sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Larva lalat tentara hitam, solusi alternatif mengelola sampah

Larva black soldier fly mulai masif dimanfaatkan sebagai pengurai sampah organik di berbagai daerah, termasuk di DKI.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Kamis, 14 Okt 2021 18:27 WIB
Larva lalat tentara hitam, solusi alternatif mengelola sampah

Tanpa mengenakan sarung tangan, Budi Priyanto, 47 tahun, berulangkali menjejalkan sampah sisa makanan ke dalam belasan kontainer plastik yang disusun bertingkat di bangunan insektari di asrama Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta di kawasan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Selasa (12/10) siang itu. 

Di dalam kontainer berwarna merah, kuning, dan hijau itu, ribuan larva lalat tentara hitam (black soldier fly/BSF) terlihat menggeliat. Sesekali, tangan Budi bersentuhan dengan tumpukan belatung (maggot). Meski begitu, Budi sama sekali tak terlihat jijik. 

"Hari ini semuanya (larva BSF) sudah dikasih makan. Mulai dari yang usianya lima hari sampai dengan yang sepuluh hari," kata salah satu petugas Suku Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Selatan itu sambil menunjukkan isi salah satu kontainer kepada Alinea.id

Budi memang sudah akrab dengan sampah. Sebelum jadi pemelihara maggot BSF, Budi bertahun-tahun bertugas sebagai pengangkut sampah. Ia baru beralih profesi setelah Pergub 77/2020 Tentang Pengelolaan Sampah Lingkup Rukun Warga terbit pada 13 Agustus 2020. 

Dalam Pergub tersebut, Pemprov mengimbau agar warga memilah sampah rumah tangga semaksimal mungkin supaya bisa dikelola efisien. Tujuannya agar volume sampah yang bermuara ke Tempat Pembuangan Sampah (TPS) Bantargebang, Bekasi, bisa dikurangi. 

Khusus untuk sampah sisa makanan atau sampah organik, menurut Budi, pemerintah daerah mengimbau agar dikelola menjadi kompos atau dikirim ke "rumah" maggot. "Jadi, sampah sisa makanan bisa dimakan sama maggot ini," ucap Budi. 

Tugas merawat maggot jatuh ke tangan Budi dan sejumlah rekannya di Dinas LH Pemprov DKI. Makanan larva biasanya didapat dari sampah kiriman warga di sekitar Pesanggrahan. Bentuknya bisa berupa sisa-sisa sayuran, sampah dapur, dan makanan padat. 

Petugas insektari di asrama Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta di kawasan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, memberi makan larva lalat prajurit hitam, Selasa (12/10). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Sponsored

Menurut Budi, saban hari larva BSF yang ia urus mampu mencerna sampah sisa makanan hingga sekitar 303-500 kg per hari. "Bahkan, jumlahnya bisa lebih kalau sebelum pandemi karena pandemi membuat beberapa toko makanan tutup," kata Budi. 

Romi Saputra, rekan Budi yang juga ditugasi mengelola insektari, menuturkan relatif tidak ada kendala berarti dalam merawat larva BSF. Petugas insektari umumnya hanya direpotkan lantaran kerap harus memilah sampah dari warga. 

Menurut Romi, sebagian besar warga Pesanggrahan masih menggabungkan sampah berbahan berbahaya dan beracun (B3) dengan sampah organik dalam satu kantong. Padahal, sudah ada imbauan agar sampah rumah tangga dipilah terlebih dahulu sebelum dikirim ke TPS. 

"Akhirnya, kami yang memisahkan. Tak jarang luka karena kami kira sampahnya sudah murni sisa makanan. Tetapi, ternyata ada kaleng sarden dan semacamnya," ujar Romi. 

Romi membenarkan mengurai sampah organik menggunakan larva BSF tergolong efektif. Ia menyebut larva BSF tergolong hewan yang sangat rakus. "Enggak butuh waktu lama, sampah bisa tereduksi sama maggot. Jadi, enggak tersisa," imbuh dia. 

Petugas menunjukkan tumpukan larva lalat prajurit hitam di insektari asrama Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta di kawasan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Selasa (12/10). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Bernilai ekonomi 

Penggunaan larva BSF sebagai pengurai sampah organik sudah lazim diterapkan di berbagai daerah di Indonesia. Sejumlah riset menunjukkan 1 kilogram larva BSF bisa menghabiskan sekitar 1 kilogram sampah organik per hari. 

Selain pengurai sampah, larva BSF juga punya nilai ekonomis. Pada fase pupa, larva lalat, misalnya, bisa diolah menjadi pakan ternak. Larva hewan bernama ilmiah Hermetia illucens itu juga bisa dimanfaatkan untuk pupuk kompos dan selongsong kulitnya potensial digunakan untuk bahan baku produksi kitin. 

Di ibu kota, pemanfaatan larva BSF merupakan salah satu program pengolahan sampah Jakarta Recycle Centre (JRC) Pesanggrahan. JRC berada di bawah pengawasan Unit Pengelola Sampah Terpadu (UPST) Dinas LH Pemprov DKI Jakarta. 

Koordinator lapangan JRC Pesanggrahan Danang Wibowo mengungkapkan larva BSF sudah digunakan untuk mengurai sampah sejak awal 2020. "Karena ada instruksi kepala dinas mengenai bio konversi sampah organik melalui larva BSF," kata Danang kepada Alinea.id, Selasa (12/10).

Menurut Danang, mengurai sampah dengan larva BSF jauh lebih efektif ketimbang melalui mekanisme pengomposan konvensional. Dengan larva BSF, ratusan kilogram sampah organik bisa diurai dalam sehari. 

