sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Covid-19: Riset versus kepercayaan masyarakat

Beberapa orang percaya, sinar matahari mampu menangkal terinfeksi SARS-CoV-2.

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Sabtu, 25 Apr 2020 06:00 WIB
Covid-19: Riset versus kepercayaan masyarakat

Sejak kasus penularan virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan Coronavirus disease 2019 (Covid-19) semakin masif, Yos Asep Sumardi rajin berjemur di bawah terik sinar matahari pagi. Setiap pukul 10.00 WIB, pria berusia 62 tahun itu berdiri di depan rumahnya yang terpapar sinar matahari.

Warga Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat tersebut percaya, paparan sinar matahari pagi bisa menangkal penularan virus mematikan yang menyerang sistem pernapasan tersebut.

“Kalau berjemur, saya percaya bisa menghilangkan bakteri. Termasuk virus corona,” kata dia saat berbincang dengan reporter Alinea.id, Kamis (23/4).

Bukan hanya Yos. Kegiatan berjemur di pagi hari—terutama mereka yang berusia lanjut—lumrah ditemui di beberapa daerah, sejak pandemi merebak.

Yos pun percaya, meminum air jahe dan jenis rempah-rempah lainnya, bisa memberikan khasiat bagi tubuh. Begitu pula dengan jus jeruk. Namun, ia masih mempertanyakan manfaatnya untuk menangkal coronavirus.

“Kalau menghilangkan corona masih tanda tanya,” kata dia.

Senada dengan Yos, warga Parung Panjang lainnya, Syahroni juga belum yakin apakah mengonsumsi air jahe maupun rempah-rempah lainnya bisa menjauhkan dari Covid-19. Akan tetapi, ia melihat hal positif bahwa jahe dan rempah-rempah lainnya bisa meningkatkan imunitas tubuh.

“Kalau kata dokter, yang bisa melawan virus itu kekebalan tubuh kita sendiri. Berarti kemungkinan besar bisa,” ucap pria berusia 33 tahun, yang bekerja sebagai guru honorer ini ketika berbincang, Kamis (23/4).

Sponsored

Riset terkait cuaca dan jus jeruk

Warga berjemur dan berolahraga di kawasan Petamburan, Jakarta, Minggu (12/4/2020). Foto Antara/Aprillio Akbar.

Terlepas dari kepercayaan masyarakat tadi, beberapa lembaga pun melakukan kajian seputar cara menangkal virus SARS-CoV-2.

Tim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan mikrobiologi Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM) pernah melakukan riset terkait korelasi cuaca dan iklim dengan penyebaran virus SARS-CoV-2.

Dilansir dari situs web BMKG.go.id, riset itu dilakukan dengan berbagai kajian, seperti analisis statistik, pemodelan matematis, dan studi literatur tentang pengaruh cuaca dan iklim dalam penyebaran Covid-19.

Hasil penelitian menyimpulkan, iklim tropis bisa membantu menghambat penyebaran coronavirus jenis baru.

Menurut Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam keterangannya di situs web BMKG.go.id, Indonesia yang terletak di sekitar garis khatulistiwa dengan suhu rata-rata 27-30 derajat Celsius dan kelembapan udara sekitar 70-95% merupakan daerah yang tak ideal bagi wabah virus SARS-CoV-2.

Ia mengatakan, pandemi berkembang di Indonesia lantaran mobilitas manusia dan interaksi sosial. Hasil riset itu disampaikan kepada presiden dan beberapa kementerian terkait pada 26 Maret 2020.

Akan tetapi, riset itu seolah dipatahkan dengan penelitian ilmuwan dari Universitas Aix-Marseille, Prancis. Riset mereka terbit pada 11 April 2020 dalam bentuk laporan berjudul Evaluation of Heating and Chemical Protocols for Inactivating SARS-CoV-2.

Riset tersebut menggarisbawahi, coronavirus bisa bertahan di suhu 60 derajat Celsius, selama sejam. Namun, virus bisa tidak aktif sama sekali dalam waktu 15 menit setelah dipapar suhu 92 derajat Celsius.

Pada akhir Maret 2020, tim peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Farmasi UI, Pusat Studi Biofarmaka Tropis (TropBRC), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Institut Pertanian Bogor (IPB) University, serta Departemen Ilmu Komputer Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) IPB University mengeluarkan riset tentang senyawa yang berpotensi melawan Covid-19.

Dikutip dari situs web ipb.ac.id, Guru Besar IPB University sekaligus Kepala TropBRC Irmanida Batubara mengatakan, senyawa itu adalah kelompok flavonoid—pigmen tumbuhan yang larut dalam air—salah satunya adalah hesperidin—glikosida yang berasal dari jeruk manis yang tidak matang.

Hesperidin, kata dia, diduga mampu memberi perlindungan terhadap mikroba dan virus. Irmanida menyebut, senyawa itu ada di kulit jeruk. Ia mengatakan, semua jenis jeruk mengandung hesperidin.

“Jadi, ketika tinggal di rumah, kita dapat membuat jus jeruk dan jangan lupa tambahkan sedikit kulit jeruk yang sudah dicuci bersih. Ini akan terasa agak pahit. Rasa pahit itu menunjukkan bahwa hesperidin ada di dalamnya," kata Irmanida.

