sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Koalisi Masyarakat Sipil: Pembubaran FPI meninggalkan 'bom waktu'

Kekerasan oleh siapapun perlu diadili, tetapi tidak serta merta organisasinya dinyatakan terlarang.

Hermansah
Hermansah Kamis, 31 Des 2020 08:38 WIB
Koalisi Masyarakat Sipil: Pembubaran FPI meninggalkan 'bom waktu'

Koalisi Masyarakat Sipil mengecam keras langkah pemerintah membubarkan dan melarang kegiatan, penggunaan simbol, dan atribut Front Pembela Islam atau FPI. Langkah tersebut dinilai tidak efektif mengatasi kekerasan sipil, provokasi kebencian, dan sebagainya. Sebaliknya, justu akan tercipta 'bom waktu' yang menggegorogoti sendi-sendi demokrasi.

Koalisi Masyarakat Sipil mengatakan, sudah lama berbagai organisasi masyarakat sipil mengecam berbagai kekerasan, provokasi kebencian, sweeping, serta pelanggaran-pelanggaran hukum lain yang dilakukan FPI. Mereka meminta aparat penegak hukum serta negara melakukan tindakan penegakkan hukum terhadap orang yang melakukan tindakan kekerasan.

"Kekerasan oleh siapapun perlu diadili, tetapi tidak serta merta organisasinya dinyatakan terlarang melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak melanggar hukum," kata Koalisi Masyarakat Sipil dalam keterangan tertulisnya, Rabu (30/12).

Lewat surat keputusan bersama enam pejabat tinggi negara setingkat menteri, eksistensi FPI selama 18 tahun berakhir sejak kemarin, Rabu (30/12). Sebagai sebuah ormas, kini FPI telah dilarang beraktivitas setelah surat keterangan terdaftar (SKT) habis pada 20 Juni 2019. Seluruh simbol dan atribut FPI terlarang berkibar di Indonesia mulai 30 Desember 2020. 

"Pemerintah melarang aktivitas FPI dan akan menghentikan setiap kegiatan yang dilakukan FPI. Karena FPI tidak lagi mempunyai legal standing sebagai ormas maupun organisasi biasa,” ucap Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan HAM, Mahfud MD, saat mengumumkan pelarangan FPI, Rabu (30/12) kemarin.

Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, Surat Keputusan Bersama tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut, serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (selanjutnya disingkat SKB FPI) bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, khususnya terkait kebebasan berkumpul dan berserikat.

SKB FPI tersebut, salah satunya, didasarkan pada UU No.17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan UU No.16 Tahun 2017 (selanjutnya disingkat UU Ormas). Secara konseptual UU ini amat bermasalah dari perspektif negara hukum. UU Ormas memungkinkan pemerintah membubarkan organisasi secara sepihak tanpa melalui proses peradilan (due process of law).

Koalisi Masyarakat Sipil menilai, setidaknya terdapat beberapa permasalahan dalam SKB tersebut.

Sponsored

Pertama, pernyataan bahwa organisasi yang tidak memperpanjang atau tidak memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT), dalam hal ini FPI sebagai organisasi yang secara de jure bubar, tidaklah tepat. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 82/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 18 UU Ormas, yang mewajibkan organisasi memiliki SKT, bertentangan dengan UUD 1945.

Konsekuensinya, menurut Koalisi Masyarakat Sipil, organisasi yang tidak memiliki SKT dikategorikan sebagai “organisasi yang tidak terdaftar”, bukan dinyatakan atau dianggap bubar secara hukum. Penggunaan istilah de jure untuk menyatakan suatu organisasi bubar karena tidak terdaftar atau tidak memperpanjang SKT harus didasarkan pada dasar legalitas yang jelas.

Kenyatannya, tulis Koalisi Masyarakat Sipil, baik putusan MK No. 82/PUU-XI/2013 maupun UU Ormas tidak menentukan ataupun mengatur hal tersebut. Dalam bagian pertimbangan putusan tersebut Mahkamah Konstitusi bahkan menyatakan, “Berdasarkan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat, suatu ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapatkan pelayanan dari pemerintah (negara), tetapi negara tidak dapat menetapkan ormas tersebut sebagai ormas terlarang atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau melakukan pelanggaran hukum”.

