada 2025, maka akan terjadi penurunan emisi GRK sebesar 109 juta ton di 2025, dan 170 juta ton di 2030.

Selain menurunkan emisi GRK, bauran EBT juga diyakini Fabby akan membuka 1,3 juta lapangan pekerjaan baru.

Sponsored

"Dari amatan International Renewable Energy Agency (IRENA), jika energi terbarukan meningkat 23% di 2025 dan lebih dari 30% di 2030, maka potensi lapangan kerja yang tercipta sebesar 1,3 juta di 2030," ujar Fabby saat dihubungi, Jumat (4/12).

Dia melanjutkan, dari estimasi IESR, untuk setiap 1 GWp PLTS atap yang terpasang, nantinya dapat menciptakan lapangan kerja untuk 20.000 hingga 30.000 orang.

Fabby mengingatkan, jika fokus pemerintah ada pada penurunan emisi gas rumah kaca, maka bauran EBT harus ditingkatkan dan dioptimalkan untuk mengganti pembangkit listrik berbahan bakar fossil, seperti PLTU batubara.

Dari riset yang dilakukan IESR, lanjutnya, pada 2030 seharusnya bauran EBT bisa mencapai 35% hingga 40% dan pada 2050 mencapai di atas 70%. Selain itu, menurutnya perlu dilakukan penutupan PLTU batu bara secara bertahap sejak 2030, jika pemerintah ingin meningkatkan bauran EBT.

"Perlu dilakukan penutupan PLTU batu bara secara bertahap sejak 2030, dan peningkatan efisiensi energi, untuk menurunkan tingkat pertumbuhan permintaan listrik tanpa mengurangi kualitas pasokan listriknya," tuturnya.

Data Kementerian ESDM menunjukkan realisasi energi nasional EBT di 2019 baru sekitar 9% atau lebih kecil ketimbang batu bara yang mencapai 37%. Pemerintah menargetkan bauran EBT naik menjadi 23% di 2025 dan 31% di 2050. Sedangkan batu bara turun menjadi 25% di 2025 dan 20% di 2050.

Pemerintah saat ini merancang Peraturan Presiden (Perpres) untuk menambah daya tarik investasi energi terbarukan. Perpres ini bertujuan untuk mengejar porsi bauran energi bersih yang ditargetkan mencapai 23% pada 2025.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif sebelumnya mengatakan, ketergantungan kepada energi impor menjadi salah satu tantangan berat pemerintah dalam menjaga ketahanan energi nasional.

"Di sisi lain, kita dikaruniai sumber EBT yang melimpah, dengan total potensi mencapai lebih dari 417,8 GW, namun baru dimanfaatkan sebesar 10,4 GW atau sekitar 2,5%," kata Arifin, (23/11).

Perangkat pendukung seperti Perpres dan program-progam pengembangan disiapkan guna meningkatkan daya tarik investasi di sektor EBT. Pasalnya, sumber EBT yang besar di Indonesia belum sepenuhnya dimanfaatkan.

Menurut Arifin, program yang akan dilakukan Renewable Energi Based Industri Development (REBID) dan Renewable Energy Based on Economic Development (REBED) untuk penciptaan pasar baru.

Kemudian, mendorong peningkatan kapasitas pembangkit listrik EBT dengan memastikan komitmen pihak terkait dalam pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga (PLT) EBT sesuai RUPTL (Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik). Selanjutnya, pengembangan PLT Surya dan PLT Bayu skala besar untuk menciptakan pasar yang menarik bagi investor dan mengembangkan industri lokal.

Upaya selanjutnya adalah memaksimalkan penerapan Bioenergi, melalui percepatan pembangunan PLT Sampah di 12 Kota, PLT Uap biomasa co-firing, program B30, serta program pembangunan green refinery.

"Pengembangan panas bumi berbasis wilayah melalui program Flores Geothermal Island, yaitu pemenuhan beban dasar listrik di Pulau Flores dari panas bumi dan optimalisasi pemanfaatan langsung dari panas bumi. Juga peningkatan kualitas data dan informasi panas bumi melalui program eksplorasi panas bumi oleh Pemerintah, untuk mengurangi risiko eksplorasi yang dihadapi pengembang," terang Arifin.

Pemerintah juga mendorong pemanfaatan EBT dengan pengembangan kluster ekonomi seperti Kawasan Ekonomi Khusus, Kawasan Industri dan Kawasan Wisata Unggulan, serta melakukan modernisasi infrastruktur ketenagalistrikan melalui smart grid.

"Kami juga mengusahakan fasilitas pendanaan berbiaya rendah untuk investasi Energi Terbarukan. Terakhir, memanfaatkan waduk untuk PLTS terapung sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 6 Tahun 2020," ujar Arifin.

Pembiayaan

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam acara “High Level Opening Dialogue of the Green Climate Fund Private Investment for Climate Conference" menegaskan kendati tengah menghadapi pandemi Covid-19, namun Indonesia tetap teguh pada komitmen isu-isu yang berkaitan dengan perubahan iklim.

Sebelum Covid-19, katanya, Indonesia sudah membuat fondasi pada pelaksaaan ekonomi hijau, dan yang membutuhkan beberapa kebijakan strategis terkait iklim lainnya. Program penanganan perubahan iklim telah dimasukkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, dengan strateginya yaitu pembangunan rendah karbon.

Di samping itu, dari sisi pembiayaan, Indonesia telah menerbitkan Soverign Global Green Sukuk setiap tahunnya sejak 2018, dengan total nominal yang berhasil dihimpun sebesar U$2,75 miliar. Dari pembiayaan ini dialokasikan untuk membiayai transportasi yang berkelanjutan seperti pembangunan jalur rel ganda dan pembangunan kapal yang hemat energi. Pemerintah juga mengalokasikan dari dana tersebut untuk mitigasi banjir dan daerah rentan bencana serta akses terhadap sumber energi yang terbarukan. Lalu, pemerintah menggunakan dana ini untuk proyek pengelolaan limbah dan efisiensi energi di seluruh negeri.

“Proyek-proyek tersebut diharapkan dapat mengurangi emisi sekitar 8,9 juta ekuivalen CO2,” tutur Sri Mulyani.

Pemerintah juga telah menerbitkan green sukuk ritel pertama dunia pada tahun 2019 dengan total investasi sebesar US$100 juta.

Pada saat menghadapi pandemi Covid-19 sekarang ini, Menkeu mengatakan pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar hampir US$408 miliar untuk stimulus fiskal guna mengatasi pandemi serta program pemulihan ekonomi. Stimulus fiskal ini sebesar 29% di antaranya digunakan untuk skema perlindungan sosial, sedangkan 42%-nya untuk insentif perpajakan, kredit dan stimulus untuk UMKM, BUMN serta korporasi. Stimulus ini juga termasuk pendanaan untuk proyek hijau padat karya seperti proyek respirasi mangrove yang mencakup 50.000 hektare dan mempekerjakan 25 .000 tenaga kerja.

“Jadi saat menghadapi krisis ini tetap bisa menciptakan lapangan pekerjaan tetapi juga dalam waktu yang sama melaksanakan beberapa proyek hijau,” tuturnya.

Infografik. Alinea.id/Firgie Saputra.

Menurutnya, pemerintah juga mendorong keterlibatan sektor swasta dalam upaya implementasi green economy. Dalam lima tahun terakhir, yaitu antara tahun 2016-2020, Indonesia telah mampu mendanai sekitar 34% kebutuhan dasar untuk pembiayaan penanganan perubahan iklim secara nasional setiap tahunnya. Untuk mengisi celah pembiayaan 66% ini, sektor swasta didorong dapat berperan dalam partisipasi pembiayaan untuk mendorong aksi iklim.

“Sektor swasta bisa berperan penting dalam pengembangan dan pelaksanaan proyek iklim karena memiliki keahlian pada sektor khusus, teknologi dan efisiensi serta sumber pembiayaan.” ujarnya.

Berita Lainnya
×
tekid