sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kapan waktu ideal mengubah status pandemi Covid-19 menjadi endemi?

Pengamat menilai, penanganan Covid-19 belum sebaik negara lain yang melonggarkan pembatasan sosial dan bersiap menuju ke endemi.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Kamis, 10 Mar 2022 15:50 WIB
Kapan waktu ideal mengubah status pandemi Covid-19 menjadi endemi?

Dalam keterangan pers usai mengikuti rapat terbatas evaluasi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) pada Senin (21/2), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) sekaligus koordinator PPKM Jawa-Bali Luhut Binsar Pandjaitan menyebut beberapa negara, seperti Inggris, Denmark, dan Singapura sudah melakukan pelonggaran untuk transisi pandemi Covid-19 ke endemi.

“Namun kita tak perlu latah atau ikut-ikutan seperti negara tersebut,” kata Luhut dalam keterangan pers secara virtual, Senin (21/2).

Ia mengatakan, pemerintah bakal mengedepankan prinsip kehati-hatian ketika menerapkan kebijakan pelonggaran transisi pandemi ke endemi, dengan melakukannya secara bertahap, bertingkat, dan berlanjut, serta memperhatikan indikator kesehatan, ekonomi, dan sosial-budaya.

“Pemerintah menggunakan prakondisi endemi sebagai pijakan dengan menggunakan indikator tingkat kekebalan masyarakat tinggi,” katanya.

“Tingkat kasus yang rendah berdasarkan indikator WHO (World Health Organization), dan kapasitas respons fasilitas kesehatan yang memadai, maupun menggunakan surveilans aktif.”

Prakondisi tadi, katanya, harus terjadi dalam rentang waktu yang cukup panjang dan sudah stabil. Guna mencapai transisi pandemi ke endemi, Luhut menyebut, salah satu yang harus dilakukan adalah menggenjot vaksinasi dosis kedua dan booster, terutama untuk lansia.

Pandemi ke endemi masih jauh

Petugas kesehatan memeriksa alat kesehatan di ruang IGD RS Darurat Penanganan Covid-19 Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta, Senin (23/3/2020). Foto Antara/Hafidz Mubarak.

Sponsored

Lalu, melalui keterangan pers secara virtual, Senin (7/3), Luhut mengumumkan beberapa kebijakan pelonggaran pembatasan mobilitas karena penurunan kasus Covid-19 di berbagai daerah. Salah satunya, pelaku perjalanan domestik hanya perlu menunjukkan bukti vaksinasi kedua atau booster, tak perlu lagi melampirkan hasil tes PCR dan antigen.

Pemerintah juga meringankan syarat pelaku perjalanan luar negeri (PPLN), tanpa karantina dengan melakukan uji coba di Bali per Senin (7/3).

“Bila uji coba berhasil, maka kita akan memberlakukan pembebasan karantina bagi seluruh PPLN pada 1 April 2022 atau lebih cepat dari 1 April 2022,” ujar Luhut.

Selain itu, seluruh kegiatan kompetisi olahraga bisa menerima penonton dengan syarat sudah melakukan vaksinasi booster, yang kapasitasnya ditentukan dari level PPKM masing-masing daerah. Luhut menyebut, kebijakan itu dikeluarkan dalam rangka transisi menuju aktivitas normal.

Menanggapi hal itu, epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman menilai, uji coba bebas karantina di Bali perlu diiringi kegiatan surveilans virus agar tak terjadi ledakan kasus. Hal itu bisa dilakukan secara acak, minimal 1% penumpang dari setiap penerbangan yang datang di dalam negeri.

“Karena tidak bisa mengandalkan cakupan vaksinasi saja, tetapi harus ada kesiapan semua unsur dalam transisi (pandemi ke endemi),” ujar Dicky saat dihubungi Alinea.id, Senin (7/3).

Sementara menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi, proses perubahan status dari pandemi ke endemi masih terbilang panjang. Namun, ia optimis Indonesia bisa masuk fase endemi.

“Tetapi tentunya, bukan berarti setelah pascapenurunan gelombang ketiga ini kita sudah masuk ke fase endemi,” ujar Nadia saat dihubungi, Rabu (8/3).

Nadia mengatakan, suatu penyakit dapat diturunkan statusnya bila tingkat penularan sudah mulai turun dan tingkat pertumbuhan kasus melandai. Maka, diperlukan imunitas yang tinggi untuk menurunkan penularan, dengan cara vaksinasi.

“Situasi pandemi kan kejadian luar biasa,” katanya. “Itu harus kita tekan laju penularan virus tadi, sehingga tidak menjadi masalah atau beban.”

Ia menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat untuk mencapai situasi endemi, seperti patuh protokol kesehatan, mau divaksin, patuh aturan PPKM, serta menggencarkan testing dan tracing.

“Untuk kita bersama-sama mencapai status endemi tadi,” ujar dia.

Di sisi lain, anggota Komisi IX DPR, Darul Siska meminta pemerintah menyosialisasikan segala pertimbangan dalam mengubah status pandemi ke endemi. Bila terjadi perubahan status menjadi endemi, politikus Partai Golkar itu mengingatkan pemerintah agar menjamin keamanan kesehatan, terutama bagi balita.

“Sebab, belum ada vaksin yang dapat memproteksi balita,” ucap Darul, Selasa (8/3).

“Ketersediaan obat dan kemudahan akses kesehatan untuk masyarakat juga perlu dijamin.”

Hal senada juga diungkapkan Dicky. Ia menyarankan pemerintah untuk menguatkan sistem pendukung bagi warga yang terinfeksi virus, dalam masa transisi. Salah satunya menyediakan layanan telemedisin atau perawatan door to door, serta menjamin ketersediaan obat.

“Kalau status darurat kesehatan atau pandemi, kan pemerintah wajib menjamin,” ucapnya.

“Nah, nanti kalau (status pandemi) dicabut, itu (biaya berobat) dari masyarakat sendiri atau BPJS?”

Belum dalam kondisi yang baik

Ilustrasi seorang petugas kesehatan di sebuah rumah sakit tengah merawat pasien Covid-19. Foto Unsplash.com

Dicky menjelaskan, otoritas menetapkan status penyakit di suatu negara hanya ada di tangan WHO. WHO punya ukuran, seperti transmisi virus yang melandai, perbaikan penanganan penyakit, hingga vaksinasi global di atas 70%.

“Jadi, kalau ada negara yang mengubah status pandemi ke endemi, ya statusnya tetap secara de facto atau de jure dari sisi global masih pandemi,” ujar Dicky.

Dicky merasa, rencana perubahan status pandemi menjadi endemi adalah hal keliru. “Ya walaupun virus akan ada di hidup kita, tetapi kita bukan ‘mengendemikan’ penyakit,” ucapnya.

“Jadi dikendalikan penyakitnya, supaya tidak ada korban sakit atau kematian.”

Ia berharap, wacana perubahan status ke endemi tak dipaksakan demi menyelamatkan ekonomi dan politik semata. Ia khawatir, dampak buruk akan menimpa Indonesia kalau transmisi virus belum terkendali.

Dicky mencontohkan, Australia berusaha mengubah status pandemi ke endemi berdasarkan cakupan vaksinasi dosis kedua dan booster yang tinggi.

“Kita (Indonesia) saya kira belum bisa (mengubah status ke endemi), harus bertahap,” ujarnya.

“Negara lain itu cakupan vaksinasinya sudah 90% untuk dosis kedua dan booster mendekati atau di atas 50%.”

Teranyar, Arab Saudi melakukan pelonggaran. Dilansir dari Saudi Gazette, Senin (7/3), kasus Covid-19 di Arab Saudi sudah berkurang 95%. Cakupan vaksinasi di sana juga mencapai 99%.

Maka, negara itu mengambil kebijakan pelonggaran, seperti turis tak wajib karantina dan tes PCR, tak wajib mengenakan masker di luar ruangan, serta mencabut aturan jaga jarak.

Sedangkan Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan khawatir bila pemerintah langsung mengubah status kedaruratan penyakit, di tengah tingkat kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan yang rendah.

“Lonjakan (kasus) pasti bisa terjadi. Bahkan, potensi gelombang keempat masih mungkin, walaupun intensitasnya tidak sedahsyat kemarin,” ujar Ede, Senin (7/3).

Menurut Ede, waktu yang ideal mengubah status pandemi tergantung hasil pencegahan transmisi virus. Langkah preventif itu, kata Ede, bisa dilihat dari tiga aspek utama, yakni laju perkembangan kasus konfirmasi positif rendah, tingkat sakit parah yang minim, dan tak ada kasus yang menyebabkan meninggal dunia.

Infografik pandemi ke endemi. Alinea.id/Aisya Kurnia.

“Preventif tidak sakit kita masih bolong. Terbukti masih ada (pertumbuhan kasus) puluhan ribu,” kata Ede.

Data Kemenkes yang dipublikasikan di Covid19.go.id menunjukkan, pertumbuhan kasus positif Covid-19 cenderung menurun. Pada 2 Maret 2022, tercatat kasus tertinggi, yakni 40.920 orang terkonfirmasi positif.

Tren itu mengalami penurunan, paad 4 Maret 2022 sebanyak 26.347 orang yang terkonfirmasi positif. Namun, naik lagi pada 5 Maret 2022 menjadi 30.156 orang yang positif Covid-19. Pada 9 Maret 2022 kembali turun, menjadi 26.336 orang.

Ironisnya, kasus meninggal karena Covid-19 dalam sepekan terakhir cenderung meningkat. Pada 2 Maret 2022, tercatat kematian 376 orang. Sempat menurun pada 3 Maret 2022, dengan total kematian 232 orang. Akan tetapi, naik kembali pada 8 Maret 2022, menjadi 401 orang meninggal.

Tingkat keterisian tempat tidur di rumah sakit, menurut Ede, juga harus menjadi pertimbangan. Namun, dari data Kemenkes, tingkat bed occupancy rate (BOR) alias keterisian tempat tidur per 7 Maret 2022 masih 28%. Pada 8 Maret 2022, BOR hanya berkurang 1%. Angka itu dinilai Ede masih tinggi.

Dibanding negara lain, seperti Swedia, Jepang, dan Singapura, Ede menganggap situasi di Indonesia masih jauh dari kata baik. Apalagi, melihat pertumbuhan kasus dan penanganan Covid-19 yang masih lemah.

“Jangan sampai yang sakit parah masih memenuhi rumah sakit dan di rumah sakit masih ada yang meninggal,” tuturnya.

Berita Lainnya
×
tekid