Jika dibandingkan, proses mengurai sampah organik dengan pengomposan bisa memakan waktu hingga satu atau dua bulan. "Sampah sisa makanan itu per hari dia dateng. Enggak seimbang. Dengan larva BSF, kami bisa membersihkan sampah pada hari itu juga tanpa harus menumpuk," kata Danang.

Selain tergolong efektif dan kaya manfaat ekonomi, menurut Danang, pembudidayaan larva BSF juga tergolong aman. Tidak seperti lalat hijau, BSF terbukti tidak bisa menjadi vektor atau hewan penyebar penyakit yang lazimnya membawa patogen.

"Kalau ini (metode pemanfaatan larva BSF) berjalan di masyarakat, sirkular ekonominya akan bergerak di masyarakat. Sebab, BSF ini semuanya bermanfaat. Bisa jadi pupuk, pakan ternak. Lalat yang sudah mati pun bisa jadi kompos. Cangkangnya bisa di-mix jadi tepung ikan," tutur Danang. 

Satu-satunya kelemahan larva BSF, kata Danang, ialah masa tugasnya yang terlampau singkat. Sebelum berubah jadi lalat, larva BSF di JRC hanya punya masa hidup 14-20 hari. "BSF itu kinerjanya lebih kurang dua minggu karena setelah itu dia proses menjadi lalat hitam," terang Danang. 

Membudidayakan larva BSF, lanjut Danang, juga agak sulit jika dilakukan dalam skala rumahan. Menurut dia, dibutuhkan lahan yang cukup luas untuk tempat pengolahan sampah dan insektari larva BSF. Apalagi, jika budidaya itu bagian dari bisnis. 

"Memang ada kendala lahan. Tapi, bila masyarakat ingin memanfaatkan ini buat sampah, buat saja tempat pembesarannya atau tempat reduksi sampahnya. Enggak usah mikirin buat insektarinya. Nanti bibit biar suplai dari Dinas LH," ujar Danang.

Jika diterapkan secara masif, Danang optimistis pengelolaan sampah menggunakan metode larva BSF bisa efektif. Terlebih, data Pemprov DKI menunjukkan sebagian besar sampah yang masuk ke TPS Bantargebang merupakan sampah organik. 

Agar sampah tak menumpuk di TPS, Danang mengusulkan agar pemerintah atau warga setempat membangun insektari-insektari di kawasan sumber sampah organik seperti pasar dan pusat jajanan. Sebelum dikirim ke TPS, sampah organik bisa transit di insektari. 
 
"Kalau (budidaya larva BSF) ini bisa masif, bisa jadi solusi sampah organik di Jakarta. Cuma pengetahuan dan kesadaran orang masih kurang. Informasi soal pemanfaatan maggot belum masif. Tapi, bukan berarti tidak mungkin," kata dia.

Insektari lalat prajurit hitam di Jakarta Recycle Centre, Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Bakal diperluas

Kepala Seksi Penyuluhan dan Humas Dinas LH DKI Jakarta Yogi Ikhwan mengatakan Pemprov DKI saat  ini sudah memiliki 226 insektari atau rumah larva BSF. Jika ditotal, program larva BSF punya kemampuan mereduksi sampah organik sebesar 69.532,91 kilogram per bulan.

"Data ini merupakan data yang kami himpun pada Juli 2021. Yang sudah terurai, seperti sisa makanan, sayuran, daun kering dan sejenisnya. Itu dikirim ke plasma maggot atau composting di lingkungan RW," kata Yogi kepada Alinea.id, Rabu (13/10).

Untuk mengelola insektari-insektari itu, menurut Yogi, sudah ada 2.743 penyedia jasa lainnya orang-perorangan (PJLP) yang dilibatkan sebagai pendamping. Dari total jumlah itu, sebanyak 2.400 sudah dilatih secara khusus. "Termasuk di dalamnya, ada materi biokonversi black soldier fly," kata dia. 

Jumlah insektari itu, kata Yogi, belum mencukupi. Menurut perkiraan Dinas LH DKI, idealnya satu kecamatan punya sebelas inti plasma maggot untuk pengelolaan sampah organik. 

"Dan, minimal harus ada tujuh rak plasma (larva BSF) di setiap RW. Dengan tujuh rak per RW, seluruh sampah sisa makanan dari rumah tangga di Jakarta akan habis," ucap Yogi.

Infografik Alinea.id/Firgie Saputra

Yogi mengatakan Pemprov DKI saat ini punya rencana membangun 66 insektari lainnya di sejumlah kawasan di DKI, termasuk di Kepulauan Seribu. Pembangunan insektari-insektari baru itu nantinya akan melibatkan komunitas-komunitas dan perusahaan swasta. 

"Ada (perusahaan rintisan pembudidaya maggot) Almaggot, T-Care, dan Biomag. Untuk dari Pemprov DKI, ada yang kolaborasi, ada yang pakai dana CSR  (corporate social responsibility) juga," jelas Yogi. 

Yogi mengaku belum mengetahui berapa besar rupiah yang bisa dihemat DKI dalam pengelolaan sampah menggunakan larva BSF. Namun, ia berharap program itu bisa mereduksi volume sampah DKI secara signifikan. 

"Harapannya semua sampah organik, terutama di food waste, bisa kami olah di dalam kota dengan biokonversi BSF ini dan tidak lagi dikirim ke TPST Bantargebang," ucap Yogi.

Berita Lainnya
×
tekid