sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

‘Habis manis sepah dibuang’, dilema penghapusan tenaga kerja honorer

Kementerian PAN-RB, Badan Kepegawaian Negara, dan DPR sepakat menghapus tenaga honorer. Apa dampaknya?

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Kamis, 06 Feb 2020 06:00 WIB
‘Habis manis sepah dibuang’, dilema penghapusan tenaga kerja honorer

Pada 30 Januari 2020, sejumlah tenaga kerja honorer---terdiri dari satpam, office boy, cleaning service, dan sopir---di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor mereka. Para pengunjuk rasa menuntut kepastian status kerja.

“Selama ini kami tidak pernah menuntut gaji, ini-itu. Kami nyaman bekerja di sini. Tapi, ya jangan dibuang,” kata Bobi, bukan nama sebenarnya, saat ditemui reporter Alinea.id di Kantor LIPI, Jakarta, Senin (3/2).

Saat aksi unjuk rasa pada Kamis (30/1), Bobi ikut di dalam barisan. Ia mengatakan, para pengunjuk rasa bergerak tanpa komando, hanya berlandaskan kesamaan nasib. Sebelumnya, sebagian dari mereka mendengar, akan ada pemberhentian bagi tenaga kerja honorer di instansi tersebut.

“Satpam, cleaning service, office boy, dan sopir, itu mau cut (diberhentikan) harinya ya kemarin itu, makanya sebelum itu terjadi (kami unjuk rasa),” kata dia.

Spanduk protes sudah dicopot. Namun, kepastian belum didapat. Menurut Bobi, mereka menunggu mediasi yang kemungkinan akan diadakan pada Kamis (6/2). Bobi mengatakan, para pengunjuk rasa hanya ingin bekerja, meski gaji dipotong.

Bobi sudah bekerja sebagai satpam di instansi itu selama enam tahun. Ia khawatir, bila dipecat akan kesulitan mencari pekerjaan baru.

“Disuruh tes CPNS (calon pegawai negeri sipil), itu kan hanya untuk mereka yang S1 dan S2. Kalau kita apa? Sampah,” ujarnya.

Bobi berkisah, saat zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, tenaga honorer, mulai dari satpam hingga office boy diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Terakhir, pengangkatan itu dilakukan pada 2009.

Sponsored

“Sekarang hanya tinggal kenangan,” ucapnya.

Berbeda dengan Bobi, salah seorang tenaga kerja honorer di sebuah kementerian di Jakarta, Hendriko, malah mengaku senang dengan wacana penghapusan tenaga kerja honorer. Ia percaya diri bisa diangkat menjadi PNS.

Saat ini, ia mengantongi surat keputusan (SK) tahunan untuk bekerja di bagian tata usaha. Pekerjaan itu dilakoninya sejak Agustus 2017.

“Ketika itu, orang tua saya yang pensiunan dari sini, menyuruh saya untuk mencoba mengajukan diri. Ya sudah, akhirnya masuk,” ujar Hendriko saat dihubungi, Rabu (5/2).

Seandainya kebijakan penghapusan tenaga kerja honorer tak berpihak kepadanya, Hendriko sudah siap mencari pekerjaan baru di bidang keahliannya sebagai lulusan akuntansi.

Wali Kota Pekalongan Saelany Machfudz (kedua kanan) berbincang dengan sejumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) di Pekalongan, Jawa Tengah, Senin (6/1/2020). Foto Antara/Harviyan Perdana Putra.

Harus ada skema yang jelas

Pada 20 Januari 2020, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB), menggelar rapat kerja dengan Komisi II DPR dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Salah satu poin yang disepakati adalah menghapus tenaga kerja honorer di instansi pusat maupun daerah.

Penghapusan tenaga kerja honorer itu merujuk amanat Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Transisi penghapusan status tenaga honorer berlangsung dari 2018 hingga 2023.

Sebagai jalan keluar, pemerintah mendorong tenaga kerja honorer yang memenuhi persyaratan untuk ikut seleksi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) dan CPNS.

Menurut Deputi bidang Sumber Daya Manusia Aparatur, Kemen PAN-RB Setiawan Wangsaatmaja, penanganan tenaga kerja honorer sebenarnya sudah dimulai sejak diberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS. Di dalam beleid itu disebutkan, instansi pemerintah dilarang mengangkat tenaga kerja honorer dan sejenisnya.

Setelah pendataan seluruh tenaga kerja honorer dari 2006-2010, kata Setiawan, pada 2012 disepakati antara pemerintah dengan Komisi II, VII, dan X DPR agar tenaga kerja honorer yang belum diangkat menjadi ASN, diberikan satu kali kesempatan untuk ikut seleksi CPNS.

Setiawan mengatakan, penanganan tenaga honorer kategori 2 (K2) sebenarnya sudah selesai pada 2013. Menurut surat edaran Kemen PAN-RB Nomor 5 Tahun 2010, tenaga honorer K2 adalah mereka yang penghasilannya dibiayai bukan dari APBN atau APBD.

Berdasarkan data dari Kemen PAN-RB, pada 2013 sudah dilaksanakan seleksi CPNS untuk tenaga kerja honorer K2. Dari 2009-2013, ada sebanyak 1.070.092 tenaga honorer yang lulus seleksi. Pada 2013, sebanyak 209.872 orang lulus seleksi, dan 438.590 tidak lulus.

Jabatan terbanyak yang tidak lulus seleksi adalah administrasi, sebesar 269.400 orang. Sisanya, guru sebesar 157.210 orang, kesehatan sebanyak 6.091 orang, dan penyuluh sebesar 5.803 orang.

“Kami tidak lagi menamakan tenaga honorer K2, tetapi ekstenaga honorer K2 yang tidak lulus, agar clear,” ujar Setiawan dalam konferensi pers di Kantor Kemen PAN-RB, Jakarta, Senin (27/1).

Setiawan berdalih, niat pemerintah menuntaskan persoalan tenaga kerja honorer dibuktikan dengan jatah penerimaan CPNS yang melebihi pelamar umum. Ia menganggap, kelemahan pengangkatan tenaga kerja honorer terletak pada posisi dan jabatan yang diharapkan. Sehingga komposisi ASN di pemerintah pusat dan daerah dominan dengan pelaksana yang sifatnya administratif, sebesar 39,1%.

“Inilah yang pemerintah sedang perbaiki,” tutur Setiawan.

Sementara itu, anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera berujar, DPR sudah memberi catatan yang harus diakomodasi pemerintah dalam plot-plot skema. Ia mengatakan, penghapusan status tenaga kerja honorer harus ada skema yang jelas dari pemerintah.

“Jadi, tidak bisa sembarangan,” kata Mardani saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (4/2).

Menurut Mardani, DPR sedang mendesak pemerintah untuk menyampaikan skema tersebut. Targetnya, Juni 2020.

“Tapi, Maret ini harus sudah ada proposal pertamanya,” ujar Mardani.

Mardani mengatakan, DPR dan pemerintah sepakat menghapus tenaga kerja honorer untuk memastikan semua pegawai di instansi pemerintah pusat dan daerah, punya kejelasan status.

“Kalau dihapus, tanpa ada skema itu namanya bunuh diri. Ada empat sampai lima (skema),” ucapnya.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu pun mengingatkan pemerintah, agar tak mematok usia sebagai persyaratan pengangkatan ASN.

Sebagai gambaran, berdasarkan data dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) per 26 Januari 2020, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KemenkumHAM), Kementerian Agama (Kemenag), Kejaksaan Agung (Kejagung), Mahkamah Agung (MA), dan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) merupakan lima instansi pusat yang jumlah peserta seleksinya tertinggi dibanding instansi lain. Sedangkan lima pemerintah daerah yang memiliki jumlah seleksi CPNS tertinggi, yakni Pemprov Jawa Timur, Pemprov Jawa Tengah, Pemprov DKI Jakarta, Pemprov Jawa Barat, dan Pemprov Sumatera Barat.


Antara kesejahteraan dan pengangkatan

Ketua Umum Forum Honorer Kategori 2 Indonesia (FHK2I) Titi Purwaningsih mengakui, tenaga kerja honorer memang tak diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014. Ia pun tak menolak penghapusan status tenaga kerja honorer.

“Namun, pemerintah masih perlu menyelesaikan kewajibannya terkait tenaga kerja honorer kategori 2,” ujar Titi saat dihubungi, Rabu (5/2).

Titi berharap, pemerintah mengangkat tenaga kerja honorer K2 sesuai dengan tata aturan kepegawaian yang berlaku.

Ia mengatakan, tenaga honorer K2 adalah problem serius. Mereka, kata Titi, sudah mengabdi bertahun-tahun dengan hak diabaikan, tetapi beban kerja sama dengan ASN. Terhitung sejak 2005, banyak tenaga honorer K2 yang usianya 30 tahun lebih. Pengabdiannya pun minimal sudah 15 tahun. Sebagian, kata dia, sudah pensiun atau meninggal dunia.

“Dengan gaji ART (asisten rumah tangga) saja. Kita itu pegawai yang ada dalam instansi pemerintah, yang sudah terdaftar dalam database BKN. Ini kok masih terbengkalai,” tuturnya.

Titi mendesak pemerintah untuk mencari solusi menuntaskan masalah tenaga kerja honorer K2. Pemerintah, kata Titi, jangan lempar tanggung jawab karena sudah jelas tenaga kerja honorer dilarang sejak 2013.

 Peserta tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Kementerian Hukum dan Hak Azazi Manusia (Kemenkumham) mengikuti Seleksi Kompetensi Dasar (SKD) dengan Computer Assisted Test (CAT) di aula Universitas Abulyatama, Aceh Besar, Aceh, Rabu (5/2/2020). Foto Antara/Irwansyah Putra,

“Kewajiban mereka hanya honorer kategori 2, yang jumlahnya hanya tinggal 438.590 orang. Jadi, bukan dua juta atau tiga juta,” tutur Titi.

Ia juga menuntut pemerintah untuk memberi payung hukum terhadap tenaga kerja honorer K2. Bila regulasi belum tercapai, yang paling urgen menurut Titi, pemerintah mencari solusi dengan meningkatkan kesejahteraan mereka.

Lebih revolusioner, Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kahar S. Cahyono malah menuntut tenaga kerja honorer untuk langsung diangkat menjadi ASN, tanpa menjalani serangkaian seleksi. Alasannya, mereka sudah bekerja selama bertahun-tahun di bidang pekerjaan yang telah lama digeluti.

“Rencana penghapusan ini sekaligus menjadi sebuah tanda tanya bagi KSPI. Dihapus itu kawan-kawan honorer di kemanakan? Seperti habis manis sepah dibuang,” tutur Kahar saat dihubungi, Senin (3/2).

Kahar menuding, saat ini pemerintah tidak pro dengan tenaga kerja. Menurut Kahar, penghapusan tenaga kerja honorer bisa menjadi preseden buruk pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.

“Kalau pemerintah tidak memberikan kepastian kepada tenaga kerja honorer, yang notabene adalah pegawai pemerintah, bagaimana bisa memberi contoh kepada pegawai-pegawai swasta yang saat ini juga banyak yang honor, kontrak, atau outsourching?” ujar Kahar.

Menanggapi masalah ini, pakar hukum ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia (UI) Payaman J. Simanjuntak menuturkan, di pemerintahan daerah, perekrutan tenaga kerja honorer resmi karena diangkat gubernur atau bupati yang berwenang.

Infografik tenaga kerja honorer. Alinea.id/Dwi Setiawan.

Dasar hukum merekrut tenaga kerja honorer, kata dia, hanya kebijakan gubernur, bupati, atau wali kota setempat, atas pertimbangan kebutuhan tenaga dan ketersediaan anggaran. Sementara besaran honor berbeda-beda karena memang tidak ada aturannya. Biasanya, kata Payaman, disesuaikan dengan standar umum di bawah upah minimum provinsi (UMP) atau upah minimum kabupaten (UMK).

“Dahulu, pemerintah pusat membatasi jumlah PNS. Padahal, pemerintah daerah merasakan ada kebutuhan dan tersedia anggaran daerah. Diangkatlah sebagai pegawai honorer,” ucapnya saat dihubungi, Senin (3/2).

Penulis buku Peranan Penelitian Ketenagakerjaan dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia (1996) ini menyambut baik wacana penghapusan tenaga kerja honorer. Menurutnya, penghapusan ini baik untuk penataan aparatur negara.

Agar lebih adil, Payaman mengatakan, tenaga kerja honorer yang dinyatakan tidak memenuhi persyaratan diangkat sebagai ASN, maka tak pantas dipertahankan. Sedangkan yang pantas diangkat, kata dia, adalah yang memenuhi syarat jabatan.

“Misalnya, yang dibutuhkan adalah akuntan, pegawai honor SH (sarjana hukum) tidak cocok, harus disalurkan ke pekerjaan lain,” kata dia.

Berita Lainnya
×
tekid