

Tradisi pengawetan jenazah Paus

Mulai pukul 11.00, Rabu (23/4) waktu setempat, ratusan ribu umat Katolik bisa memberikan penghormatan terakhir kepada Paus Fransiskus di Basilika Santo Petrus, Vatikan. Paus yang meninggal dunia pada Senin (21/4) dalam usia 88 tahun akan disemayamkan di sana hingga Jumat (25/4).
Jenazahnya dibaringkan dalam peti kayu dan tetap terbuka selama disemayamkan. Sebelum wafat, Paus berpesan supaya jenazahnya tidak ditampilkan di atas katafalk atau podium pemakaman, serta tidak menggunakan peti tiga lapos dari kayu sipres, timbal, dan ek. Maka dari itu, jenazah Paus diawetkan.
Tanatopraksi
Paus asal Argentina itu menjalani tanatopraksi, sebuah teknik pengawetan tanpa metode invasif. Menurut Euronews, tanatopraksi berbeda dengan mumifikasi. Ini adalah teknik pengawetan jenazah yang dirancang khusus untuk pemajangan publik.
“Di Italia, praktik ini diatur undang-undang sejak 2022 dan dianggap sebagai evolusi modern dari pembalseman,” tulis Euronews.
“Teknik ini lebih minim invasif dan lebih menghormati keutuhan tubuh manusia.”
Daily Mail menjelaskan, prosesnya, tubuh Paus Fransiskus akan dikuras darahnya dan diisi dengan bahan kimia pengawet. Pembuluh darah di leher Paus akan dibuka, lalu campuran yang kemungkinan mengandung pewarna, alkohol, air, dan formaldehida akan dipompa masuk.
Formaldehida adalah gas tak berwarna dengan bau menyengat, yang sudah lama digunakan untuk membersihkan darah dan bakteri jenazah sekaligus memperlambat pembusukan.
Selain itu, formaldehida bisa mengikat protein dalam sel-sel tubuh untuk mencegah enzim tubuh sendiri merusaknya. Serupa transfusi darah, campuran pengawet ini akan mengalir lewat sistem peredaran darah dan mengeluarkan darah yang telah membeku, yang menyebabkan pembusukan.
Daily Mail menjelaskan, dalam proses pembalseman yang khas, tubuh pertama-tama dicuci untuk menghilangkan bakteri. Saat rigor mortis atau kekakuan totot setelah kematian terjadi, pengurus jenazah akan melakukan sejumlah proses kosmetik supaya jenazah tampak sealami mungkin.
Biasanya mencakup penutupan mata dengan plastik khusus dan penyegelan rahang dengan kawat. Dalam beberapa kasus, tubuh mungkin dipijat untuk melonggarkan otot agar dapat diatur dalam posisi berbaring.
Usai tubuh diatur, pengurus jenazah akan membuat sayatan kecil di atas tulang selangka dan mengeluarkan arteri karotis dan vena jugularis. Pembuluh darah kemudian dipotong dan dihubungkan ke mesin pembalseman, yang memompa cairan pengawet lewat arteri karotis dan mengeluarkan darah dari vena jugularis.
Cairan ini biasanya campuran bahan pengawet, seperti formaldehida dan alkohol, serta pewarna yang memberikan warna tubuh. Kemudian, jarum besar seperti vakum dimasukkan ke dalam perut untuk mengeluarkan semua cairan dan isi usus, sebelum lebih banyak cairan pembalseman dipompa masuk.
Setelah semua sayatan ditutup, tubuh kemudian dicuci, didandani, dan disiapkan untuk disemayamkan.
Pendiri Italian National Institute of Thanatopraxy (INIT) Andrea Fantozzi mengatakan, tanatopraksi melibatkan penyuntikan cairan pengawet lewat sistem peredaran darah.
“Diikuti dengan perawatan estetika pada wajah dan tangan,” kata Fantozzi kepada AFP, dikutip dari France24.
“Tujuannya adalah untuk memperlambat proses dekomposisi alami.”
Prosedur penggunaan cairan kimia, kata Fantozzi, harus dilakukan dalam waktu 36 jam setelah kematian dan memakan waktu beberapa jam.
“Efeknya, penampilan yang lebih tenang dan alami dari jenazah bertahan hingga 10 hari,” ujar Fantozzi.
Tradisi berabad-abad
Menurut Euronews, selama berabad-abad, jenazah Paus diawetkan demi alasan spiritual, kebuthkan pemakaman yang lama, dan penghormatan publik.
“Dahulu, Paus diawetkan dengan teknik pembalseman konvensional yang lebih invasif, termasuk pengangkatan organ dalam dan penyuntikan formalin serta alkohol,” tulis Euronews.
“Namun, seiring waktu, gereja beralih ke metode yang lebih manusiawi demi martabat tubuh.”
Selain pengangkatan organ, sebut Daily Mail, juga dilakukan penggosokan kulit dengan rempah-rempah dan minyak. Tubuh juga mungkin dicuci dengan larutan alkali untuk membantu pengeringan, sedangkan lubang-lubang tubuh diisi dengan rempah-rempah, kapas, dan lilin untuk mencegah keluarnya cairan busuk selama proses pemajangan.
Sejak abad ke-20, praktik pemakaman Vatikan telah bergeser mengikuti metode pembalseman konvensional. Menurut anatomis dari Universitas Bern, Nikola Tomov dalam penelitiannya, Paus pertama yang menerima pembalseman “modern” adalah Paus Pius yang meninggap pada 1914.
Peralihan ke metode modern diawali dengan kegagalan besar dalam pembalseman Paus Pius XII, yang wafat pada 1958. Dikutip dari Daily Mail, dokter pribadi Paus, Riccardo Galeazzi-Lisi yang bertanggung jawab atas proses tersebut percaya dia telah menemukan metode yang digunakan untuk mengawetkan tubuh Yesus.
Galeazzi-Lisi menempatkan Pius XII dalam kantong plastik yang ditambahkan rempah-rempah, minyak, dan resin, untuk menjaga tubuh tetap dingin atau menguras cairannya. Namun, hal ini justru mempercepat proses pembusukan secara dramatis.
“Sejak itu, persiapan jenazah para Paus sebagian besar mengikuti proses standar para pengurus jenazah modern,” tulis Daily Mail.
Di sisi lain, sejak Paus Leo XIII yang meninggal pada 1903, tak ada lagi Paus yang organnya diangkat, usai diputuskan tubuh Paus harus tetap utuh.
Menurut Massimo Signoracci, yang keluarganya sudah membalsem jenazah Paus sejak Paus Yohanes XXIII, proses tanatopraksi sudah menjadi standar bagi sebagian besar Paus modern. Akan tetapi, menurut Vatikan, beberapa Paus yang lebih baru tidak dibalsem sama sekali.
“Misalnya, Paus Yohanes Paulus II hanya ‘dipersiapkan’ untuk disemayamkan ketika dia meninggal pada 2005,” tulis Daily Mail.


Tag Terkait
Berita Terkait
Siapa penerus Paus Fransiskus?
Vatikan ungkap kesehatan Paus Fransiskus alami peningkatan, mulai makan makanan padat
Paus menuju Papua Nugini kunjungi komunitas Katolik terpencil
Ini kata Muhammadiyah soal Paus Fransiskus gunakan pesawat komersil

