sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Indonesia Digital Rights Forum menyoroti perlunya kolaborasi lintas sektoral, belajar dari gerakan masa lalu

Galeshka mencontohkan kasus Gerakan Kendeng yang berhasil mendorong mundur proyek pertambangan di wilayah Kendeng.

Arpan Rachman
Arpan Rachman Kamis, 22 Des 2022 14:29 WIB
Indonesia Digital Rights Forum menyoroti perlunya kolaborasi lintas sektoral, belajar dari gerakan masa lalu

Disinformasi, kekerasan online berbasis gender (OGBV), penyensoran dan kontrol informasi di platform online – ini hanyalah sebagian dari isu dan tantangan utama yang dihadapi oleh aktor hak digital di Indonesia. Selama Indonesia Digital Rights Forum (Forum Hak Digital Indonesia) yang diadakan pada tanggal 24 dan 25 November lalu, para peserta menekankan perlunya kolaborasi multi-stakeholder dan lintas sektoral serta memberikan dukungan yang memadai bagi para aktivis untuk mengatasi tantangan bersama ini.

Diselenggarakan oleh EngageMedia bekerja sama dengan Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFENet), acara dua hari ini mengumpulkan lebih dari 60 peserta dari organisasi masyarakat sipil (CSO), akademisi, media, kelompok mahasiswa, dan pemerintah. Forum tersebut memungkinkan para peserta untuk membahas isu-isu seperti OGBV, aktivisme pemuda dan media sosial, disinformasi, sensor internet, dan kontrol informasi, di antara topik lainnya.

Forum tersebut juga menampilkan pemutaran film dokumenter Lara Beragama Di Mayantara (The Hurtful Religius Cyberspace), yang mengkritisi diskriminasi berbasis agama yang dihadapi oleh penganut agama pribumi. Film ini diproduksi oleh EngageMedia bekerja sama dengan rumah produksi WatchDoc.

Lebih Memperhatikan Organisasi Lokal dan Mengatasi Kejenuhan

Sama seperti forum negara hak digital lainnya yang diselenggarakan oleh EngageMedia, acara di Indonesia memberikan ruang bagi OMS yang bekerja di berbagai isu advokasi untuk berkumpul dan mendiskusikan bagaimana mereka dapat berkolaborasi dalam solusi untuk beberapa masalah hak digital yang paling mendesak di negara ini.

Sentimen yang berulang di seluruh forum adalah penekanan pada kolaborasi multi-stakeholder dan lintas sektoral dan kebutuhan untuk memberikan dukungan yang memadai kepada para aktivis. Para peserta mengatakan bahwa dengan terlibat dalam kolaborasi yang bermakna, upaya membangun kesadaran dan memengaruhi kebijakan akan memberikan dampak yang lebih besar.

Misalnya, dalam pekerjaan seputar OGBV dan masalah keamanan digital, terlalu sedikit perhatian diberikan pada inisiatif kolektif dan CSO kecil yang beroperasi di luar Jakarta. Hal ini cenderung menghilangkan kesadaran dan pemahaman yang lebih dalam tentang realitas kehidupan orang-orang di luar ‘gelembung Jakarta’ ini, yang memengaruhi seberapa relevan atau berdampaknya intervensi dan inisiatif tertentu.

Ellen Kusuma dari SAFEnet juga menunjukkan bahwa kerja advokasi harus melibatkan keterlibatan dan penjangkauan yang konstan dan bermakna dengan masyarakat yang terkena dampak. Terlalu sering, banyak proyek penelitian tentang OGBV dan isu-isu penting lainnya dianggap selesai setelah publikasi atau peluncuran penelitian. Namun, agar benar-benar efektif, perlu ada komponen penjangkauan yang sesuai, sehingga menjangkau pembuat kebijakan dan masyarakat sasaran.

