close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Tren urban farming merebak di perkotaan. Alinea.id/Oky Diaz.
icon caption
Tren urban farming merebak di perkotaan. Alinea.id/Oky Diaz.
Sosial dan Gaya Hidup
Selasa, 01 Juli 2025 13:07

Saat urban farming ngetren di kalangan warga miskin DKI

Urban farming di kalangan warga miskin merupakan indikasi perekonomian domestik sedang tidak baik-baik saja.
swipe

Sahrudin, 41 tahun, semringah melihat pohon-pohon cabai yang ia tanam di sebuah lahan di pinggir Kali Mookervart, Cengkareng, Jakarta Barat, mulai berbulir. Bibit pohon-bibit pohon cabai itu baru ia semai sekira dua bulan lalu. 

Sahrudin bukan petani beneran. Sehari-hari, ia berdagang kopi keliling di sekitar Pasar Cengkareng dan Masjid Raya Hasyim Asy'ari Duri Kosambi, Cengkareng. Ia memutuskan bikin urban farming kecil-kecilan demi menghemat ongkos biaya hidup.

"Jadi, pendapatan juga menurun sementara saya harus nyekolahin anak, bayar kontrakan, bayar listrik, bayar air, makan sehari-hari. Biar tercukupi semua, maka harus ada yang irit. Salah satunya, ya, nanem cabai sama tomat," kata Saharudin saat berbincang dengan Alinea.id di Cengkareng, Senin (30/6) lalu. 

Sahrudin mengaku belajar bercocok tanam dari video-video tutorial tentang urban farming yang marak di YouTube. Setelah cukup ilmu, ia memutuskan menanam cabai sebagai eksperimen pertama. Untuk permulaan, ia menanam sepuluh pohon. 

"Tapi, yang bagus kayaknya cuma delapan. Tomat baru rencana mau tanam minggu depan. Tapi, curah hujan lagi terlalu tinggi. Jadi, enggak tahu juga nih," ucap Saharudin sembari membersihkan tangannya yang berlumuran pupuk kompos. 

Urban farming mulai ngetren saat pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Ketika itu, banyak pegawai yang dirumahkan melakoni urban farming untuk "bertahan hidup". Sempat redup, kini urban farming kembali ngetren di kalangan warga miskin perkotaan. 
 
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura, Askur Rahman berpendapat urban farming yang dilakukan warga seperti Saharudin adalah bentuk ikhtiar merawat ketahanan pangan di tingkat keluarga. Terlebih, saat ini Indonesia sedang dilanda ketidakpastian ekonomi.

"Urban farming agar bisa sustainable dilakukan berdasarkan kebutuhan sehari-hari masyarakat perkotaan dan dirancang untuk menghasilkan pertanian yang berkualitas. Orientasi urban farming semestinya untuk pemenuhan kebutuhan pangan yang berkualitas dan untuk mengurangi beban pengeluaran rumah tangga," kata Askur kepada Alinea.id, Senin (30/6).

Askur menilai urban farming sesungguhnya bisa dimasifkan oleh pemerintah daerah sebagai strategi untuk mewujudkan ketahanan pangan lokal. Setiap keluarga di perkotaan, misalnya, diharuskan menanam komoditas pertanian berdasarkan kebutuhan masing-masing.

Bukan tidak mungkin urban farming dilakoni secara serius sebagai penyangga ekonomi rumah tangga. Dengan keterbatasan lahan, menurut Askur, warga bisa menanam menggunakan media tanam pot atau hidroponik. 

"Bisa pakai sistem hidroponik (media air). Konsep ini bisa diintegrasikan dengan konsep integrated farming (pertanian, perikanan, peternakan)," kata Askur.

Peneliti kependudukan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andy Ahmad Zaelany mengatakan urban farming mulanya ngetren di kota- kota besar seperti Bandung, Palembang, Denpasar dan Bali. Bercocok tanam di rumah dipilih sebagai aktivitas positif saat pembatasan mobilitas pada era Covid-19. 

"Orang pun kemudian melihat urban farming sebagai celah untuk memperoleh bahan pangan sehari-hari dan kemungkinan dijual untuk memperoleh uang," kata Andy kepada Alinea.id. 

Andy merinci sejumlah faktor yang membuat urban farming diminati warga dari kalangan miskin. Pertama, kelangkaan komoditas pangan tertentu dalam lima tahun terakhir. 

"Kalau ada pun, harganya mahal, seperti telor, cabai, tomat, terong dan lain-lain. Kelangkaan dan harga mahal itu telah mendorong mereka untuk menanam di pekarangan atau di kebun tanaman-tanaman tersebut," kata Andy.

Kedua, pertumbuhan ekonomi nasional yang rendah akibat konflik-konflik pada skala global. Ketiga, potensi lonjakan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Menurut catatan World Bank, saat ini 60% penduduk Indonesia berkategori miskin. 

"Tingkat PHK (pemutusan hubungan kerja) di Indonesia tinggi sekali dan banyak usaha tutup seperti pabrik garmen. Orang melihat urban farming sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan pangan, dan kalau memungkinkan dijual untuk memperoleh uang," kata Andy. 

Tren urban farming, kata Andy, bisa bertahan di skala komunitas jika warga punya komitmen untuk merawat kebun-kebun pangan mereka. Pelatihan dan pembelajaran saja tak cukup. Banyak warga yang angkat tangan mengurus lahan pertanian di perkotaan. 

"Seingat saya tahun 70-an, ada kurikulum ekstrakurikuler berkebun di masa SD. Sayangnya kini tak ada lagi kurikulum seperti itu lagi. Kini pun tidak banyak orang yang bersekolah di pertanian. SMK pertanian, peternakan, perikanan jumlahnya sedikit, siswanya sedikit. Setelah lulus pun, banyak yang tidak bekerja di bidang itu," kata Andy. 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan