sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Getir perempuan kepala keluarga: Pandemi adalah masa terberat dalam hidup saya 

Sebagian besar perempuan yang berstatus sebagai kepala keluarga perekonomiannya terpuruk selama pandemi Covid-19.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Selasa, 12 Okt 2021 15:43 WIB
Getir perempuan kepala keluarga: Pandemi adalah masa terberat dalam hidup saya 

Dua tahun terakhir merupakan masa-masa yang paling berat bagi Sri Wahyuningsih. Setelah ditinggal suami yang meninggal karena penyakit paru pada 2019, perempuan berusia 45 tahun itu sendirian menghadapi pandemi Covid-19. Demi bertahan hidup, beragam pekerjaan tambahan ia lakoni. 

"Saya menanggung dua anak yang satunya kelas 5 SD satunya lagi 2 SMP. Stagnan saya di awal-awal (pandemi). Enggak tahu harus bagaimana," ujar Sisi, sapaan akrab Sri, saat berbincang dengan Alinea.id, Kamis (7/10). 

Sehari-hari, Sisi bekerja sebagai guru Taman Kanak-kanak (TK) Raudatul Athfal Sirojul Huda di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Saat pandemi memburuk, TK itu turut terpukul. Jumlah murid TK berkurang drastis lantaran tak banyak orang tua yang mau menyekolahkan anak-anak mereka di tengah ancaman virus. 

Situasi tersebut berdampak pada penghasilan Sisi. Sejak pandemi, TK tempatnya bekerja memberlakukan pemotongan gaji karyawan dengan kisaran 50-60%. "Saya hanya menerima gaji Rp 700 ribu sebulan," ungkap Sisi. 

Meskipun berstatus sebagai ibu tunggal, nama Sisi juga tak tercatat sebagai penerima beragam bantuan sosial yang digelontorkan pemerintah saat pandemi. Itu karena Sisi kini tinggal di Sawangan, Bogor. Di kartu keluarga (KK), Sisi masih beralamat di Jakarta. 

"Tapi, saya pikir, ya sudahlah. Saya enggak mau berharap walaupun sebenarnya janda itu masuk prioritas (penerima bansos). Lebih baik saya lakukan hal lain yang saya bisa," ucap Sisi.

Penghasilan sebesar itu, kata Sisi, tak cukup untuk menghidupi keluarga kecilnya. Untuk mencari pendapatan tambahan, Sisi lantas mulai berjualan makanan ringan di dekat rumahya dan membuka les privat untuk sejumlah anak.

Jasa les privat yang ditawarkan Sisi ternyata diminati. Dari satu anak, Sisi kini membimbing sejumlah anak yang dititipkan orang tua mereka. "Setelah saya pegang, anaknya rangking di sekolahnya. Akhirnya, dari mulut ke mulut, orang tua itu pada minta ke saya," imbuh Sisi. 

Sponsored

Meski pendapatannya kini terbilang cukup untuk bikin dapur ngebul dan menyekolahkan dua anaknya, Sisi masih gamang menghadapi masa depan. Apalagi, hingga kini belum ada tanda-tanda pandemi berakhir. "Saya coba ikhtiar aja. Saya punya prinsip, kalau pintu rezeki satu tertutup, pintu lainnya akan terbuka," tutur dia.

Pelajar mengerjakan tugas sekolah yang diberikan guru secara daring di rumahnya, Muntung, Candiroto, Temanggung, Jateng, Selasa (7/4/2020). Foto Antara/Anis Efizudin

Situasi serupa juga dialami Theresia Moleh. Semula berprofesi sebagai pemandu wisata, Theresia harus banting setir jadi penjual makanan online. Pada awal pandemi, sektor pariwisata terpukul setelah pemerintah melarang kegiatan wisata dan menghentikan penerbangan. 

"Otomotis saya enggak bisa bekerja lagi karena semua penerbangan enggak bisa terbang. Semua mati suri pariwisata. Saya tidak pernah berpikir kalau pandemi ini membuat saya berhenti memiliki income," kata Theresia kepada Alinea.id, belum lama ini. 

Theresia jadi orang tua tunggal setelah bercerai dengan sang suami pada 2015. Selama itu, ia menghidupi keluarga dari pekerjaannya sebagai pemandu wisata. Sekali memandu, Theresia biasanya memperoleh honor hingga Rp5 juta. 

Awalnya, Theresia sempat berpikir aktivitas di sektor pariwisata tak akan lama terdampak pandemi. Seiring waktu, ia sadar pemikirannya salah. "Dari situ saya sadar saya harus cepat ambil langkah. Sebab, saya punya satu anak," ucap Theresia. 

Sejak tahun lalu, ia pun mulai belajar berjualan online. Ia memilih barang-barang dan makanan yang potensial laku keras di pasaran untuk dijajakan di lapaknya. "Saya juga manfaatkan jaringan saya untuk memasarkan dagangan saya. Jadi, kami saling bantu," imbuhnya. 

Hidup sebagai perempuan kepala keluarga saat pandemi, kata Theresia, tak pernah mudah. Persoalan hidup datang silih berganti. Theresia pun harus mengambil semua keputusan penting sendirian. 

"Kalau ada pendamping, kita bisa pikirkan bareng dan saling berbagi peran. Terus terang pandemi tahun lalu adalah masa-masa terberat dalam hidup saya," kata perempuan yang tinggal di kawasan Duri Kosambi, Jakarta Barat itu. 

Theresia sempat menghadapi situasi sulit saat harus menebus ijazah anaknya yang lulus SMA pada pertengahan 2020. Ketika itu, ia baru saja memulai bisnis dan penghasilannya masih terbatas. Untungnya, pihak sekolah bersedia memberikan keringanan selama sebulan. 

"Kalau saya enggak cari uang untuk SPP, ijazah dan raport dari sekolah enggak bisa kasih. Saya pun langsung lunasi begitu ada uang. Kalau enggak nanti anak saya mau kerja tidak ada dokumen dari sekolah. Bisa susah," ujar dia.

Theresia sebenarnya punya niat untuk menguliahkan putri semata wayangnya. Namun, ia belum mampu mengumpulkan biaya kuliah bagi sang anak. Selagi menunggu, sang anak pun kini bekerja supaya bisa meringankan beban hidup Theresia. "Bersyukurnya anak ini mengerti," ucap Theresia. 

Selama menjalani hidup sebagai orang tua tunggal, Theresia juga menyibukkan diri di Komunitas Single Mom Indonesia. Pada medio 2021, Theresia juga telah menerbitkan sebuah buku yang merekam tantangan yang dihadapi dia dan anaknya selama pandemi. 

Ia berharap buku bertajuk Melukis Bianglala itu bisa menginspirasi orang tua tunggal sepertinya untuk tetap tegar menjalani hidup. "Saya ingin sesama ibu-ibu orang tua tunggal saling menguatkan, mereka banyak masalah. Bahkan, cobaannya mungkin lebih berat dari saya," tutur dia. 

Ilustrasi perempuan kepala keluarga. /Foto kibrispdr.org

Butuh uluran tangan 

Direktur Yayasan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) Fitria Villa Sahara mengatakan beban hidup mayoritas perempuan kepala keluarga saat pandemi Covid-19. Gambaran itu ia peroleh dari data para perempuan yang diadvokasi Pekka di 1.400 desa di 20 provinsi. 

"Ada sebanyak 95% perempuan kepala keluarga yang bekerja di sektor informal dan hampir separuhnya berpenghasilan kurang dari Rp500 ribu sebulan. Kondisinya memang semakin terpuruk," kata Villa kepada Alinea.id, Kamis (7/10).

Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik tahun 2020, terdapat sekitar 11,44 juta perempuan yang berstatus sebagai kepala keluarga di Indonesia. Angka itu naik sekitar 30% jika dibandingkan dengan survei serupa pada 2016. 

Menurut Villa, perempuan kepala keluarga yang tinggal di pedesaan yang paling menderita saat pandemi. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai buruh tani dan mengandalkan penjualan hasil panen sebagai sumber pendapatan. 

"Mereka ini enggak punya jaminan-jaminan. Saat ini, mereka menjualnya (hasil panen) agak sulit karena masalah PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat). Mereka benar-benar terpukul dengan kondisi ini," jelas Villa.

Menurunnya kesejahteraan para perempuan kepala keluarga, kata Villa, turut berimbas kepada pendidikan anak-anak mereka. Banyak anak tidak bisa melanjutkan sekolah lantaran tidak ada biaya. "Misalnya, anaknya sudah tamat SD, terus akhirnya tidak bisa melanjutkan ke SMP," imbuhnya. 

Untuk keluar dari jerat kemiskinan, Villa mengatakan, para perempuan kepala keluarga sangat membutuhkan sistem pendukung, baik dari keluarga besar dan komunitas terdekat. Dalam sistem itu, anak-anak, misalnya, diasuh keluarga besar atau komunitas sehingga para perempuan bisa fokus mencari nafkah. 

Cara lainnya, lanjut Villa, ialah dengan membangun lingkungan kerja yang ramah anak. "Misalnya, anak-anak tersebut di bawa ke tempat kerja. Tetapi, harus diciptakan lingkungan yang mendukung si ibu," tutur Villa.

Untuk membantu para perempuan kepala keluarga, menurut Villa, Pekka rutin berkolaborasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dan sejumlah pemerintah daerah. Salah satunya dalam penyaluran bantuan sosial selama pandemi. 

Meski begitu, ia menilai, masih banyak perempuan kepala keluarga yang belum tersentuh bantuan dari pemerintah. "Kami menemukan ada perempuan kepala keluarga yang lansia, tapi tidak termasuk dalam penerima bansos. Dia masuk dalam KK anaknya yang dikategorikan mampu meskipun sebenarnya tinggal terpisah," kata dia. 

Ilustrasi para perempuan kepala keluarga yang tinggal di wilayah pedesaan. /Foto Unsplash

Komisioner Komnas Perempuan Rainy Hutabarat membenarkan banyak perempuan kepala keluarga yang perekonomiannya memburuk akibat pandemi Covid-19. Itu terekam dari survei Komnas Perempuan tentang Dinamika Rumah Tangga di Masa Pandemi Covid-19 pada 2020.