Kedua, karena FPI tidak dapat dinyatakan bubar secara de jure hanya atas dasar tidak memperpanjang SKT, maka pelarangan terhadap kegiatan serta penggunaan simbol dan atribut FPI pun tidak memiliki dasar hukum. Pasal 59 UU Ormas hanya melarang kegiatan yang pada intinya mengganggu ketertiban umum dan/atau melanggar peraturan perundang-undangan. UU Ormas tidak melarang suatu organisasi kemasyarakatan untuk berkegiatan sepanjang tidak melanggar ketentuan Pasal 59 tersebut. 

Terhadap para anggota FPI yang selama ini melakukan kegiatan yang melanggar peraturan perundang-undangan, seperti penggunaan kekerasan dan sebagainya, Koalisi Masyarakat Sipil berpendapat penegak hukum seharusnya sejak awal menindak para pelaku dengan pasal-pasal dalam KUHP secara konsisten. Bukan justru melakukan pembiaran terhadap individu-individu yang melanggar dan menunggu pemerintah membubarkan organisasi FPI.

Selain itu, terkait larangan penggunaan simbol dan atribut FPI, Pasal 59 ayat (4) UU Ormas melarang penggunaan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi separatis atau organisasi terlarang. Namun, UU Ormas sama sekali tidak memberikan definisi ataupun penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan organisasi terlarang. "Secara de facto dapat menimbulkan mispersepsi atau pemahaman yang rancu bagi masyarakat luas," tulis Koalisi.

Ketiga, SKB FPI menjadikan UU Ormas yang bermasalah secara konseptual sebagai dasar hukum. Sejak UU No.17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan diubah dengan Perppu No. 2 Tahun 2017 dan kemudian disahkan menjadi UU No.16 Tahun 2017, prosedur pembubaran organisasi kemasyarakatan tidak lagi melalui mekanisme peradilan, tetapi hanya dilakukan sepihak oleh pemerintah. Sejak perubahan tersebut, setidaknya sudah dua organisasi dibubarkan, yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Perkumpulan ILUNI UI. 

Penggunaan UU Ormas untuk membubarkan organisasi secara sepihak, menurut Koalisi, jelas bertentangan dengan prinsip negara hukum yang mengutamakan pelindungan hak-hak warga, dalam hal ini kebebasan berkumpul dan berserikat. Seharusnya, mekanisme penjatuhan sanksi-termasuk berupa pembubaran-terhadap organisasi, dilakukan melalui mekanisme peradilan. Hal ini mengingat bahwa pada dasarnya setiap kesalahan subjek hukum harus dibuktikan terlebih dahulu di hadapan pengadilan sebelum subjek hukum tersebut dijatuhi sanksi.

Penjatuhan sanksi, pelarangan kegiatan ataupun pembubaran organisasi secara sepihak oleh negara dengan menggunakan UU Ormas sebagai dasar hukum sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, membatasi kebebasan sipil, serta berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi.

Ketentuan tersebut, menurut Koalisi, berpotensi disalahgunakan oleh siapapun yang menjadi penguasa untuk membungkam organisasi-organisasi warga-baik berbentuk perkumpulan, yayasan, maupun organisasi tidak berbadan hukum-yang dianggap terlalu kritis, bertentangan, atau memiliki pendapat berbeda dengan pemerintah.

Hal ini menambah catatan, dimana dalam 5 (lima) tahun terakhir, situasi dan kondisi demokrasi dinilai olehbanyak lembaga dan para akademisi terus menurun dan mengarah pada otoritarianisme baru.  

"Bahwa organisasi yang melakukan kekerasan, vigilantisme, provokasi kebencian, perlu diatasi untuk setiap tindakannya dengan tegas dan konsisten. Pembubaran seperti ini secara jangka panjang tidak efektif untuk mengatasi kekerasan sipil, provokasi kebencian dan sebagainya. Bahkan menggerogoti sendi-sendi demokrasi Indonesia. Mungkin justru akan membuat bom waktu," papar Koalisi Masyarakat Sipil.

Selain itu, ketiadaan mekanisme hukum, dalam hal ini proses pengadilan, akan memunculkan preseden dalam menindak organisasi-organisasi lain secara subjektif. Terlebih tindakan yang diambil berangkat dari keputusan bersama enam kementerian, yang apabila merunut pada rekam jejak pembubaran berbagai hal secara sepihak oleh negara, kerap memunculkan stigmatisasi pada individu atau kelompok tertentu yang kemudian mendapat tindakan sewenang-wenang.

Koalisi mencontohkan pembubaran diskusi (Marxisme), penangkapan orang dengan kaos bertuliskan PKI (Pecinta Kopi Indonesia) hingga stigmatisasi dan persekusi terhadap kelompok LGBT.

Berita Lainnya
×
tekid