sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Hukuman kebiru kimia, ICJR: Prioritas bukan pada korban

Dalam PP Nomor 70 Tahun 2020 itu tidak dijelaskan aspek apa saja yang harus dipertimbangkan.

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Senin, 04 Jan 2021 11:26 WIB
Hukuman kebiru kimia, ICJR: Prioritas bukan pada korban

Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak.

Direktur Eksekutif Institute For Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus A. T. Napitupulu, menekankan, mekanisme kebiri sebagai intervensi kesehatan tidak bisa berbasis hukuman, seperti UU 17/2016. 

Menurut dia, efektifitas kebiri kimia dengan penekanan angka kekerasan seksual juga belum terbukti. "Maka jelas pelaksanaannya yang melibatkan profesi yang harus melakukan tindakan berdasarkan kondisi klinis dan berbasis ilmiah akan bermasalah," katanya secara tertulis, Senin (4/1).

Erasmus menyampaikan, dalam PP tersebut tidak dijelaskan aspek apa saja yang harus dipertimbangkan. Lebih lanjut, beleid itu bahkan melempar ketentuan mengenai penilain, kesimpulan, dan pelaksanaan yang bersifat klinis pada aturan yang lebih rendah.

"Selain itu, PP ini memuat banyak permasalahan karena tidak detail dan memberikan keterangan yang jelas, misalnya bagaimana mekanisme pengawasan, pelaksanaan, dan pendanaan. Bagaimana kalau ternyata setelah kebiri, terpidana dinyatakan tidak bersalah atau terdapat peninjauan kembali?" ujarnya.

Lebih lanjut, dalam pelaksanaannya disinyalir membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Di sisi lain, anggaran untuk perlindungan dan pemulihan korban terbilang minim. Hal itu, dia rujuk dari data anggaran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Dalam data LPSK, imbuh Erasmus, jumlah layanan yang diberikan terus meningkat dari 2015, 148 layanan menjadi 9.308 layanan pada 2019. Namun, anggaran LPSK anjlok dari Rp148 miliar pada 2015 menjadi Rp54,5 miliar selama 2020.

"Politik anggaran dari pemerintah yang selalu memangkas kebutuhan anggaran dari pemulihan dan perlindungan korban seperti LPSK menunjukkan bahwa perlindungan dan pemulihan korban belum menjadi prioritas negara," ucapnya.

Sponsored

Selain masalah anggaran, saat ini Indonesia belum memiliki regulasi yang komprehensif mengenai perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual. ICJR, kata Erasmus, meninjau paling tidak ada lima undang-undang yang tersebar dan beebeda-beda. 

Karenanya, dibutuhkan satu aturan baru yang merangkum secara menyeluruh. "Wacana seperti RUU Perlindungan dan Pemulihan Korban atau RUU Penghapusan Kekersan Seksual yang berbasis pemulihan korban sudah harus mulai dicanangkan dan dibahas. Untuk pemerintah, cukupkan lah fokus pada kebijakan yang hanya bersifat populis seperti kebiri, saatnya beralih pada mekenisme perlindungan dan pemulihan korban," katanya.

Berita Lainnya
×
tekid