sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Petaka gelombang kedua pandemi di penghujung relaksasi

Relaksasi di sejumlah negara memicu gelombang kedua pandemi Covid-19.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Minggu, 17 Mei 2020 12:29 WIB
Petaka gelombang kedua pandemi di penghujung relaksasi

Rapat maraton secara daring terus digelar Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo dan sejumlah pejabat pemerintah. Rapat-rapat itu digelar demi merumuskan skenario paling tepat dalam melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). 

Deputi Bidang Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Lilik Kurniawan mengatakan pembahasan skenario relaksasi PSBB itu masih alot. Tak semua pejabat sepakat melonggarkan PSBB demi menyelamatkan perekonomian. 

"Ini masih pro-kontra sebenarnya. Di satu sisi, kami memang ingin memutus mata rantai (penyebaran) Covid-19 ini. Tapi, kami tahu banyak orang yang kemudian kehilangan pekerjaan atau pun dirumahkan," ujar Lilik kepada Alinea.id di Jakarta, Rabu (13/5).

Setidaknya ada dua kebijakan bernuansa pelonggaran PSBB yang telah dikeluarkan pemerintah. Pertama, membuka kembali operasional moda transportasi. Kedua, memberikan kesempatan kepada kelompok usia di bawah 45 tahun untuk kembali berkerja di tengah pandemi. 

"Kami tahu banyak orang yang di-PHK (pemutusan hubungan kerja). Intinya, masalah ekonomi. Kalau diem begini, ekonomi enggak bergerak. Nah, ini sedang dicari skenario yang tepat. Apa saja yang dibatasi dan kemudian harus dipertimbangkan, baik tempat maupun waktunya," tutur Lilik. 

Saat ini, Gugus Tugas Covid-19 dan kementerian terkait sedang menyusun indikator yang tepat untuk menetapkan relaksasi PSBB. Berdasarkan hasil rapat terbatas terakhir Presiden, Lilik mengatakan, pelonggaran PSBB kemungkinan besar bakal mulai diterapkan usai Idulfitri.

"Kemungkinan besar tidak serempak dan tidak sama setiap daerah pelonggarannya. Soalnya masih ada daerah yang kurvanya mulai stabil dan landai, tapi banyak juga daerah yang langsung meningkat kurvanya. Nah, ini yang harus jadi perhitungan," ujar Lilik.
 
Berkaca pada negara-negara yang mengalami lonjakan kasus setelah relaksasi lockdown, menurut dia, relaksasi tak bisa sembarangan dilakukan. "Kami juga enggak mau Indonesia mengalami gelombang kedua," kata dia.

Data kasus harian positif Covid-19 di Indonesia. /Worldometer 

Sponsored

Wakil Ketua Komisi V DPR Nurhayati Monoarfa mengaku setuju PSBB dilonggarkan. Menurut dia, PSBB yang terlalu kaku dan ketat telah berdampak buruk terhadap perekonomian nasional. 

"Banyak orang kehilangan mata pencaharian akibat PHK. Kemiskinan meningkat dan daya beli otomatis bisa merosot," ucap politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu kepada Alinea.id, Selasa (12/5).

Ia berpendapat relaksasi PSBB bisa dijalankan selaras dengan upaya-upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Dengan begitu, rakyat kecil yang hidupnya serba pas-pasan tidak menjadi korban. 

"Perlu kedisiplinan agar tidak ada cluster-cluster baru. Pabrik-pabrik boleh buka, asalkan perusahaannya mau dan bersedia rapid test seluruh karyawannya. Bila negatif, boleh masuk. Tapi, bila positif harus dirumahkan atau diisolasi," ucapnya.

Pendapat berbeda diutarakan anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay. Saleh justru mendesak pemerintah membatalkan rencana relaksasi PSBB. Pasalnya, hingga kini kurva jumlah kasus positif Covid-19 belum juga melandai dan cenderung fluktuatif. 

Berkaca pada kondisi di lapangan, Saleh menyebut mobilitas warga menjadi salah satu penyebab masih tingginya jumlah kasus positif baru setiap harinya. Faktor lainnya ialah tidak tegasnya sanksi bagi para pelanggar aturan. 

"Belum lagi kasus di KRL itu banyak ditemukan yang terjangkit di sana. Itu menandakan kondisi belum aman. Karena itu, masih belum tepat untuk melakukan pelonggaran PSBB," ujar politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu.

Saleh meminta pemerintah mengkaji ulang rencana relaksasi PSBB. Menurut dia, penyelamatan ekonomi tidak bisa dijadikan dalih untuk relaksasi. "Sehingga tak ada persoalan di belakang hari terkait dengan opsi kebijakan relaksasi PSBB itu," imbuhnya. 

Kritik juga datang dari pengamat kebijakan publik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Satria Aji Imawan. Menurut Satria, rencana relaksasi PSBB janggal. "Soalnya setiap hari juga masih nambah angkanya dan masih fluktuatif. Belum ada kurva melandai," jelas dia. 

Ia juga tidak sepakat dengan alasan minimnya kematian pasien Covid-19 berusia di bawah 45 tahun sebagai salah satu argumentasi untuk melonggarkan PSBB. Menurut dia, argumentasi tersebut mentah. 

Pasalnya, orang berusia di bawah 45 tahun pun bakal jadi tidak produktif jika tertular. "Dan tidak menopang ekonomi. Menurut saya, rencana ini perlu dikaji ulang," imbuh Satria. 

Pesepeda terlihat di Tower Bridge, di tengah wabah penyakit virus corona (COVID-19), di London, Inggris, Jumat (15/5). /Foto Antara

Relaksasi dan gelombang kedua pandemi

Opsi relaksasi belakangan memang sedang ngetren di berbagai negara. Di benua Eropa, negara-negara yang paling parah dihantam pandemi Covid-19 bahkan mulai berani melonggarkan kebijakan karantina wilayah alias lockdown. 

Italia--yang sempat menjadi pusat pandemi global, misalnya. Negeri Spaghetti itu mulai melonggarkan lockdown dengan membuka kembali taman-taman, perkantoran, restoran dan sekolah. Kebijakan serupa juga diberlakukan Jerman, Prancis, Spanyol, dan negara-negara di kawasan Skandinavia. 

Di Asia, relaksasi lockdown juga mulai diberlakukan di Jepang, Korea Selatan, China, dan Singapura. Masing-masing negara memiliki varian sendiri dalam memberlakukan kebijakan relaksasi tersebut.

Opsi relaksasi lockdown itu diambil berbasis enam kriteria yang ditetapkan World Health Organization (WHO). Pertama, kasus positif terus berkurang hingga pada titik jumlah tenaga medis atau sistem kesehatan suatu negara mampu menanganinya.

Kedua, sistem kesehatan negara itu mampu mendeteksi sekaligus menangani kasus-kasus serius serta mengantisipasi kemungkinan kasus transmisi lokal atau impor. Ketiga, angka kematian bisa ditekan dan diidentifikasi secara jelas. 

Keempat, perencanaan preventif untuk mencegah penyebaran virus diterapkan di tempat kerja. Kelima, pemerintah negara itu mampu mengatur risiko kasus ekspor dan impor dari komunitas yang punya kecenderungan transmisi yang tinggi.

Terakhir, publik di negara itu memiliki kesadaran tinggi mengenai pentingnya pembatasan sosial berskala besar untuk mencegah penularan Covid-19. 

Data jumlah kasus harian di Korea Selatan. /Worldometer

Meski dilaksanakan dengan ketat, namun demikian, relaksasi lockdown itu tetap berisiko. Di Jerman misalnya, jumlah kasus positif Covid-19 sempat melonjak setelah relaksasi diberlakukan pada awal Mei. Adapun di Korsel, lonjakan kasus terjadi bersumber dari penularan di klub-klub malam yang sempat dibuka karena kebijakan relaksasi. 

Di Wuhan, China, lockdown tak lagi diterapkan sejak 7 April. Sempat menikmati zero infection selama beberapa pekan, kasus transmisi lokal mulai kembali muncul sejak awal Mei. Untuk mencegah gelombang pandemi kedua, pemerintah China bahkan berencana untuk mengetes 11 juta penduduk Wuhan. 

Bahaya gelombang pandemi kedua karena relaksasi itu sebenarnya sudah diprediksi sejumlah peneliti Massachusetts Institute of Technology (MIT) pada April lalu. Mengolah data kasus-kasus positif Covid-19 di Wuhan, Korea Selatan, Italia, dan AS, para peneliti menemukan bahwa kebijakan karantina dan isolasi merupakan kunci untuk mencegah reproduksi Covid-19. 

Dalam riset bertajuk "Quantifying the effect of quarantine control in Covid-19 infectious spread using machine learning" itu, para peneliti umumnya menemukan kenaikan dan penurunan jumlah kasus sangat erat berkaitan dengan kebijakan-kebijakan tegas pemerintah dalam mencegah penularan. 

Salah satu peneliti dalam riset itu, George Barbastathis mengatakan, hasil kajiannya menyimpulkan bahwa relaksasi atau pelonggaran kebijakan karantina akan berujung pada ledakan eksponensial jumlah infeksi. 

"Dengan merelaksasi kebijakan-kebijakan karantina terlalu cepat, kami memprediksi konsekuensinya bakal jauh lebih berbahaya," kata Barbastathis. 

Riset bertajuk "Estimating the burden of SARS-CoV-2 in France" yang dilakukan Henrik Salje dan kawan-kawan juga menemukan hal serupa. Dalam riset yang dirilis pada 13 Mei di jurnal Science itu, Salje cs memperkirakan bahwa sekitar 2,8 juta orang di Prancis terinfeksi Covid-19. 

Riset itu membandingkan tingkat imunitas populasi di Prancis, jumlah infeksi, identifikasi kelompok-kelompok yang rentan terkena Covid-19, dan dampak kebijakan mengontrol pandemi yang diberlakukan pemerintah.

Berbasis data itu, Salje dan kawan-kawan menyimpulkan lockdown yang diberlakukan pemerintah Prancis sejak 17 Maret mampu mengurangi transmisi lokal hingga 77%. 

Karena itu, Salje dan kawan-kawan merekomendasikan pemerintah Prancis membatalkan kebijakan relaksasi yang diberlakukan pada 11 Mei lalu. Tanpa vaksin, menurut mereka, membangun imunitas kelompok saja tidak akan mampu mencegah lahirnya gelombang kedua pandemi pasca-lockdown

"Studi ini menunjukkan dampak besar lockdown terhadap transmisi SARS-CoV-2. Prediksi kami, rendahnya tingkat imunitas terhadap SARS-CoV-2 mengindikasikan bahwa tindakan-tindakan untuk mengontrol penyebaran wabah secara efisien harus dipertahankan," tulis Salje. 

Membandingkan syarat-syarat WHO dan data global terkait Covid-19, peneliti gabungan dari Blavatnik School of Government dan University of Oxford menemukan bahwa--setidaknya hingga 23 April--tidak ada satu pun negara yang "berhak" melonggarkan lockdown.

Seorang perempuan memakai masker pelindung dan sarung tangan berjalan melewati sebuah tram, saat penyebaran penyakit virus korona (COVID-19) terus berlanjut, di Milan, Italia, Sabtu (4/4). /Foto Antara

Relaksasi PSBB dianggap keliru

Terkait rencana relaksasi di Indonesia, Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra mengatakan, rencana itu tidak tepat dilakukan saat ini. Menurut dia, Indonesia sama sekali belum melewati puncak pandemi.

"Jangankan puncak pandemi, sekarang saja angka positif terus naik. Bahkan, episentrum baru mulai bermunculan. Kok tiba-tiba mau melakukan pelonggaran? Mestinya pemerintah berkaca dari negara-negara lain yang mengalami pandemi jilid II setelah melakukan pelonggaran," ujarnya kepada Alinea.id, Rabu (13/5).

Hermawan mendesak pemerintah untuk tidak gegabah melonggarkan PSBB. Jika langkah itu diambil, ia khawatir publik malah bakal semakin tidak mematuhi protokol kesehatan yang diberlakukan pemerintah untuk meredam pandemi.

"PSBB itu sebenarnya intervensi paling longgar ketimbang lockdown. Jadi, kalau mau dilonggarkan, mau dilonggarkan seperti apa lagi? Jangan malah membuat publik menganggap enteng kasus Covid-19 ini," katanya.

Ketimbang mengambil opsi relaksasi, Hermawan menyarankan agar pemerintah fokus mengevaluasi pemberlakuan PSBB. "Mestinya melakukan sinkronisasi antara unsur pemerintah. Sekaligus memperkuat kapasitas pemeriksaan laboratorium dan pelayanan. Lalu, masyarakat kita harus lebih disiplin lagi," imbuhnya.

Infografik Alinea.id/Hadi Tama

Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono setuju relaksasi PSBB tidak tepat. Ia bahkan menyebut pemerintah menggunakan analisis yang salah dengan memperbolehkan warga berusia 45 tahun kembali bekerja seperti biasanya. 

"Dasarnya apa? Mereka risiko kematiannya rendah. Nah, itu kan berarti dari data di rumah sakit. Mereka yang masuk rumah sakit yang bawah 45 tahun itu kematiannya rendah, tapi kan yang penting adalah risiko orang sakit," ujar Pandu. 

Menurut Pandu, rencana tersebut justru potensial membuat penyebaran virus Covid-19 makin tak terkendali. Pasalnya, orang-orang yang berusia di bawah 45 tahun kerap menjadi penular tanpa gejala.

"Bisa saja di tempat-tempat mereka bekerja terjadi penularan dan ketika pulang ke rumah ketemu orangtuanya. Mereka (pemerintah) enggak mikir ke situ. Masak data risiko kematian dipakai untuk data risiko terinfeksi?" ujar dia. 

Pandu juga mengkritik Gugus Tugas Covid-19 yang malah mengurusi PHK dan ekonomi masyarakat. Ia menduga ada kepentingan-kepentingan pengusaha yang mempengaruhi keluarnya kebijakan tersebut. 

"Artinya, ada tekanan kepada orang-orang Gugus Tugas Covid-19 dari pelaku-pelaku bisnis. Mereka ngancem, kalau ini enggak dibuka, bakal ada PHK," ujar Pandu. 

Berita Lainnya
×
tekid