sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Riri Riza dan Mira Lesmana bicara film dan politik

Film Kuldesak (1997) menjadi awal kerja sama Riri Riza dan Mira Lesmana.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Sabtu, 30 Mar 2019 15:00 WIB
Riri Riza dan Mira Lesmana bicara film dan politik

Mohammad Rivai Riza atau yang lebih dikenal Riri Riza dan Mira Lemanawati alias Mira Lesmana adalah dua sineas yang sudah malang-melintang di dunia sinema tanah air. Riri dan Mira pertama kali bekerja sama sebagai sutradara dalam film Kuldesak (1997), bersama Nan Achnas dan Rizal Mantovani.

Pada 2000, Riri dan Mira kembali berduet. Hasilnya, film Petualangan Sherina yang begitu diminati masyarakat kala itu, dengan pemeran utama penyanyi cilik Sherina. Dalam film tersebut, Riri menjadi sutradara, sedangkan Mira sebagai produser.

Pada 2002, mereka menjadi produser film Ada Apa dengan Cinta? Lantas, pada 2007 Riri kembali menjadi sutradara dan Mira produser, dalam mengerjakan film 3 Hari untuk Selamanya yang dibintangi Nicholas Saputra dan Adinia Wirasti.

Kemudian, berturut-turut menggarap film Laskar Pelangi (2008) berdasarkan novel populer Andrea Hirata, Atambua 39 Celcius (2012), dan Pendekar Tongkat Emas (2014) yang sama-sama jadi produser. Semua film mereka punya tempat di hati para penggemar film nasional, dan sarat akan makna.

Terbaru, mereka menggarap film Bebas. Di film ini, Riri bertindak sebagai sutradara. Sedangkan Mira menjadi penulis naskah dan produsernya. Rencananya film tersebut bakal tayang di bioskop tahun ini.

Film ini merupakan adaptasi dari film drama komedi asal Korea Selatan berjudul Sunny (2011) produksi CJ Entertainment. Sunny mengangkat tema persahabatan berlatar tahun 1980-an. Saat itu, Korea Selatan tengah terjadi pergolakan politik, sosial, dan budaya. Film ini sangat populer di Korea Selatan pada 2011.

Film Bebas adalah proyek pertama Miles Films berkolaborasi dengan rumah produksi luar negeri, sekaligus film adaptasi pertama yang mereka kerjakan.

“Film Sunny ini menurut kami punya spirit yang sangat penting sekali untuk bisa kita Indonesia-kan. Karena menurut saya film ini membawa kita mempertanyakan kembali jati diri kita,” kata Mira Lesmana saat ditemui usai konferensi pers film Bebas di Dhonika Eatery, Cilandak, Jakarta Selatan, Selasa (12/3).

Sponsored

Film yang sarat sosial-politik

Film-film produksi Miles Films, yang digarap Riri dan Mira selalu menarik ditonton. Riri mengemukakan alasannya. Menurutnya, film-film produksi Miles Films kerap menghadirkan muatan-muatan sosial-politik ke dalam film.

Selain itu, film-film mereka bisa ditonton hingga waktu yang lama. “Kami baru saja memutar ulang Kuldesak yang dibuat tahun 1998, dan ia bicara tentang apa saja yang menjadi kegelisahan di tahun 1998,” kata Riri.

Film Bebas pun memenuhi unsur-unsur yang disebutkan Riri tadi. Menurut dia, film ini berbicara dua hal. Pertama, menggambarkan bagaimana kehidupan pertengahan 1990-an. Kedua, menggambarkan bagaimana kehidupan masyarakat Indonesia di masa sekarang.

“Film ini akan bicara bagaimana kehidupan pertengahan 1990-an dan bagaimana kehidupan kita sekarang. Jadi, kalau ditonton 20 tahun lagi, dia akan menjadi sesuatu yang penting,” ujar Riri. “Timeless,” kata Mira menimpali.

Mereka pun berkomentar tentang situasi politik menjelang pemilu. Mira sendiri menggambarkan situasi politik membuat hubungan interpersonal, seperti kedekatan dan kebersamaan menjadi langka. Menurut Mira, film pun tak pernah bisa lepas dari politik.

Sementara Riri mengatakan, saat ini masyarakat mudah terprovokasi. Menurut dia, di masa-masa menjelang pemilu seperti sekarang, seharusnya masyarakat punya kesempatan mengukur kembali kekuatan yang dimiliki sebagai bangsa untuk menentukan perubahan yang lebih baik.

“Ya, apa boleh buat ini juga tahun yang akan sangat menantang. Mudah-mudahan kita dapat melaluinya dengan baik,” kata Riri.

Namun, Riri mengatakan sebagai pembuat film ia memiliki kesempatan untuk mengajak masyarakat merefleksikan kembali apa yang telah mereka lalui dalam hidupnya, juga soal keputusan-keputusan politik yang mereka ambil.

“Kesempatan menjadi pembuat film adalah kesempatan untuk merefleksikan dan mudah-mudahan bisa membuat orang berpikir lagi, kita itu siapa dan tentang Indonesia itu seperti apa,” ujar Riri.

Sumber inspirasi

Riri dan Mira sama-sama alumni Institut Kesenian Jakarta (IKJ), bekerja di bidang yang sama, serta menjadi kolega setia. Dalam proses kreatifnya, Mira dan Riri punya referensi yang serupa.

Mira menyukai dan terinspirasi sineas internasional, seperti Steven Spielberg, Alan Parker, Wim Wenders, dan Stanley Kubrick.

“Mereka orang-orang yang meyakinkan saya bahwa film itu adalah sebuah medium yang penting, yang bisa menjadi bagian dari saya berekspresi,” katanya.

Selain itu, lewat karya-karya sineas idolanya tadi, ia merasa bercerita melalui film, memiliki kemungkinan yang sangat luas. Bahkan mampu membantunya untuk belajar banyak dalam hidup.

Sementara Riri Riza, selain mengagumi nama-nama yang disebutkan Mira tadi, ia juga merasa memiliki keharusan untuk menyebut nama-nama sineas dalam negeri, yang telah memberi pondasi dalam sejarah perfilman di Indonesia.

“Film indonesia pertama dibuat oleh orang lokal, rumah produksi lokal, menggunakan tenaga kreatif, organisasi, dan bintang lokal. Mulai dari tahun 1951, hanya beberapa tahun setelah kita merdeka,” ujarnya.

Ia menyebut nama-nama sineas legendaris film Indonesia, seperti Usmar Ismail, Nya’ Abbas Akup, Sjumandjaja, Teguh Karya, dan Slamet Rahardjo.

“Ini adalah orang-orang yang meletakkan fondasi bagaimana film Indonesia memiliki peran dalam kehidupan kita sehari-hari. Saya selalu ingat karya-karya mereka, yang bagi saya itu penting,” ucapnya.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid