sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Fahri Hamzah: Ide besar bangun ibu kota baru perlu narasi utuh

Fahri mencontohkan bahwa Istana Negara saat ini adalah peninggalan kolonial Belanda.

Dinda Berenice
Dinda Berenice Sabtu, 19 Feb 2022 10:17 WIB
Fahri Hamzah: Ide besar bangun ibu kota baru perlu narasi utuh

Membangun ibu kota baru memerlukan narasi yang komperhensif. Jangan sampai visi pembangunan hanya seperti membangun kota biasa, seperti yang biasa dibangun pihak swasta.

Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah mengungkapkan, dalam sejarahnya bangsa Indonesia bisa dikatakan tidak pernah merancang dan membangun Ibu Kota Negara (IKN), termasuk Jakarta.

Fahri mencontohkan bahwa Istana Negara saat ini adalah peninggalan kolonial Belanda. Demikian juga Gedung DPR/MPR yang sebenarnya adalah Gedung CONEFO yang dibangun Bung Karno.

"Pemindahan IKN adalah ide besar yang memerlukan penjelasan atau narasi yang komprehensif. Jika tidak, penuntasan ide besar tersebut akan terhambat," ujar Fahri.

Hal itu ditegaskan Fahri dalam Webinar Moya Institute yang bertajuk “Urgensi Pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Nusantara ", yang juga digelar secara luring di Moya Coffee & Kitchen, Jakarta Jumat (18/2/2022).

Fahri mengatakan Presiden Jokowi menggagas transfer IKN yang terkesan spontan, meski sudah direncanakan dengan matang. Pembicara dan Pendukung Kepresidenan diperlukan untuk mendukung ide bagus ini. Fahri mengenang, apa yang dilakukan ibu kota negara baru, Nusantara, sebenarnya lebih dari sekadar membangun kota biasa.

“Namun, mari kita bangun “wajah” negara yang mencerminkan Indonesia sebagai negara kepulauan dan termasuk dalam memori sejarah nasional,” kata Fahri.

Fahri mengatakan bahwa jika hanya membangun kota biasa, banyak perusahaan bisa melakukannya. Fahri mencontohkan, Bumi Serpong Damai, Meikarta, Bintaro dan berbagai kota sejenisnya sudah banyak dan mudah dibangun oleh perusahaan-perusahaan properti swasta.

Sponsored

"Seharusnya, pembangunan ibu kota negara baru itu tidak lah sama. Ibu kota negara baru ini harus berbasiskan pada ide besar tentang Indonesia, yang bisa diceritakan pada dunia. Harus ada ide besar dan narasi yang baik dan tepat, untuk mengajak bangsa ini bersepakat memindahkan ibu kota negara nya," ujar Fahri.

Sementara itu, mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Andrinof Chaniago mengatakan, pengalihan IKN merupakan wujud dari upaya transformasi Indonesia.

Andrinof mengemukakan bahwa kota-kota besar di pulau Jawa pada umumnya adalah kota-kota yang kualitasnya tidak meningkat akibat kepadatan penduduk yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Tekanan demografi kemudian memunculkan masalah ekologi dan pangan di Pulau Jawa.

"Tak hanya itu, ketimpangan antara pulau Jawa dan luar Jawa pun 'beranak-pinak'. Konsekuensinya, pertumbuhan kemiskinan di luar Jawa, khususnya Indonesia Tengah dan Timur meningkat. Ketimpangan Sumber Daya Manusia juga meninggi, akibat ketimpangan sentra-sentra pendidikan unggul, yang menumpuk di Jawa," papar Andrinof.

Solusi dari semua itu, menurut Andrinof, adalah melakukan transformasi dari pola pembangunan kolonial yang mengandalkan 'magnet' tunggal di DKI Jakarta maupun Jawa, ke model pembangunan merata ke wilayah tengah Indonesia.

"Jadi 'magnet' tunggal itu harus 'dipecah', dan pemindahan IKN ini adalah upaya untuk memecahkan magnet tunggal itu," kata Andrinof.

"IKN di Kalimantan Timur ini akan menjadi perwujudan dari keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya bagi daerah-daerah di luar Jawa seperti Indonesia Timur dan Tengah, yang selama ini menjadi korban ketimpangan," sambung inisiator Visi Indonesia 2033 ini.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto mengatakan dengan ditandatanganinya UU Ibu Kota Negara oleh Presiden Jokowi, negara ini akan menandai sejarah baru dalam peradabannya.

Cerita baru adalah pemindahan ibu kota negara dari Jakarta di pulau Jawa ke dua badan pemerintahan di Kalimantan. Tentu saja, kata Hery, dalam membangun cerita baru ini, ada pro dan kontra yang menyertainya. “Dan pro dan kontra adalah hal biasa di negara demokrasi. Dengan satu peringatan, menyampaikan pendapat harus dilakukan dengan anggun,” tutup Hery.

Berita Lainnya
×
tekid