Dalam survei itu, menurut Rainy, mayoritas perempuan kepala keluarga bebannya bertambah berat lantaran harus mengurus anak di rumah selagi bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang malah meningkat. Tambahan kebutuhan itu semisal untuk membeli alat pelindung diri (APD), kuota internet, dan ponsel untuk digunakan anak-anak saat belajar secara daring. 

Sebagai solusi, Rainy mengusulkan sejumlah saran. Pertama, pemutakhiran data jumlah perempuan kepala keluarga. Menurut dia, ada data para perempuan kepala keluarga yang tidak diperbaharui meskipun sudah berstatus janda. Alhasil, mereka tidak masuk dalam data warga yang membutuhkan bantuan selama pandemi. 

"Pemerintah perlu bekerja sama dengan pemerintah daerah, dalam hal ini, kepala desa untuk mendata perempuan kepala keluarga dari kelompok ekonomi bawah di tingkat rukun tetangga atau rukun warga. Pendataan ini penting agar berbagai bantuan pemerintah bisa tepat sasaran," kata Rainy kepada Alinea.id, Minggu (3/10). 

Di tingkat desa, Rainy mengusulkan agar pemerintah setempat menyusun program berperspektif gender. Dalam hal ini, para perempuan kepala keluarga perlu dilibatkan untuk membahas isi program sehingga kebutuhan-kebutuhan mereka terakomodasi. 

Selain berkolaborasi dengan pemda setempat, Rainy juga mendorong Kementerian PPPA merangkul lebih banyak organisasi-organisasi perempuan di daerah dalam menyusun program-program pemberdayaan ekonomi bagi perempuan kepala keluarga.

Saat ini, kata dia, sudah ada banyak organisasi perempuan di daerah yang rutin menggelar kegiatan pemberdayaan ekonomi bagi kelompok rentan. "Termasuk untuk perempuan kepala keluarga di masa pandemi Covid-19," kata Rainy.

Ia juga meminta agar lembaga keagamaan turut terlibat memberdayakan para perempuan kepala keluarga. Selain lewat program bantuan, ia berharap lembaga keagamaan mengembangkan tafsir yang moderat mengenai eksistensi perempuan yang jadi orang tua tunggal atau janda. "Tujuannya untuk menghapus stereotipe," ujar dia.

Ilustrasi perempuan belanja di pasar tradisional sambil menggendong anaknya. /Foto Unsplash/ Arif Riyanto

Belum masif

Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Ekonomi Kementerian PPPA Eni Widiyanti mengatakan pihaknya sudah memberikan perhatian khusus bagi perempuan kepala keluarga.  Salah satunya dengan menggelar pelatihan-pelatihan kewirausahaan berperspektif gender. 

Untuk program itu, menurut Eni, pemerintah berkolaborasi dengan berbagai koalisi masyarakat sipil yang sudah memiliki jaringan sempai ke daerah. "Kami menggunakan jaringan para perempuan yang ada di dalam kelompok-kelompok mereka," kata Eni kepada Alinea.id, Minggu (3/10).

Dalam pelatihan-pelatihan itu, menurut Eni, Kementerian PPPA juga rutin menumbuhkan kesadaran akan perspektif kesetaraan gender di kalangan perempuan kepala keluarga. Tujuannya untuk meningkatkan kepercayaan diri mereka saat berwirausaha atau menjadi pemimpin di sebuah perusahaan.

"Perempuan kalau enggak dikasih masukan perspektif gender, biasanya setelah pelatihan itu, sudah. Apakah dia jadi wirausaha yang lebih baik? Enggak. Bahkan, banyak yang mundur atau setop usahanya. Perspektif gender ini digunakan supaya perempuan punya pemikiran kritis tentang posisi dia sebagai pemimpin," tutur Eni. 

Meski begitu, Eni mengakui pelatihan-pelatihan semacam itu belum masif. Karena keterbatasan anggaran, Kementerian PPPA baru mampu menyelenggarakan pelatihan di 13 kabupaten dan kota di 7 provinsi. Total peserta yang terlibat hanya sebanyak 390 orang. "Jadi, sedikit sekali," ungkap Eni.

Untuk menyiasati kendala itu, Eni mengatakan pihaknya berkerja sama dengan pihak swasta. Dengan XL Axiata, misalnya, Kementerian PPPA sudah punya program kolaborasi untuk memberdayakan 1.000 perempuan. "Di dalamnya, ada perempuan kepala keluarga dan perempuan penyintas bencana dan penyintas kekerasan," kata Eni.

Saat ini, Kementerian PPPA juga tengah menjajakki kerja sama dengan sejumlah perusahaan besar lainnya, semisal Astra dan Danone. "Rencananya akan kita kombinasikan program ini ke perusahaan-perusahaan besar supaya mereka lebih berdaya dan bisa mengelola produknya lebih berkualitas," terang dia. 

Berita Lainnya
×
tekid