sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Senyawa dalam ‘jamur ajaib’ bisa mengobati diabetes?

Sejumlah peneliti dari Kanada mencoba menemukan bukti bahwa senyawa dalam jamur ajaib bisa mengobati diabetes.

Fandy Hutari
Fandy Hutari Rabu, 03 Apr 2024 17:14 WIB
Senyawa dalam ‘jamur ajaib’ bisa mengobati diabetes?

Diabetes merupakan penyakit kelainan metabolisme kronis, yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah. Seiring waktu, dapat menyebabkan komplikasi kesehatan yang serius. International Diabetes Federation (IDF) memprediksi, sebanyak 783 juta orang di dunia terkena diabetes pada 2045. Diabetes tipe 2 adalah yang paling umum, yang disebabkan faktor sosial-ekonomi, demografi, lingkungan, dan genetik.

Para ilmuwan pun terus mencari obat yang efektif untuk diabetes. Salah satu yang tengah diteliti adalah senyawa yang ditemukan dalam jamur ajaib, yakni psilosibin. Dalam penelitian yang dilakukan para peneliti dari Department of Biological Sciences, University of Lethbridge, Kanada, terbit di jurnal Genes (2024) menyebut, psilosibin kemungkinan membantu mencegah hilangnya sel-sel penting penghasil insulin di pankreas.

Dikutip dari Verywell Mind, psilosibin adalah senyawa psikoaktif dan halusinogen alami, yang ditemukan di jenis jamur tertentu. Psilosibin dianggap sebagai salah satu psikedelik paling terkenal.

Meski selama berabad-abad dalam budaya tertentu sudah diketahui beberapa jenis jamur mengandung senyawa yang bersifat halusinogen, tetapi psilosibin baru pertama kali ditemukan pada 1958 oleh ahli kimia asal Swiss, Albert Hofmann, yang juga menemukan lysergic acid diethylamide (LSD). Efek samping umum yang disebabkan psilosibin dalam kandungan jamur ajaib, antara lain mual, menguap, mengantuk, gugup, paranoia, panik, halusinasi, dan psikosis.

Menurut American Society for Mirobiology, psilosibin secara natural diproduksi oleh lebih dari 200 spesies jamur basidiomycetes, sebuah filum jamur berfilamen, yang secara kolektif dikenal sebagai jamur psilosibin. Jamur ini tumbuh dalam berbagai bentuk dan ukuran, bisa ditemukan di seluruh dunia.

Psilosibin dipercaya pula memiliki potensi klinis. Menurut American Society for Mirobiology, jika diberikan dalam kondisi terkendali dan pengawasan medis, psilosibin barangkali efektif untuk menangani berbagai kondisi kejiwaan, termasuk gangguan obsesif-kompulsif, serta gangguan penggunaan alkohol dan narkoba. Sedang diteliti pula manfaat psilosibun untuk berhenti merokok, penyakit alzheimer, dan gangguan makan. Banyak penelitian juga berfokus pada potensi psilosibin untuk mengobati depresi.

“Satu-satunya hal yang kita tahu pasti adalah psikedelik seperti psilosibin mengaktifkan reseptor serotonin, tapi kita benar-benar tidak tahu mekanismenya untuk menghasilkan antidepresan—dan bukan hanya antidepresan, tetapi juga efek anticemas, antiadiktif,” ujar profesor emeritus dari Purdue University School of Pharmacy, yang telah mempelajari psikedelik sejak akhir 1960-an, David Nichols, seperti dikutip dari American Society for Microbiology.

Sementara itu, alasan penelitian yang dipublikasikan di jurnal Genes itu berasal dari interaksi psilosibin dengan reseptor serotonin di otak, yang juga terdapat pada pankreas. Reseprot ini memainkan peran penting dalam mengatur produksi dan pelepasan insulin, sebuah proses yang sering terganggu pada kondisi diabetes.

Sponsored

“Karena microdosing—mengonsumsi obat-obatan psikedelik dalam dosis kecil—dengan jamur dapat menjadi salah satu pilihan pengobatan untuk berbagai penyakit, kami ingin menguji apakan bahan aktifnya, psilosibin juga memiliki efek antidiabetes,” ujar profesi ilmu biologi di University of Lethbridge, Igor Kovalchuk, yang menjadi salah seorang periset dalam penelitian, seperti dikutip dari PsyPost.

Inti dari berkembangnya diabetes adalah disfungsi sel beta di pangkreas. Sel tersebut, tulis PsyPost, bertanggung jawab untuk memproduksi insulin. Saat sel-sel itu rusak atau hilang, kemampuan tubuh untuk mengatur kadar gula darah menjadi terganggu.

Para peneliti menyelidiki efek psilosibin pada sel beta pankreas yang terpapar glukosa tinggi dan kondisi lipid tinggi. Mereka menggunakan garis sel insulinoma tikus untuk melakukan eksperimen.

Sel-sel tersebut, tulis PsyPost, diberi konsentrasi psilosibin tertentu, dipilih berdasarkan hasil awal yang menunjukkan kemanjuran optimalnya. Setelah pengobatan dengan psilosibin, sel-sel tersebut terpapar pada kondisi glukosa tinggi dan lipid tinggi, yang dirancang untuk menginduksi stres dan kerusakan yang biasanya diamati pada sel beta pankreas penderita diabetes.

“Para peneliti menemukan, sel-sel yang diobati dengan psilosibin menunjukkan kelangsungan hidup yang jauh lebih baik dibandingkan dengan sel-sel yang tidak menerima pengobatan,” tulis PsyPost.

“Hasil ini menunjukkan, psilosibin memiliki efek perlindungan pada sel beta, membantu mengurangi dampak buruk dari stres metabolik yang terkait dengan diabetes.”

Penelitian ini pun menemukan, pengobatan psilosibin menyebabkan penurunan kadar beberapa biomarker apoptosis utama dalam sel beta yang dihadapkan pada kadar glukosa dan lipid yang tinggi. Apoptosis, atau kematian sel terprogram, memainkan peran penting dalam hilangnya sel beta pada diabetes. Kemampuan psilosibin untuk mengurangi penanda yang terkait dengan proses ini menunjukkan potensinya untuk mempertahankan massa sel beta dalam kondisi diabetes.

Psilosibin juga tampak berdampak pada ekspresi gen yang terkait dengan dediferensiasi sel beta. Dediferensiasi mengacu pada proses sel beta yang matang dan memproduksi insulin, kembali ke keadaan yang lebih primitif dan kehilangan kemampuan untuk memproduksi insulin secara efektif.

“Temuan ini memberikan bukti awal bahwa microdosing dengan jamur ajaib kemungkinan akan memiliki efek positif bagi orang-orang dengan sindrom metabolik (pra-diabetes) dan diabetes,” ujar Kovalchuk kepada PsyPost.

Meski begitu, para peneliti mengamati, psilosibin tak secara signifikan memperbaiki gangguan sekresi insulin terstimulasi glukosa dalam kondisi glukosa dan lipid tinggi. “Temuan ini menunjukkan, meski psilosibin dapat melindungi sel beta dari kematian dan dediferensiasi, tapi mungkin tidak secara langsung meningkatkan respons fungsionalnya terhadap glukosa dalam konteks sindrom metabolik atau diabetes,” tulis PsyPost.

Berita Lainnya
×
tekid