sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
Arif Rahman

Coronavirus dan peran semua elemen dalam perekonomian

Arif Rahman Senin, 16 Mar 2020 20:41 WIB

Sejak 11 Maret 2020, WHO secara resmi menyatakan coronavirus sebagai pandemi global. “Kami telah membunyikan alarm dengan keras dan jelas,” kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Gebhreyesus pada Rabu (11/03/2020) dikutip dari Kompas.com. Pernyataan WHO tersebut bisa diartikan bahwa semua negara saat ini sedang berperang melawan wabah penyakit corona.

Penyakit ini awal mula terdeteksi di Indonesia pada 28 Februari 2020, ketika salah seorang pasien memberitahu pihak rumah sakit temannya yang berkebangsaan Jepang positif corona di Malaysia. Pasien tersebut telah melakukan kontak dengan warga Jepang pada 14 Februari 2020. Artinya, sebelum pasien menceritakan pertemuan dengan warga asing yang terinfeksi, pihak rumah sakit belum menyadari pasien tersebut berstatus positif corona.

Pada titik ini, timbul pertanyaan masyarakat akan kesiapan pemerintah, baik pusat maupun daerah dalam kualitas pencegahan penyebaran coronavirus di Indonesia. Timbulnya ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap kualitas penanganan virus ini oleh otoritas terkait berimplikasi munculnya dugaan bahwa virus telah menyebar lebih tinggi dari yang dilaporkan.

Reaksi panic buying sempat muncul di beberapa titik wilayah dapat diredam oleh beberapa pernyataan menteri kesehatan yang cukup menenangkan. Hal ini juga tampak diimbangi dengan tensi keseriusan pemerintah dalam menghadapi masalah virus ini, baik dari sisi kesehatan maupun ekonomi.

Penyebaran virus yang begitu cepat dalam hitungan dua minggu ke berbagai penjuru dunia membuat semua negara mengencangkan ikat pinggang melawan coronavirus ini. Tidak terkecuali Indonesia. Berbagai upaya insentif ekonomi dilakukan dalam rangka menjaga daya beli masyarakat agar terhindar dari keadaan yang semakin buruk.

Sejumlah negara memberlakukan lockdown, situasi di mana orang tidak dibolehkan masuk atau meninggalkan sebuah bangunan atau kawasan dengan bebas (karantina wilayah). Perlunya kebijakan ini diutarakan Jusuf Kalla (dikutip dari tempo.co) sebagai tindakan preventif yang lebih serius untuk mencegah penyebarannya. Namun jika dilihat dari kapasitas produksi Indonesia utamanya ketahanan pangan yang cukup rapuh, justru menjadi pertanyaan akan kesiapan kita dalam mengkarantinakan diri sendiri.

Jika kasus penyebaran korona di Indonesia tidak terkendali, maka dampak ekonominya sangat besar, di antaranya adalah apa yang kita lakukan terhadap China, juga akan kita alami, dengan kekuatan struktur ekonomi yang sudah berbeda, efeknya tentu akan fatal. Sekedar perbandingan, GDP China pada 2018 dengan kurs Rp14 ribu sebesar Rp191 ribu triliun, sedangkan Indonesia sekitar Rp15 ribu triliun, dengan pendapatan per kapita China tiga kali lipat lebih besar dibandingkan Indonesia.

Faktor lainnya yang tidak kalah penting adalah menjaga daya beli masyarakat. Gangguan yang terjadi pada sektor logistik akibat berhentinya sementara aktivitas produksi di beberapa negara suspect tertinggi, menyebabkan aktivitas ekspor impor juga terganggu.

Sponsored

Apalagi diversifikasi negara tujuan ekspor maupun negara pengimpor masih sangat terbatas, dimana porsi ekspor berdasarkan negara tujuan pada 2019, hanya lima negara yang menguasai 50% dari total ekspor, yakni, China, USA, Jepang, India, dan Singapura. Dari kelima negara tersebut, hanya India yang mempunyai kasus korona relatif kecil.

Begitu juga dengan impor menurut negara asal, dimana China menyumbang 30% dari total impor. Kondisi tersebut tentu berdampak pada penurunan produksi nasional, baik yang akan diekspor maupun produk berbahan baku impor.

Adanya peningkatan kapasitas investasi langsung (Foreign Direct Investment) China ke Indonesia, serta jumlah wisatawan asal China sebanyak 2 juta orang pada 2019 akan berpengaruh terhadap sektor pariwisata akibat kebijakan penghentian penerbangan dari dan ke China.

Belum lagi dampak dari berkurangnya jumlah wisatawan negara lain maupun wisatawan lokal yang memengaruhi tingkat okupansi hotel, restoran, dan sektor perdagangan. Merosotnya rupiah terhadap dollar menuju Rp15 ribu ditambah anjloknya pasar saham menjadi suatu tantangan tersendiri untuk secara bersama-sama, baik pemerintah, masyarakat, pengusaha besar, maupun media untuk mengoreksi tindakan secara hati-hati, dan menghindari jalan buntu untuk memenangkan pertarungan.

Berbagai langkah yang sudah dan akan dilakukan pemerintah sudah sangat baik dalam menstimulan perekonomian, di antaranya: memberikan subsidi tiket pesawat ke 10 destinasi, menambah tunjangan Kartu Sembako dari Rp150 ribu menjadi Rp200 ribu per bulan, penggunaan dana desa dengan sistem padat karya tunai dengan proporsi pencairan yang lebih besar di awal tahap, insentif bebas pajak hingga yang bergaji Rp16 juta per bulan, membebaskan pajak hotel dan restoran, penyederhanaan aturan larangan pembatasan atau tata niaga di seluruh sektor, pengurangan larangan pembatasan impor, percepatan proses impor, mengurangi logistics costs dan melakukan efisiensi di proses logistik dengan cara mendorong national logistic ecosystem, dan berbagai relaksasi fiskal yang lain. Penegakan hukum yang sudah dilakukan bagi pihak-pihak yang menimbun barang demi kepentingan pribadi harus semakin intensif dilakukan agar menimbulkan efek jera. 

Faktor penting lainnya adalah diperlukan solidaritas yang tinggi oleh orang berpunya, atau dengan kata lain berkorbannya orang kaya untuk banyak orang, hingga masalah virus ini berhasil diatasi bersama. Jika orang kaya diidentikkan dengan pengusaha besar, maka sekaranglah waktu yang tepat untuk “berdedikasi”, dengan memberikan harga yang terjangkau ke masyarakat.

Memberikan sumbangan yang dikemas dalam keterjangkauan harga jual produk akan membawa perekonomian menjadi sehat dalam jangka panjang. Jika daya beli masyarakat runtuh, tentu akan berdampak pada perekonomian yang stagnan dan akhirnya produksi tidak lagi mampu dikonsumsi masyarakat, sehingga semua pihak akan menanggung akibatnya, tak terkecuali pengusaha besar. 

Mengutip pandangan dari John Maynard Keynes, bahwa tabungan adalah bentuk pengeluaran yang tidak dapat diandalkan, yang hanya efektif jika tabungan diinvestasikan oleh dunia usaha. Jadi, tabungan yang ditimbun, disimpan di bank, adalah buruk bagi perekonomian.

Kata kuncinya adalah permintaan efektif, yaitu semua yang dikeluarkan oleh konsumen dan bisnis akan menentukan output nasional. Dalam masalah yang sedang dihadapi bersama ini, show up progress kerja penanggulangan virus untuk menjaga psikologi massa adalah hal yang baik, sejalan dengan menjaga perilaku konsumsi masyarakat agar tetap stabil akan mengurai masalah pada titik terendahnya.


 

Berita Lainnya
×
tekid