sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Lupa corona di lantai dansa ilegal

Mengantongi izin sebagai restoran, sejumlah bar kembali beroperasi di tengah pandemi Covid-19.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Kamis, 02 Jul 2020 06:02 WIB
Lupa corona di lantai dansa ilegal

Menjelang tengah malam, lantai dansa bar mentereng di kawasan Sudirman Central Bussines District (SCBD), Jakarta Selatan, itu kian penuh sesak. Dibuai alunan musik disko dari sang DJ, satu per satu pengunjung beranjak dari kursi mereka untuk melantai. 

Teriakan dan tarian menggila. Jarak fisik di antara para "penguasa" lantai dansa pun kian terkikis. Di tengah kebisingan, Covid-19 yang berbulan-bulan jadi momok seolah terlupakan. 

Di area bar, para bartender terus-menerus menuangkan bir dan minuman beralkohol yang dipesan para tamu. Sesekali, para bartender tampak mendekatkan kepala mereka untuk meladeni obrolan para tamu.

Bar tersebut beroperasi layaknya kondisi normal, Sabtu (28/6) malam itu. Padahal, bar dan tempat hiburan malam merupakan bidang usaha yang belum mendapat izin beroperasi kembali dari Pemprov DKI Jakarta.

Kepada Alinea.id, seorang pelayan bar mengungkapkan bahwa bar itu sudah buka sejak 10 Juni 2020. Menurut dia, pihak manajemen sudah mendapatkan izin untuk beroperasi kembali dari Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) DKI Jakarta. 

Bar itu, kata dia, beroperasi hanya sampai pukul 01.00 dini hari atau paling lambat sampai 02.00 WIB. "Sedangkan kalau dalam situasi normal kami buka bisa sampai jam 04.00. Jadi, kami ya akhirnya buka. Sekarang sudah mulai ramai, tapi masih baru setengah dari keadaan normal," ungkapnya.  

Selain dibatasi jam operasional, bar tersebut juga tak diperkenankan memamerkan botol-botol minuman beralkohol di etalase konter bar sebagaimana biasanya. "Itu syaratnya," kata pria yang tak mau disebutkan namanya itu. 

Beroperasi tengah pandemi Covid-19, protokol kesehatan seolah tak berlaku di lantai dansa bar itu. Meski dicek suhu badannya oleh petugas keamanan, sejumlah pengunjung bisa lolos tanpa mengenakan masker sama sekali. 

Sponsored

Bar itu bukan satu-satunya bar yang buka pada masa transisi menuju era new normal. Ketua Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta (Asphija) Hana Suryani mengatakan ada banyak bar dan tempat hiburan malam yang bisa beroperasi karena berkamuflase menjadi restoran. 

"Karena fase (new normal) ini yang baru boleh buka adalah restoran. Banyak yang buka sebagai restoran. Tapi, praktiknya dia seperti bar hanya dia mengaku resto," ucap Hana kepada Alinea.id di Jakarta, Senin (29/6).

Bukan hanya demi izin operasi saja, menurut Hana, banyak bar yang mengaku restoran supaya mendapatkan keringaan pajak. "Kalau bar yang menempel pada karaoke atau diskotik itu pajaknya 25%. Mereka mainkan (kedok resto) ini supaya pajaknya jadi 10%. Tapi, dia menyajikan pelayanannya kayak bar atau bahkan kelab malam," terang dia. 

Menurut Hana, Pemprov DKI Jakarta selama ini belum adil menindak semua tempat hiburan malam yang berkedok restoran. Tanpa menyebut nama, ia mencontohkan beroperasinya sejumlah bar di kawasan Senopati, Jakarta Selatan. 

"Kesalahannya berlapis. Pertama, enggak punya izin sebab zonasinya salah. Kedua, jenis usahanya salah dan pajak usahanya juga enggak tepat. Tapi, dia sudah seperti bar. Perkara ini yang akhirnya bikin kecemburuan," ujarnya.

Hana mengatakan, pihak asosiasi telah berulang kali melaporkan bar-bar yang buka di tengah pandemi Covid-19 kepada Pemprov DKI Jakarta. Namun, laporan itu terkesan tidak direspons. 

"Contoh, kami komplain ada satu tempat, The Brotherhood di Senopati, misalnya. Kami bingung ini restoran, bar atau club. Tapi, sampai hari ini dan kemarin, mereka masih buka. Mestinya Pemprov DKI Jakarta harusnya tegas dong dengan setiap pelanggaran," ucapnya.

Jika beroperasi sebagai restoran, Hana mengatakan, sebuah tempat usaha seharusnya tidak boleh menjual minuman dengan kadar alkohol mencapai 40%. Di tengah pandemi, musik disko pun tak diperbolehkan karena bisa memancing pengunjung berkerumun. "Jadi, saya harap saling menaati aturanlah," kata dia. 

Lebih jauh, Hana meminta agar Pemprov DKI segera memberikan kepastian kapan tempat hiburan malam boleh buka. Dengan begitu, tidak muncul kecurigaan pemerintah mengakomodasi kepentingan segelintir pengusaha hiburan malam. 

"Soalnya, enggak adil banget. Sampai hari ini (pengelola tempat) hiburan (malam) belum dapat kepastian kapan boleh buka. Sementara di depan mata, kok yang lain bebas. Saya, dari asosiasi, menyarankan untuk taat sebab (belum ada izin) pihak Pemprov DKI," kata dia. 

Ilustrasi lantai dansa kelab malam. /Foto Unsplash

Beroperasi di tengah pandemi ilegal 

Saat dikonfirmasi, pihak manajemen bar yang dikunjungi Alinea.id di bilangan SCBD membenarkan bahwa mereka menggunakan izin sebagai restoran untuk beroperasi. 

"Kalau lihat socmed (social media) kita, yang kita promo itu semua makanan dan ambience kita," kata pihak manajemen saat dihubungi Alinea.id, Rabu (1/7) malam.

Soal pengunjung yang merangsek ke lantai dansa, dia mengatakan, pihak manajemen kesulitan mengingatkan mereka karena keterbatasan pegawai. Menurut dia, hanya 50% pegawai bar yang diminta kembali bekerja di tengah pandemi.

Ia juga membantah menggunakan DJ layaknya kondisi normal sebelum pandemi. "Itu staf kita pake headset ala-ala karena tamu minta supaya kayak ada DJ. Biar lebih gimana gitu. Itu juga sudah jam closing. Lampu nyala terang jam 12," kata dia. 

Lebih jauh, ia juga menepis tudingan bahwa protokol Covid-19 tak dijalankan dengan ketat di bar dan restoran. Namun demikian, ia mengakui belum ada pedoman protokol kesehatan resmi yang bisa dijadikan pegangan. 

"Kita sudah sounding ketika sedang tidak makan dan minum agar kembali memakai masker. Tapi, ya mereka alasan buat nafas atau apa. Jadi, serba salah juga," kata dia. 

Kepala Dinas Parekraf DKI Jakarta Cucu Ahmad Kurnia membantah pemerintah telah memberi izin kepada bar dan tempat hiburan malam untuk buka kembali atau memberi toleransi jam operasional hingga pukul 01.00 dini hari.

"Jelas ngawur itu. Enggak mungkin kita ngasih arahan seperti itu. Siapa orangnya yang kasih arahan kayak gitu dari Dinas Pariwisata? Sebutin saja namanya. Enggak mungkin kami ngarahin kayak gitu," ujarnya kepada Alinea.id, Senin (29/6).

Jika ada yang memaksa kembali beroperasi di tengah pandemi, Cucu mengatakan, tempat hiburan malam itu melanggar aturan. "Ya, sudah pasti ilegal. Ada sanksinya di Peraturan Gubernur Nomor 51 Tahun 2020," ucapnya.

Disebutkan dalam Pergub Nomor 51 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar pada Masa Transisi Menuju Masyarakat Aman, Sehat, dan Produktif, tempat hiburan harus mengikuti pedoman protokol pencegahan Covid-19 yang ditetapkan lewat keputusan Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif DKI Jakarta. 

Menurut Cucu, seharusnya bar dan tempat hiburan malam lain belum boleh buka lantaran Dinas Parekraf DKI masih mempersiapkan protokol pencegahan Covid-19. "Belom (ada kepastian kapan buka). Nanti itu yang punya wewenang tim Gugus Covid-19. Kami mempersiapkan protokol," kata dia. 

Selama pandemi, Cucu mengatakan, pemerintah sudah banyak menindak tempat hiburan malam yang kedapatan tetap beroperasi seperti biasa. Peringatan dan denda pun sudah dilayangkan kepada pengusaha yang melanggar aturan PSBB. 

"Termasuk (kelab malam) The Swillhouse. Sudah kami kenakan sanksi. Tapi, yang denda bukan kami, melainkan Satuan Polisi Pamong Praja," ujar Cucu. 

Andai ada tempat hiburan malam yang kedapatan melanggar kembali, Cucu mengatakan, pihaknya tidak akan segan-segan untuk memberikan sanksi tegas. "Kalau melanggar lagi, ya, disegel," tegas dia.

Ilustrasi tempat hiburan malam. /Foto Pixabay

Ancaman Covid-19 di lantai dansa 

Epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Syahrizal Syarief meminta pemerintah tidak sembarangan memberikan izin operasi kepada tempat-tempat hiburan malam.

Berkaca pada kasus di Korea Selatan (Korsel), ia mengatakan, bar dan klub malam potensial jadi klaster baru penyebaran Covid-19. Tercatat sudah ada lebih dari 200 orang yang tertular Covid-19 dari klaster kelab malam di Negeri Gingseng, sejak Mei lalu. Akibat lonjakan kasus dari klaster itu, Korsel kini bahkan dilanda gelombang pandemi kedua. 

"Korea Selatan ketika membuka tempat hiburan menemukan klaster baru, langsung menutupnya. Kalau di Korea Selatan tamunya juga diperiksa. Semua ditelusuri dan kejar semua. Nah, kita apa sampai begitu? Kan enggak," ujarnya kepada Alinea.id, Senin (29/6).

Menurut Syahrizal, tidak tepat jika pemerintah memberikan izin kepada tempat hiburan malam untuk beroperasi saat ini. Apalagi, kurva penularan Covid-19 belum juga melandai. Setiap hari, tambahan jumlah kasus baru positif Covid-19 masih di atas 1.000.

"Korea Selatan, saat tempat hiburan malamnya dibuka, itu memang situasi wabah di sana sudah menurun. Jadi, mereka berani buka. Tapi, mereka juga punya sistem. Setiap membuka itu juga disertai dengan sistem yang bisa mengendalikan virus," jelas dia. 

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Jika diberikan izin beroperasi, Syahrizal meminta agar pemerintah memperkuat pengawasan pemberlakuan protokol pencegahan Covid-19 di tempat-tempat hiburan malam. Setiap pengunjung, misalnya, harus diwajibkan diperiksa suhu tubuhnya dan mengenakan masker. 

"Kalau bisa rapid test-lah. Harus dipastikan bahwa mereka semuanya tidak ada satu pun yang sakit. Tapi, pertanyaannya apakah itu sudah dilakukan saat mereka buka," tutur dia. 

Meskipun beroperasi dengan protokol kesehatan yang ketat, Syahrizal mengatakan, tempat hiburan malam tetap potensial menjadi klaster baru penularan Covid-19. Apalagi, jika lantai dansa dibiarkan tetap dibuka seperti hari-hari biasa. 

"Kalau memang sudah disusun fase dan tahapannya, semestinya diikuti. Jangan masing-masing sektor jalan sendiri-sendiri. Kalau memang mau dijalani begitu (diberikan izin), ya, tunggu saja risikonya," cetus dia. 

 

Berita Lainnya
×
tekid