sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Giliran Wali Kota Balikpapan yang dipanggil KPK

Kali ini giliran Wali Kota Balikpapan Rizal Effendi dan Kabid Dinas Pendapatan Kota Tasikmalaya A. Jamaludin yang diperiksa KPK.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Kamis, 23 Agst 2018 10:53 WIB
Giliran Wali Kota Balikpapan yang dipanggil KPK

Penyidikan lanjutan atas korupsi dana perimbangan keuangan daerah pada RAPBN Perubahan (RAPBN-P) Tahun Anggaran 2018 kembali dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kali ini giliran Wali Kota Balikpapan Rizal Effendi dan Kabid Dinas Pendapatan Kota Tasikmalaya A. Jamaludin yang diperiksa komisi antirasuah tersebut.

"Mereka akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka YP (Yaya Purnomo)," ujar kepala biro humas KPK Febri Diansyah, Kamis (23/8). Selain Wali Kota Balikpapan, KPK juga memanggil dua saksi lain, yaitu Direktur Dana Perimbangan Putut Harisatyaka dan Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Rukijo untuk tersangka Amin Santono.

"Dalam penyidikan ini, KPK menelusuri adanya petunjuk atau bukti awal bahwa praktik pengurusan anggaran diduga juga terkait dengan Yaya Purnomo di sejumlah daerah," jelas Febri, Senin lalu (20/8).

Nama Rizal Effendi menambah deretan panjang kepala daerah yang dipanggil KPK akibat kasus dana perimbangan daerah. Hingga saat ini, setidaknya telah ada sebelas kepala dan pejabat di daerah yang telah dipanggil sebagai saksi untuk kasus suap tersebut. 

Kepala daerah tersebut adalah Zulkifli, Wali Kota Dumai; Rudy Erawan, Bupati Halmahera Timur; Abdul Mukti Keliobas, Bupati Seram Bagian Timur; Budi Budiman, Wali Kota Tasikmalaya, Ni Putu Eka Wiryastuti, Bupati Tabanan; Khaerudinsyah Sitorus, Bupati Labuhan Batu Utara; Mustofa, Bupati Lampung Tengah.

Sementara pejabat dan PNS dari sejumah daerah yang diperiksa KPK berasal dari Kabupaten Kampar, Kota Balikpapan, Kabupaten Pegunungan Arfak, dan Kabupaten Way Kanan.

Selain itu ada sejumlah anggota legislatif pusat dan daerah dan pengurus partai yang juga dipanggil sebagai saksi, yaitu Deden Hardian Narayanto, Anggota DPRD Kabupaten Majalengka; Puji Suhartono, Wakil Bendahara Umum PPP; Sukiman, Anggota DPR RI; dan Irgan Chairul Mahfiz, Anggota DPR RI.

Dalam kasus ini, KPK menduga sejak awal ada relasi antara pejabat di Kementerian Keuangan dengan anggota DPR dan pejabat di daerah. "Meskipun memang kami belum bisa menyampaikan apakah semua daerah yang diperiksa, di sana sekaligus ada aliran dana terkait tersangka, itu yang belum bisa kami sampaikan," imbuh Febri.

Sponsored

Penyidik KPK awalnya sedang menyelidiki dugaan penerimaan suap wakil rakyat dari pengusaha di Kabupaten Sumedang, Desember 2017 lalu. Ada dua rencana proyek di Kabupaten Sumedang yang  bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU) APBN Perubahan 2018.

Proyek pertama, berada di Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan di Kabupaten Sumedang senilai Rp 4 miliar. Sementara proyek kedua, berada di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di Kabupaten Sumedang senilai Rp21.850 miliar. Total nilai kedua proyek sebesar Rp25 miliar.

Supaya dua proyek tersebut berjalan, Ahmad Ghiast dari pihak swasta, menjadi pengepul untuk mengumpulkan uang dari para kontraktor di Sumedang.

Uang tersebut nantinya digunakan menyuap anggota DPR RI dan pejabat di Kementerian Keuangan. Tujuannya, agar dua proyek itu masuk ke dalam RAPBN Perubahan 2018 yang baru akan dibahas pada pertengahan 2018.

KPK kemudian menangkap Amin di sebuah restoran Bandar Udara Halim Perdana Kusuma pada Jumat, 4 Mei 2018 lalu. Ia ditangkap bersama dua kontraktor Eka Kamaluddin dan Ahmad Ghiast. 

Selain itu, KPK juga menangkap pejabat Kementerian Keuangan, Yaya Purnomo. Yaya adalah Kepala Seksi Pengembangan dan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Pemukiman pada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan.

Dalam kasus ini, Amin diduga meminta komisi sebesar 7% dari proyek senilai Rp25 miliar kepada Ahmad Ghiast. Nilai 7% dari Rp 25 miliar tersebut adalah sebesar Rp1,7 miliar. Dalam kasus ini, Eka Kamaluddin menjadi perantara antara Amin dan Ahmad.

Sumber dana tersebut diduga berasal dari para kontraktor di lingkungan Pemkab Sumedang. Ahmad Ghiast berperan sebagai pengepul dana untuk memenuhi permintaan Amin Santono.

Amin Santono, Eka Kamaluddin, dan Yaya Purnomo disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sementara itu Ahmad Ghiast disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Berita Lainnya
×
tekid