Khasiat jahe dan sinar matahari

Pedagang rempah-rempah melayani pembeli di Pasar Cikurubuk, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Seni (23/3/2020). Foto Antara/Adeng Bustomi.

Soal jahe dan rempah-rempah lainnya bisa menangkal virus, dokter ahli gizi Tan Shot Yen mengaku belum menemukan kaitan keduanya. Begitu pula dengan riset terkait jus jeruk dengan kulitnya merupakan senyawa untuk menangkal virus, ia mengatakan, masih terlalu dini menyimpulkan hal itu. Menurutnya, riset membutuhkan waktu yang lama.

Maka, jika baru pada tahapan awal, kata dia, secara etika ditahan dahulu, tidak langsung dipublikasikan.

“Orang Inggris biasa mengonsumsi bolu dengan parutan jeruk dan sering minum jus jeruk, tetapi banyak yang tumbang karena Covid-19,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (21/4).

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Hasbullah Thabrany mengaku belum pernah mendapatkan bukti ilmiah yang menyebut air jahe dan jus jeruk dengan kulitnya bisa membunuh virus. Namun, ia membenarkan jahe dan rempah-rempah lainnya memang bisa menjaga daya tahan tubuh dan menyehatkan.

“Rempah-rempah yang sudah dibuktikan membuat saluran pencernaan bersih, misalnya kunyit dan temulawak,” ucapnya saat dihubungi, Selasa (21/4).

Virus di dalam tubuh, kata dia, hanya bisa dilawan dengan memperkuat sistem imunitas. Hasbullah menuturkan, memperkuat imunitas bisa dilakukan dengan mengonsumsi protein tinggi, yang terdapat dalam telur, ikan, daging ayam, tempe, dan tahu.

Selain protein, Tan Shot Yen mengingatkan untuk mengonsumsi sayur dan buah. Hasbullah mengatakan, agar daya tahan tubuh terjaga, masyarakat perlu rutin berolahraga dan menjaga kebersihan diri.

Di sisi lain, Guru Besar Biokimia dan Biologi Molekuler Universitas Airlangga (Unair), Chairul Anwar Nidom tidak mempermasalahkan penelitian yang dilakukan BMKG dan UGM terkait iklim dan cuaca memengaruhi persebaran wabah. Menurut dia, hal itu bagian dari keilmuan.

“Riset tersebut tak ubahnya untuk menenangkan dan memberikan harapan kepada masyarakat, tetapi ini virusnya baru. Artinya, tetap harus hati-hati," katanya saat dihubungi, Jumat (24/4).

Nidom pun tak mempersoalkan penelitian yang dilakukan IPB University dan UI terkait meminum jus jeruk dengan kulitnya. Ia mengatakan, yang terpenting adalah riset memiliki tujuan untuk mencari obat yang bisa digunakan untuk menolong orang terinfeksi SARS-CoV-2.

Saat ini, Nidom pun terus mendorong riset obat dari rempah-rempah, seperti jahe, kunyit, dan temulawak.

"Kalau saya yakin bahwa rempah-rempah ini bisa. Bangsa Indonesia harus berani mengungkap kekayaan bangsanya sendiri," ujar dia

Ia berpendapat, saat ini adalah momentum bagi Indonesia untuk meningkatkan riset soal rempah-rempah. Menurutnya, peneliti harus merasa terusik dengan kekayaan alam, tidak hanya menganggap rempah-rempah sebatas menyegarkan tubuh.

"Saya kan biasa meneliti virus, sekarang ini terusik dengan bahan alami. Ini adalah kesempatan kita untuk mengungkap bahwa kekayaan rempah-rempah di Indonesia ini bisa mengatasi segalanya," tuturnya.

Perihal berjemur di bawah sinar matahari, Hasbullah Thabrany mengatakan, hal itu memang baik untuk kesehatan. Sebab, sinar matahari mengandung vitamin D3, yang bagus untuk tulang. Namun, tak bisa mematikan virus di dalam tubuh.

Hasbullah menjelaskan, suhu di dalam tubuh manusia sekitar 35-37 derajat Celsius. Sementara virus baru bisa mati, jika berada di suhu 60 derajat Celsius.

Infografik mitos dan faktar soal Covid-19. Alinea.id/Oky Diaz.

“Suhu dalam badan 43 derajat Celsius, sudah mati kitanya,” katanya.

Menurut Hasbullah, kegiatan berjemur juga tak bisa dilakukan sembarangan. Ia mengatakan, idealnya dilakukan sebelum pukul 10.00, dengan durasi 15-30 menit. Bila berjemur di siang hari, ia menyarankan dilakukan sebentar saja. Alasannya, dosis ultraviolet berbeda pada tingkat ketinggian matahari.

Terkait hal itu, pada 2006 World Health Organization (WHO) mempublikasikan laporan bertajuk Sunshine and Health: How to Enjoy the Sun Safely. Laporan tersebut menyarankan agar menghindari sinar matahari dari pukul 11.00-15.00.

“Semakin siang, semakin tajam dosisnya. Tidak baik untuk kesehatan. Bisa menimbulkan risiko kanker kulit,” ujar dia.

Berita Lainnya
×
tekid