sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Siapa bisa bungkam kicau buzzer di media sosial?

Pilpres sudah usai, namun buzzer masih bergerak menyebar sentimen negatif kepada lawan politik.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Kamis, 11 Feb 2021 16:08 WIB
Siapa bisa bungkam kicau buzzer di media sosial?

Ketua Umum DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Haris Pratama belum menyerah untuk mendorong pihak kepolisian menangkap pegiat media sosial Permadi Arya alias Abu Janda.

Pada 28 Januari 2021 Haris dan kawan-kawan melaporkan Abu Janda ke Bareskrim Polri atas tuduhan ujaran kebencian bernuansa rasisme kepada eks komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai. Ia menilai, perilaku Abu Janda di media sosial sudah berbahaya bagi kehidupan sosial karena terus menerus menyebarkan sentimen polarisasi Pilpres 2019.

“Padahal pilpres sudah usai. Mestinya berhenti menyudutkan atau menghina orang, apalagi pakai cara-cara rasis,” kata Haris saat dihubungi reporter Alinea.id, Senin (8/2).

Sebelumnya, Abu Janda merespons kicauan Pigai di Twitter yang mengkritik eks Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), dengan menyebut kata “evolusi”. Haris mengaku sudah lama mengamati tindak tanduk Abu Janda di media sosial. Ia merasa, Abu Janda makin keterlaluan menyerang kelompok di luar pemerintah.

"Cara dia mendukung Jokowi sudah tidak sehat," ucapnya.

Menurutnya, narasi yang dilontarkan Abu Janda di media sosial malah membuat banyak orang semakin antipati terhadap Jokowi. Selama ini, katanya, sudah menjadi rahasia umum bahwa Abu Janda adalah buzzer (pendengung) pendukung Jokowi.

“Saya yakin, dia ini penyusup yang sengaja membuat pusing Pak Jokowi. Jadi, seharusnya Abu Janda ditangkap,” ujarnya.

“Soalnya, dia diidentikan pendukung Pak Jokowi. Kasihan Pak Jokowi.”

Sponsored

Meski pada Senin (8/2) Abu Janda dan Pigai sudah dipertemukan oleh Wakil Ketua DPR sekaligus Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, tetapi Haris tetap meminta polisi menindaklanjuti laporannya.

“Dia sekarang itu sedang bikin kesan dan mengintervensi Polri bahwa dia sudah minta maaf dan harus dilepas,” tuturnya.

 Permadi Arya alias Abu Janda./Foto Twitter @permadiaktivis1.

Jangan tebang pilih

Haris pun mendesak pemerintah untuk menertibkan akun-akun buzzer yang masih menyebarkan narasi kurang sehat di media sosial. Sejauh ini, ia masih melihat pemerintah tebang pilih dalam menindak buzzer.

"Saat ini yang kebanyakan ditangkap hanya orang yang tidak suka dengan pemerintah Jokowi,” ucap Haris yang mengaku mendapat teror usai melaporkan Abu Janda.

“Tapi orang yang merasa pendukung Pak Jokowi enak saja main hajar. Hajarnya dengan rasis lagi."

Sementara Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menilai, pemerintah harus berlaku adil kepada setiap buzzer yang memperkeruh ruang media sosial, alih-alih penindakan hanya kepada buzzer yang tak sepandangan dengan pemerintah.

“Semua aparat, yang utama presiden, perlu betul-betul bersikap tegas dan lugas pada siapapun yang mengotori ruang publik dengan fitnah dan hoaks,” kata dia saat dihubungi, Selasa (9/2).

Apa pun alasannya, tegas Mardani, kerja buzzer yang memainkan sentimen negatif sangat berbahaya bagi kehidupan sosial karena bisa memecah belah masyarakat. "Para buzzer ini sama merusaknya dengan teroris," ucapnya.

Mantan koordinator relawan Prabowo-Sandi Digital Team (Pride) sekaligus pakar komunikasi digital Anthony Leong memandang, sentimen “perseteruan” Pilpres 2019 sudah tak layak mengisi ruang media sosial.

"Pilpres 2019 telah usai. Kita fokus bagaimana menghadirkan ketenangan di media sosial,” kata dia saat dihubungi, Selasa (9/2).

“Ini yang harus diaplikasikan oleh elemen pemerhati media sosial, buzzer, influencer, dan apa pun itu."

Anthony mengatakan, kasus Abu Janda tak harus terjadi bila hukum diterapkan tanpa pandang bulu. Ia mendesak pula pemerintah berlaku adil terhadap buzzer yang menyebar sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di media sosial.

“Artinya, yang kami inginkan bagaimana UU ITE bukan hanya menebas lawan atau membela kawan, tapi bisa diaplikasikan untuk koridor di media sosial agar lebih damai,” kata dia.

