sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mencegah penularan Covid-19 di pondok pesantren

Pondok pesantren dikhawatirkan menjadi klaster penularan Covid-19. Bagaimana mencegahnya?

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Sabtu, 31 Okt 2020 06:00 WIB
Mencegah penularan Covid-19 di pondok pesantren

Ali Hasan, salah seorang pegawai sekretariat Pondok Pesantren (Ponpes) Asshiddiqiyah Pusat, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, belum beranjak dari pos keamanan ponpes. Pekerjaan kecil sedang dilakukannya, menyemprot beberapa bungkusan paket kiriman dengan cairan disinfektan.

“Paling sering kiriman diantar lewat ojek online atau kurir,” kata Ali saat ditemui reporter Alinea.id, Selasa (27/10).

Tak hanya barang kiriman yang akan masuk ke ponpes, orang-orang yang berkunjung pun akan disemprot disinfektan. Upaya itu dilakukan untuk mencegah risiko penularan SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 dari orang-orang di luar lingkungan pesantren.

Ali mengatakan, pihak ponpes memang menerapkan protokol kesehatan dengan ketat. Setiap tamu, hanya boleh masuk satu pintu, melalui bagian depan pos keamanan. Protokol kesehatan pun diterapkan pengasuh dan para santri.

Kondisi ponpes

Salah seorang pengajar di Ponpes Asshiddiqiyah Pusat, Taufan Azhar mengungkapkan, ada 12 cabang Asshiddiqiyah di seluruh Indonesia. Di Asshiddiqiyah Pusat, terdapat 650-an santri tingkat Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah. Di ponpes ini sudah dibentuk Satgas Covid-19 Pesantren (SCP). Taufan sendiri diberi mandat menjadi ketuanya.

“Setiap dua minggu atau sebulan sekali kami berkoordinasi dengan RMI PBNU (Rabithah Ma’ahid Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), khususnya dalam pelatihan-pelatihan yang diadakan,” kata Taufan saat ditemui, Selasa (27/10).

Selama Maret hingga Juni 2020, kegiatan belajar tatap muka sempat dihentikan. Ia menuturkan, pihak pengelola ponpes juga kerap menggelar rapid test untuk santri. Kegiatan itu diadakan setiap dua atau tiga minggu sekali.

Sponsored

Taufan mengatakan, ada sistem pengaturan jumlah santri yang akan kembali tinggal di asrama, dengan ketentuan setengah dari total jumlah santri. Hal itu menyesuaikan dengan daya tampung ruangan asrama.

Setiap orang yang masuk ke lingkungan Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Pusat, Kebon Jeruk, Jakarta Barat harus melalui pemeriksaan suhu tubuh oleh petugas. Pengelola juga mengimbau tak ada kunjungan dari tamu maupun wali murid, Selasa (27/10/2020). Alinea.id/Robertus Rony Setiawan.

Satu ruangan asrama berukuran 8 x 8 meter, dihuni delapan orang. Jika sebelumnya satu tempat tidur dengan dua dipan berbeda boleh digunakan dua santri, saat ini hanya satu dipan yang diizinkan dipakai tidur.

“Satu dipan di atas saja yang dipakai. Dipan bawah kami kosongkan,” ujarnya.

Santri yang baru datang dari kampung halamannya diwajibkan tes swab, yang difasilitasi SCP. Lalu, mereka wajib karantina selama 14 hari di ruangan khusus.

Pembelajaran dilakukan secara daring, dengan pembatasan hanya 13-25 santri per kelas. Santri lainnya mengikuti pembelajaran dari rumah masing-masing. Posisi duduk santri yang ada di dalam kelas diatur dengan jarak minimal satu meter.

“Santri di kelas hanya didampingi petugas admin yang memandu kelas online. Gurunya pun mengajar online dari rumah,” kata dia.

Fasilitas lainnya berupa wastafel terpasang di bagian depan setiap ruang kelas. Para santri dibekali pula dengan cairan disinfektan dalam botol, yang ada di setiap kamar asrama.

“Setiap tiga kali dalam seminggu, kami juga melakukan penyemprotan disinfektan di seluruh ruangan,” ujar Taufan.

Ponpes Sirojul Huda di Kalideres, Jakarta Barat menampakan kondisi yang berbeda. Ponpes ini terlihat sepi, tak tampak aktivitas apa pun. Beberapa ruang kelas terlihat tak terawat. Kursi-kursi plastik tampak tergeletak di halaman tengah ponpes.

Salah seorang santri, Indra Sadikin mengatakan, kegiatan belajar tatap muka dihentikan sejak April 2020. “Dan, beralih ke daring,” katanya saat ditemui di Ponpes Sirojul Huda di Kalideres, Jakarta Barat, Selasa (27/10).

Santri lainnya, Gandur Haidar yang duduk di kelas IX Madrasah Tsanawiyah Sirojul Huda mengatakan, satu-satunya kegiatan rutin yang diadakan hanya pengajian malam, setiap seminggu sekali.

“Sosialisasi penerapan protokol kesehatan pernah diadakan oleh petugas puskesmas akhir Maret lalu,” kata dia ditemui di kediamannya yang berjarak 300 meter dari ponpes, Selasa (27/10).

Guru pendidikan budi pekerti dan akhlak Ponpes Sirojul Huda, Subur Tjahjadi mengakui, pihak ponpes kesulitan menggelar kegiatan belajar tatap muka. Pengelola ponpes, kata Subur, hanya mematuhi imbauan puskesmas dan pemerintah setempat.

“Kami semua jadi lebih banyak mendampingi santri pas kelas daring saja,” kata Subur saat dihubungi, Selasa (27/10).

Pada awal Oktober 2020, dikutip dari Antara, Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Saadi mengungkapkan, ada 1.400 santri positif Covid-19. Dari jumlah tersebut, 900 santri sembuh, sedangkan satu orang meninggal dunia.

Ia mengatakan kasus Covid-19 terbanyak ada di ponpes wilayah Jawa Timur, diikuti Jawa Tengah dan Jawa Barat. Selebihnya, tersebar di tujuh provinsi. Ia menuturkan, total ada 27 ponpes di 10 provinsi yang menjadi klaster Covid-19.

Berdasarkan data Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama (Kemenag), ada 26.974 ponpes di seluruh Indonesia. Jawa Barat memiliki jumlah pesantren paling banyak, yakni 8.343. Diikuti Banten dengan 4.576 dan Jawa Timur 4.452. Dengan jumlah sebanyak itu, ponpes dikhawatirkan menjadi klaster penularan Covid-19 yang masif.

Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag Waryono mengatakan, pihaknya sudah membahas upaya pencegahan dan penanganan Covid-19 di pesantren dengan beberapa kementerian terkait.

Pihaknya pun memberikan bantuan operasional untuk pesantren terdampak Covid-19. Saat ini, pemberian bantuan itu memasuki tahap ketiga, sejak dijalankan akhir Agustus 2020.

“Kami masih memantau ponpes mana saja yang mendesak membutuhkan dukungan. Misalnya dana untuk kebutuhan penyediaan sarana kesehatan,” katanya saat dihubungi, Selasa (27/10).

Waryono menyebut, Kemenag menyediakan anggaran khusus untuk program penanganan Covid-19 di pesantren, sebesar Rp2,5 triliun. Program ini diprioritaskan untuk jumlah kasus Covid-19 tertinggi.

Usaha menekan kasus

Dihubungi terpisah, Ketua Satuan Koordinasi Covid-19 RMI PBNU, Ulun Nuha mengungkapkan, sebagian besar pesantren di Indonesia masih tidak siap menerapkan protokol kesehatan. Berdasarkan data RMI PBNU Agustus lalu, kata dia, diperkirakan lebih dari 60% ponpes di Indonesia belum mendapatkan penjelasan terkait protokol kesehatan pencegahan Covid-19.

Ulun menilai, sebagian besar ponpes di Indonesia menghadapi persoalan keterbatasan ruang. Dari tahun ke tahun, menurutnya, fasilitas di ponpes tak banyak mengalami perkembangan atau perbaikan. Ia melihat, rasio jumlah santri dan ruang belajar sangat tidak ideal.

“Pesantren pada umumnya tidak modern atau fasilitas terbatas. Karena secara ideologis para kiai tak boleh menolak calon murid yang mendaftar. Maka murid bertambah terus-menerus, tetapi ruang belajar segitu-segitu saja,” ucapnya saat dihubungi, Selasa (27/10).

Dalam kondisi seperti itu, ia mengatakan, lingkungan pesantren cukup potensial menyumbang tingginya kasus Covid-19. Mengingat pula, para santri nyaris 24 jam tinggal di asrama bersama-sama.

“Tingkat kerapatan antarsantri tinggi karena ruang sangat terbatas,” ujarnya.

Suasana ruang kelas di Pondok Pesantren Sirojul Huda Utanjati di Kelurahan Pegadungan, Kecamatan Kalideres, Kota Jakarta Barat, Selasa (27/10/2020). Alinea.id/Robertus Rony Setiawan.

Akses santri dan pengelola pesantren terhadap fasilitas dan tenaga kesehatan, dinilai Ulun juga cenderung terbatas. “Banyak yang tak dilengkapi tenaga dokter, klinik, dan fasilitas lainnya,” tuturnya.

Faktor lain yang ikut membuat ponpes rentan menjadi klaster penularan Covid-19 adalah besarnya jumlah santri dan pengajar. Ia menaksir, sekitar 18 juta santri dan 1,5 juta guru di seluruh Indonesia menjalani aktivitas lain di luar lingkungan pesantren.

“Kita tidak bisa mengontrol mereka bepergian ke mana saja. Karena ada yang pulang-pergi dari pesantren, di arus keluar-masuk itulah cukup tinggi berisiko,” katanya.

Demi pencegahan dan penanganan Covid-19 di ponpes, pihaknya mewajibkan setiap ponpes membentuk SCP. Ulun mengungkapkan, kegiatan pendampingan RMI PBNU telah dijalankan dalam lima angkatan, dengan anggota SCP yang berasal dari perwakilan pengasuh dan pengajar setiap pesantren di Indonesia. Hingga Oktober, jumlah peserta setiap kelompok pendampingan sekitar 150 orang.

Para pengasuh dan pengajar yang menjadi anggota SCP, kata dia, menjalankan sosialisasi dan edukasi kepada para santri di pesantren masing-masing.

“Kami dorong agar fungsi SCP ini maksimal. Karena peran kami tak bisa bertepuk sebelah tangan, harus saling menyambut,” ujarnya.

Selain mengadakan pelatihan terhadap anggota SCP, pihaknya sudah menerbitkan delapan protokol kesehatan untuk kebutuhan ponpes. Beberapa di antaranya ketentuan menyangkut kegiatan masa liburan santri, protokol pengaturan kedatangan santri ke ponpes, dan kunjungan santri.

Di samping itu, kata dia, RMI PBNU memantau langsung ke setiap ponpes, untuk memastikan penerapan protokol kesehatan dan SCP menjalankan perannya dengan baik. Jika ditemukan ada santri yang terpapar virus, RMI PBNU membentuk tim kecil yang bertugas sebagai komunikator dan tenaga kesehatan.

Pelaksanaan standar operasional, kata Ulun, disesuaikan dengan kondisi masing-masing ponpes. Secara umum, Ulun menjelaskan, standar operasional itu adalah menindaklanjuti hasil rapid atau tes swab. Prosedur selanjutnya, mengabari pihak keluarga santri dan masyarakat sekitar tempat tinggalnya.

“Setelah hasil tes keluar, diikuti dengan pelaksanaan protokol kesehatan, isolasi, dan perawatan. Juga tracing kontak santri yang bersangkutan, dan perbaikan atau pemenuhan gizi santri,” ucapnya.

Upaya lainnya yang dilakukan RMI PBNU adalah membuat aplikasi Salam Doc. Lewat aplikasi tersebut, santri dan pengajar dimudahkan berkonsultasi dengan petugas kesehatan yang terdaftar di dalamnya. Sejak diluncurkan pada 22 Oktober 2020, aplikasi itu sudah diunduh lebih dari 250 pesantren di Indonesia.

“Target kami awal Desember nanti minimal sudah ada 1.000 pesantren yang terjangkau, demi memudahkan konsultasi dengan dokter terkait keluhan dan perawatan bila terjangkit Covid-19” katanya.

Sementara itu, epidemiologi dari Universitas Airlangga (Unair) Windhu Purnomo menilai, pilihan terbaik bagi ponpes di masa pandemi ialah tidak menjalankan aktivitas tatap muka. Ia menerangkan, lingkungan pesantren relatif sulit menerapkan protokol kesehatan secara ketat.

“Hampir semua pondok pesantren memiliki lingkungan dengan sarana yang tidak layak dan tak memenuhi prasyarat 3M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak),” kata dia saat dihubungi, Senin (26/10).

Infografik potensi penularan Covid-19 di pesantren. Alinea.id/Oky Diaz.

“Jaga jarak saja tidak bisa, maka ponpes sudah pasti tak pernah mungkin bisa menjalankan 3M.”

Perubahan perilaku di lingkungan pesantren juga harus dilakukan dengan meniadakan tradisi cium tangan santri kepada kiai atau pengajar. Menurutnya, perilaku itu sangat berbahaya bagi pengajar, terutama yang sudah berusia lanjut dan memiliki penyakit bawaan.

Perubahan-perubahan perilaku ini, kata Windhu, mesti dibiasakan secara disiplin dan sesegera mungkin. Ketegasan pengasuh atau pengelola ponpes, menurutnya, dibutuhkan bila ada warga pesantren yang tidak tertib dalam menjalankan perilaku baru sesuai protokol kesehatan.

“Tak boleh sungkan-sungkan menegur. Harus cepat mengubah perilaku. Kondisi sekarang ini sifatnya sudah kritis dan akut,” tuturnya.

Berita Lainnya
×
tekid