Selain itu, para peserta menekankan perlunya mencurahkan perhatian dan sumber daya untuk mendukung para aktivis dan memastikan mereka memiliki sarana untuk menjaga diri mereka aman, serta siap secara mental dan emosional untuk menangani tuntutan kerja advokasi. Dalam kasus-kasus OGBV, misalnya, sifat sensitif dari kasus-kasus tersebut seringkali dapat merugikan para aktivis. Sementara penyintas OGBV mengandalkan bantuan aktivis, hanya ada sedikit atau tidak ada dukungan yang tersedia bagi aktivis yang menangani masalah ini. Mencari dukungan psikologis masih dianggap tabu, dan masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mengatasi stigma seputar hal ini.

Lisa Elfena, mahasiswi pascasarjana Universitas Indonesia yang bekerja di isu gender, mencontohkan kasus rekannya yang terkena serangan jantung akibat stres. Kusuma juga menambahkan, dirinya sendiri sudah beberapa kali pergi ke psikolog setelah terlibat dalam isu OGBV. “Ini bukan hal yang memalukan. Ini bukan tanda kita kalah dari dunia. Terkadang kita menyangkal bahwa kita sedang mengalami stres. Jika di kepala kita sudah mempertimbangkan rencana keluar dari pekerjaan kita, tanyakan pada diri sendiri, apakah Anda mengalami kejenuhan?”

Mendokumentasikan dan Belajar dari Kisah Sukses Masa Lalu

Shinte Galeshka dari Access Now juga menunjukkan bahwa para pelaku hak digital harus banyak belajar dari pelajaran dan keberhasilan gerakan sebelumnya, khususnya sejarah panjang aktivisme Indonesia terkait dengan hak ekonomi dan sosial. Dia berargumen bahwa aktivisme hak digital di Indonesia perlu diperluas lebih dari sekedar fokus pada kebebasan berekspresi dan menghubungkan gerakan tersebut dengan aspek penting lainnya dalam kehidupan masyarakat.

Galeshka mencontohkan kasus Gerakan Kendeng yang berhasil mendorong mundur proyek pertambangan di wilayah Kendeng antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sementara kisah sukses yang terkenal untuk aktivisme, Galeshka berpendapat bahwa pelajaran di balik gerakan tersebut tetap tidak terdokumentasi dengan baik. Belajar dari kisah sukses seperti itu, katanya, akan sangat membantu para aktivis yang sekarang sedang berjuang melawan represi pemerintah.

Salah satu peserta dalam acara tersebut, Cypri Jehan Paju Dale dari Kyoto University, menekankan perlunya mempertimbangkan gerakan lokal dalam diskusi tentang masyarakat sipil. Gerakan-gerakan ini, seringkali tidak diorganisir di bawah bendera organisasi formal, dapat dibayangi oleh kelompok yang lebih besar dan tidak terdokumentasi dengan baik. Dale berargumen bahwa meskipun ada beberapa kolektif yang berupaya untuk memperhatikan masalah ini, diperlukan lebih banyak upaya untuk memperkuat suara mereka, seperti dengan memberikan lebih banyak platform kepada influencer lokal.

Hal ini terkait langsung dengan poin yang ditekankan oleh EngageMedia Digital Rights Program Officer Pradipa P. Rasidi dalam pleno pembukaannya tentang pentingnya mendengarkan perspektif lokal dalam diskusi tentang disinformasi. Dia menunjukkan bahwa OMS sering mendekati komunitas akar rumput dengan asumsi bahwa mereka tidak memiliki keterampilan literasi digital dan menawarkan program pelatihan untuk mengatasi kesenjangan ini. Namun, keefektifan program-program ini dipertanyakan, karena tidak mempertimbangkan pengalaman masyarakat lokal dan perhatian khusus mereka.

Di sinilah wawasan yang dibagikan oleh Dale tentang perlunya mempertimbangkan gerakan lokal menjadi sangat relevan. Dengan mendengarkan dan terlibat dengan gerakan-gerakan ini, OMS dapat lebih memahami tantangan dan masalah spesifik yang dihadapi masyarakat dan mengembangkan strategi yang lebih efektif dan kontekstual untuk memerangi tidak hanya disinformasi tetapi juga tantangan lain yang dihadapi oleh gerakan hak digital. (EngageMedia)

Berita Lainnya
×
tekid