sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
Surtan Siahaan

Perpajakan, daya saing dan perekonomian negara

Surtan Siahaan Kamis, 07 Jun 2018 16:25 WIB

* Kolumnis

Kita semua pasti sepakat, pajak adalah instrumen negara paling vital. Tanpa pajak, sulit membayangkan pemerintahan sebuah negara berjalan normal. Artinya, tidak akan ada infrastruktur, transportasi publik, pendidikan murah berkualitas hingga fasilitas kesehatan yang memadai. 

Pajak juga memiliki implikasi krusial pada bidang perekonomian. Tinggi-rendahnya tarif pajak suatu negara, misalnya, bisa berdampak pada kemampuan entitas usaha untuk bertumbuh dan melakukan ekspansi. Sementara, prosedur perpajakan yang murah dan sederhana bisa berpengaruh pada tingginya tingkat kepatuhan pajak, bahkan meningkatnya investasi.

Regulasi perpajakan bahkan masuk dalam 11 indikator yang dinilai Bank Dunia dalam laporan tahunannya, Ease of Doing Business (EoDB). Laporan yang mencerminkan kemudahan dan kenyamanan berusaha di suatu negara ini sangat bergengsi karena sering dijadikan sebagai rujukan berinvestasi.

Dalam dua tahun terakhir, Indonesia berhasil unjuk gigi. Ranking EoDB Indonesia naik sebanyak 34 peringkat. Pada EoDB 2018, posisi Indonesia berada di peringkat 72 dari 190 negara. Tren peningkatan ranking ini sebenarnya sudah dimulai sejak 2014.

Pelaksanaan e-Filing merupakan satu dari tujuh reformasi positif yang menyumbang perbaikan peringkat EoDB Indonesia. Mafhum saja, cara penyampaian pajak secara elektronik yang diinisiasi Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan ini, membuat pelaporan pajak menjadi lebih mudah dan cepat. Hal ini tentu menjadi angin segar bagi para pelaku usaha.

Sebagai perbandingan, di era ketika manual filing hanya menjadi satu-satunya alternatif, pelaporan pajak masih menjadi momok bagi wajib pajak. Masalahnya berpangkal pada lama waktu yang dibutuhkan untuk melaporkan pajak.

Wajib pajak yang harus mendatangi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk melaporkan pajaknya. Bahkan, jika pelaporan pajak dilakukan menjelang tenggat, waktu yang dihabiskan bisa lebih lama lagi karena antrean wajib pajak semakin panjang. Tentu situasi seperti ini tidak kondusif bagi pelaku bisnis.

Sponsored

Presiden Joko Widodo dalam beberapa kesempatan menyatakan obsesinya untuk terus meningkatkan peringkat EoDB Indonesia. Jokowi menargetkan Indonesia masuk dalam 40 besar EoDB di 2019 mendatang.

Meningkatnya indeks EoDB, diharapkan berdampak pada iklim investasi yang semakin kondusif sehingga menstimulasi hadirnya lapangan usaha baru lewat investasi dan berkembangnya lapangan usaha yang sudah ada. Tentunya ini menjadi tantangan bagi DJP Kemenkeu dan pemangku kepentingan di bidang perpajakan. Perlu diingat, pekerjaan rumah yang harus dibenahi di sektor perpajakan masih cukup banyak.

Indikator pembayaran pajak di EoDB memiliki empat segmen penilaian yakni Number of Payment, Time to Comply, Total Tax and Contribution Rate serta Post-Filing Index (VAT Refund, Corporate Income Tax Audit, Administrative Appeal Process).

Berdasarkan data EoDB 2018, peringkat indikator kemudahan pembayaran (dan pelaporan) pajak Indonesia masih berada di posisi 114. Sedangkan waktu yang dibutuhkan wajib pajak untuk menghitung, membayar dan melaporkan pajak di Indonesia mencapai 207,5 jam per tahun.

Dibandingkan sesama negara Asean seperti Malaysia (73), Thailand (67), Vietnam (86), Brunei Darussalam (104) dan Singapura (7), peringkat Indonesia masih tertinggal jauh.

Begitu juga dengan waktu yang dibutuhkan untuk menuntaskan kewajiban perpajakan. Indonesia hanya unggul di atas Thailand (262 jam/tahun) dan Vietnam (498 jam/tahun).

DJP Kementerian Keuangan sebenarnya memiliki program reformasi perpajakan sebagai jawaban atas tuntutan perbaikan di sektor perpajakan. Program ini menargetkan perubahan sistem perpajakan yang menyeluruh, termasuk pembenahan administrasi perpajakan, perbaikan regulasi dan peningkatan basis perpajakan.

Sebagai upaya mewujudkan reformasi perpajakan, pemerintah memiliki fokus yang disebut dengan lima Pilar Reformasi Perpajakan yakni organisasi, sumber daya manusia, teknologi informasi dan basis data, proses bisnis serta peraturan perundang-undangan. 

Meski pemerintah sudah terlihat siap, pertanyaannya, apakah pelaksanaan reformasi perpajakan dapat dikebut sehingga target 40 besar EoDB tahun 2019 dapat tercapai? Di sinilah sinergi antara DJP Kementerian Keuangan dan Application Service Provider (ASP) bidang perpajakan bisa menjadi solusi. ASP disebut juga penyedia jasa aplikasi dalam rangka memfasilitasi Wajib Pajak (WP) untuk lapor Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) secara online.

Menurut hemat saya, DJP Kementerian Keuangan harus lebih bisa memanfaatkan peluang yang ada. Salah satunya dengan memaksimalkan peran ASP dalam bidang kepatuhan pajak. Dengan demikian, DJP bisa memobilisasi sumber daya manusianya agar fokus di bidang lain seperti organisasi, regulasi dan evaluasi pelaksanaan administrasi perpajakan.

Sebagai organisasi swasta, ASP bisa lebih dinamis dan punya fleksibilitas serta akses yang lebih luas pada teknologi. Sedangkan sebagai perusahaan, ASP tentu berorientasi pada pengguna atau wajib pajak. Sehingga, target pengumpulan pajak bisa semakin dimaksimalkan, namun secara bersamaan biaya kepatuhan pajak dapat diturunkan dan prosedur kepatuhan pajak akan semakin disederhanakan.

Jika pemerintah bisa memaksimalkan potensi ini, waktu yang dibutuhkan untuk melakukan kepatuhan pajak di Indonesia bisa menurun secara drastis. Namun, maksimalnya peran ASP dalam membantu reformasi perpajakan hanya bisa terjadi jika pemerintah mau lebih terbuka untuk mengelaborasi rencana dan gagasan perpajakan dengan seluruh pemangku kepentingan yang ada. 

Oleh karenannya, komunikasi berkelanjutan antara DJP Kementerian Keuangan, ASP dan seluruh pemangku kepentingan perpajakan bersifat esensial.

Akhir kata, semoga sinergi antara DJP Kementerian Keuangan dan ASP perpajakan bisa terjalin sehingga menciptakan sistem kepatuhan pajak yang mendukung kemudahan berbisnis di Indoensia.
 

Berita Lainnya
×
tekid