Kini, Anthony berusaha mengangkat popularitas Sandiaga Uno yang menjabat sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf). Hal ini dilakukan untuk modal Sandiaga maju ke Pilpres 2024.

Buzzer kerap bergerak di media sosial, seperti Twitter./Foto unsplash.com.

Perlu regulasi

Co-founder dan fact-check specialist Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Aribowo Sasmito mengatakan, menertibkan buzzer tak semudah menertibkan pedagang kaki lima. Buzzer kini sudah menjadi profesi dan ladang uang bagi orang-orang yang bermain di balik akun palsu.

Saat ini, kata Aribowo, media sosial sudah menjadi pasar bagi penyedia jasa buzzer. Tak heran, buzzer tumbuh subur karena ada potensi keuntungan yang diperoleh.

“Sebetulnya bukan soal siapa membela siapa karena yang dibela adalah kepentingannya, yang dibela adalah apa, bukan siapa. Kalau cocok abang sayang, pas tidak cocok abang ditendang,” ujarnya ketika dihubungi, Senin(8/2).

Karena bermain di area abu-abu yang sulit diidentifikasi hukum dan UU ITE, menurutnya, sukar menindak buzzer “nakal” di media sosial.

"Mereka juga bukan orang bodoh. Mereka sengaja bergerak di wilayah abu-abu ini dengan narasi-narasi dan teknik-teknik tertentu, main halus di ranah persepsi," ucapnya.

Selama publik masih belum dewasa menyikapi persepsi di media sosial, buzzer bakal terus tumbuh subur. Pasalnya, ia melihat, ada hukum pasar yang mendukung buzzer terus berkembang. Dengan demikian, buzzer tak bisa ditertibkan dalam waktu singkat.

"Artinya tidak bisa menyalahkan buzzer semata, justru konsumennya yang harus diedukasi biar berhenti mengkonsumsi produk jelek," ujarnya.

Meski begitu, Aribowo menilai, pemerintah perlu memperjelas aturan terkait aktivitas di media sosial. Tujuannya, mempersempit ruang gerak buzzer agar mudah ditindak hukum. Hal ini membutuhkan waktu yang panjang. Sebab, menurutnya, regulasi selalu tertinggal dengan kecepatan inovasi teknologi.

“Negara secara fisik tak memiliki kedaulatan oleh ‘negara virtual’ yang kedaulatannya lintas perbatasan dan global, yang sebenarnya masalah bersama, bukan hanya Pemerintah Indonesia saja,” ujar dia.

Sementara itu, Direktur Riset Indonesian Presidential Studies (IPS) Arman Salam menilai, eksistensi buzzer bagaikan dua sisi mata uang. Ia melihat, tak semua buzzer punya niat jahat karena ada pula yang menjadi “penyambung lidah” masyarakat.

“Satu sisi bisa memberikan informasi kalau memang kontennya benar, itu positif. Tapi sisi lainnya, bisa juga dijadikan medium baru melakukan fitnah atau menyebarkan isu yang buruk bagi proses berkebangsaan,” ucapnya saat dihubungi, Rabu (10/2).

Namun, Arman melihat buzzer kini lebih banyak mengarah ke hal-hal yang sifatnya negatif. Sehingga, ia memandang, perlu aturan yang jelas untuk menertibkan buzzer, tanpa harus mengorbankan kebebasan berpendapat.

Regulasi yang jelas terkait aktivitas buzzer, menurut Arman, diperlukan karena di media sosial juga banyak akun yang menyebarkan paham radikalisme secara sistematis dan terkonsep untuk memengaruhi persepsi publik.

Infografik kasus Abu Janda. Alinea.id/Bagus Priyo.

Terkait sentimen pilpres yang masih ada di beberapa pegiat media sosial, kata Arman, disebabkan adanya koordinasi yang buruk di kedua kubu untuk menyudahi pertarungan. Akibatnya, masih ada pegiat media sosial yang terlena dengan persaingan pilpres.

“Namanya sel-sel struktur organisasi itu kan mungkin tidak tersampaikan dengan baik atau terputus di tengah, dengan berbagai kepentingan atau mungkin sudah ditunggangi oleh kepentingan lain,” ucap dia.

Arman mendorong ketegasan pemerintah untuk membuat ekosistem media sosial lebih ramah terhadap demokrasi dan kehidupan sosial. Ia menyebut, buzzer perlu didorong ke koridor hukum, agar tak menyimpang.

"Harus ada ketegasan dari pemerintah kira-kira pakemnya seperti apa, supaya nanti masyarakat cerdas dan buzzer masuk ke dalam koridor yang memang dalam tanda kutip tidak menyimpang," ujarnya.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid