sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Nyanyian kebebasan di pentas Sita Nursanti

Sita Nursanti, yang memulai debutnya di dunia hiburan dengan menjadi backing vocal untuk penyanyi rap Iwa K.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Kamis, 14 Mar 2019 16:24 WIB
Nyanyian kebebasan di pentas Sita Nursanti

Aktris dan penyanyi Indah Sita Nursanti semringah karena diikutkan dalam konser musikal bertajuk “Cinta tak Pernah Sederhana.” Konser musikal ini akan menghadirkan puisi-puisi cinta karya sastrawan ternama, antara lain Subagio Sastrowardoyo, WS Rendra, Putu Wijaya, Chairil Anwar, Wiji Thukul, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Joko Pinurbo.

Karya-karya tersebut sudah dikurasi sang sutradara pertunjukan, penyair Agus Noor. Selain Sita, artis lainnya, seperti Reza Rahadian, Chelsea Islan, Marsha Timothy, Atiqah Hasiholan, dan Teuku Rifnu Wikana ikut manggung.

Pertunjukan itu akan diadakan pada 16 dan 17 Maret 2019 di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Perempuan pemuja penyair

Sore itu, reporter Alinea.id berbincang dengan Sita tentang perannya dalam konser musikal, dunia kesenian, dan seniman perempuan.

“Ini kebahagiaan buat saya. Karena ini konser musikal, saya senang banget. Ada bagian bernyanyi yang saya suka,” kata Sita ketika berbincang dengan reporter Alinea.id di Kafe Sastra Balai Pustaka, Matraman, Jakarta Timur, pekan lalu.

Sponsored

Sita, yang memulai debutnya di dunia hiburan dengan menjadi backing vocal untuk penyanyi rap Iwa K dan pengisi soundtrack sinetron Trauma Marisa ini, namanya dikenal publik kala menjadi bagian dari grup trio vokal Rida Farida, Sita Nursanti, Dewi Lestari Simangunsong (RSD) pada 1990-an.

Grup vokal ini melahirkan album Antara Kita (1995), Bertiga (1997), Satu (1999), dan The Best of Rida Sita Dewi (2002). Pada 2003, RSD menyatakan menanggalkan aktivitas bermusik.

Bukan pertama kali ini Sita terlibat dalam karya pertunjukan musikal. Pada 2001, ia berakting dalam drama musikal “Nyai Dasima”. Lalu, pada 2016 ia bermain dalam drama musikal “Jejak Langkah Negeriku”. Pada 2017, ia turut terlibat dalam produksi pertunjukan teater “Perempuan-perempuan Chairil”.

Bagi Sita, keterlibatannya dalam konser musikal kali ini, membuat ia jatuh cinta pada keindahan puisi. Perempuan kelahiran Sumedang, 27 Agustus 1974 itu nanti akan berperan sebagai perempuan pemuja penyair.

“Ketika mendapatkan tawaran dalam konser musikal puisi-puisi ini, saya langsung mencari tahu. Puisi-puisinya apa saja, karya sastrawan siapa saja,” kata Sita, yang rajin berdiskusi dengan Agus Noor untuk mendalami karakternya.

Usai membaca-baca puisi yang tersusun dalam sebuah naskah cerita, Sita terkesan dengan salah satu larik sajak di dalam lakon.

“Bagiku jatuh cinta ialah pelajaran terbaik sebelum dan sesudah sakit. Dan aku memilih diam-diam mencintaimu seperti perasaan-perasaan yang rela dilupakan,” tutur Sita, mengutip satu larik yang menjadi dialognya dalam cerita tersebut.

“Puisi ini sangat dalam, jleb banget,” kata Sita.

Sita mengatakan, sosok perempuan yang mencintai penyair secara diam-diam, punya keunikan tersendiri. Salah satunya, membuat si penyair tersadar akan kesalahannya selama ini.

“Ketika dia (perempuan) berjumpa dengan si penyair, dia menyadarkan si penyair bahwa selama ini dia selalu menolak tentang cinta. Di pertemuan itulah, penyair sadar untuk tak lagi menolak cinta,” tutur Sita.

Sita merasa tertantang dengan proses yang dijalani dalam konser musikal ini. Meski telah terbiasa bermain seni peran, pertunjukan yang didukung permainan alat musik menuntutnya untuk membawakan dialog dalam iringan melodi.

“Karena ini adalah konser musikal, ada bagian yang disampaikan seperti musikalisasi puisi. Ada puisi yang dibawakan dalam melodi. Ada juga koreografinya,” ujarnya.

Kemampuan akting pun bukan pengalaman baru baginya. Selain di panggung, Sita juga pernah bermain di sejumlah film, seperti Gie (2005), Jakarta Undercover (2007), Hijab (2015), dan A Man Called Ahok (2018).

Seni dan perempuan

Dalam pertunjukan produksi bersama Titimangsa Foundation dan PT Balai Pustaka yang diproduseri Happy Salma itu, Sita mengaku terus menimba pengalaman dan pembelajaran. Sita pun mengaku senang dengan kolaborasi bersama aktor-aktor lainnya nanti.

Menurut Sita, gairah positif kerja sama antarelemen di dalam seni pertunjukan menjadi bangunan utama sebuah karya seni bisa diterima dengan baik oleh publik.

Demi menjamin hal itu, kata Sita, setiap seniman perlu menyadari fungsi sosialnya. Sebab, kata dia, setiap karya seni merupakan ungkapan personal dalam diri setiap orang yang perlu disampaikan.

“Karya seni adalah sebuah bentuk ekspresi, katarsis, serta curahan hati seniman tentang apa yang terjadi dalam kehidupannya, dan kehidupan di sekitarnya. Seniman memiliki tanggung jawab sosial dalam berkarya,” kata Sita.

Menyoal karya seni yang tak jarang dibelenggu oleh tanggapan miring, penolakan, ataupun sensor dari pihak-pihak tertentu, Sita sangat menyayangkan hal itu.

“Saya rasa karya seni adalah suatu hal yang tidak perlu dicurigai. Ada baiknya seniman diberikan kebebasan,” ujarnya.

Sebagai salah seorang seniman perempuan dengan catatan rekam karya yang beragam, Sita melihat pentingnya kesetaraan gender. Ia memberikan semangat kepada sesama perempuan, terutama yang aktif dalam bidang seni dan budaya, untuk produktif menelurkan karya. Meski dalam kondisi terbatas.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan rasa sedihnya saat mengingat seorang rekan sesama seniman perempuan yang tak lagi bisa berkarya, karena terlalu sibuk dengan urusan rumah tangga. Menurut Sita, perihal urusan domestik tak sepatutnya menjadi penghalang perempuan untuk mengembangkan bakatnya, termasuk di bidang seni.

“Walaupun perempuan, kami adalah makhluk yang sama dengan laki-laki. Dari sisi hak untuk berekspresi, kita adalah makhluk yang sama,” tutur Sita.

Waktu terus merambat. Sita pun bermaksud undur diri. Ia menyampaikan sebuah harapan kepada seniman perempuan untuk terus berkarya.

“Jangan takut untuk bermimpi, tetap berkarya dalam bentuk apapun, dalam kondisi apapun,” ucap Sita.

Berita Lainnya
×
tekid