sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Hasil tes cepat Covid-19 bisa menimbulkan mispersepsi

Pangkalnya, pengujian tersebut hanya menyasar antigen.

Ardiansyah Fadli
Ardiansyah Fadli Jumat, 27 Mar 2020 18:14 WIB
Hasil tes cepat Covid-19 bisa menimbulkan mispersepsi

Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (PP IAKMI) menyatakan, terdapat beberapa persoalan dalam tes cepat (rapid test) untuk menguji keberadaan virus SARS-CoV-2 pada seseorang. Alasannya, menyasar antigen, zat yang merangsang pembentukan antibodi.

"Ketika benda asing masuk (tubuh), dia bawa antigen. Kemudian, tubuh merespons dengan antibodi. Nah, itu ketemunya waktunya cukup lama. Enggak bisa langsung muncul," ucap Ketua Umum PP IAKMI, Ede Surya Darmawan, kepada Alinea.id di Jakarta, baru-baru ini.

Antibodi―zat yang dibentuk dalam darah untuk memusnahkan bakteri dan virus ataupun melawan toksin―baru muncul dalam hari ke-12 hingga ke-14. "Artinya, enggak (akan langsung) ketemu," kata dia.

Hal tersebut, menurutnya, berbahaya. Menimbulkan mispersepsi. Sebab, seseorang akan merasa senang kala mengetahui hasilnya negatif. Diumpakan dengan pemakaian alat uji kehamilan sederhana (test pack). 

"Padahal, (virus) belum muncul. Makanya, kalau rapid test, ya, 10 hari kemudian harus dites ulang. Itu yang benar. Jadi, enggak cukup sekali," tutur Ede.

Apalagi, sebesar 84% orang terinfeksi coronavirus baru (Covid-19) tanpa gejala (OTG). Sehingga, akan semakin sukar untuk membuktikan seseorang terjangkit atau sebaliknya.

"Kalau OTG, kan, memang enggak apa-apa. Enggak perlu dirawat. Tapi, kan, risikonya potensi menularkan. Karena ditubuh OTG itu ada virus," ujar dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) ini.

Saat melakukan tes cepat, tenaga medis pun harus menggunakan alat pelindung diri (APD) lengkap. Pasalnya, "Tingkat infeksinya yang sangat tinggi."

Sponsored

Atas dasar itu, terang Ede, sejumlah negara enggan mengambil cara ini. "Karena enggak cepat mendeteksi ada tidaknya virus," ucapnya.

Pemerintah menerapkan tes cepat dalam menanggulangi pandemi Covid-19 di Tanah Air. Alat didatangkan dari China oleh PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero). Jumlah yang dipesan 500 ribu unit.

Di sisi lain, beberapa negara mulai berhenti menggunakan alat kesehatan (alkes) asal "Negeri Tirai Bambu" itu. Spanyol, misalnya.

"Negeri Matador" bersikap demikian dengan mempertimbangkan hasil riset beberapa lembaga. Macam Spanish Society of Infectious Diseases and Clinical Microbiology (SEIMC) dan Carlos III Health Institute.

Agar keberadaan virus lebih akurat terdeteksi, ungkap Ede, seharusnya menggunakan visual conversion reaction (VCR). Caranya, mengambil sampel dengan mengusap (swab) tenggorokan dan memeriksa DNA-nya.

"Itu memang lebih mahal dan waktunya lebih lama. Tapi, itu yang benar," katanya.

Berita Lainnya
×
tekid