sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Omnibus law dan akhir monopoli sertifikat halal MUI

Majelis Ulama Indonesia (MUI) tak lagi memonopoli sertifikasi halal produk.

Robertus Rony Setiawan Marselinus Gual
Robertus Rony Setiawan | Marselinus Gual Selasa, 29 Sep 2020 16:52 WIB
Omnibus law dan akhir monopoli sertifikat halal MUI

Polemik sertifikasi halal memasuki babak baru. Diwakili Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama, pemerintah menyelipkan sejumlah pasal terkait sertifikasi halal di Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker). 

Setidaknya ada empat pasal krusial yang disisipkan pemerintah dalam beleid Omnibus Law Ciptaker untuk merevisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Yang paling krusial ialah terkait pelibatan ormas Islam dalam sertifikasi.

Dinyatakan dalam revisi Pasal 7 UU JPH yang terangkum dalam Omnibus Law Ciptaker, BPJPH bisa menggandeng ormas Islam yang berbadan hukum dalam memeriksa kehalalan sebuah produk. Sebelumnya, BPJPH hanya diperkenankan bekerja sama dengan MUI dan lembaga pemeriksa halal (LPH).

Selain ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, menurut anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Achmad Baidowi, pemerintah juga bisa menggandeng LPH yang dibentuk perguruan tinggi beryayasan Islam atau perguruan tinggi negeri yang punya kompetensi terkait sertifikasi halal.

"Ya, dia (ormas) bisa bikin LPH, lembaga pemeriksa halal. Terus sertifikasinya sesuai dengan BPJPH," kata Awiek, sapaan akrab Baidowi, saat dihubungi Alinea.id, Minggu (27/9).

Menurut Baidowi, pelibatan ormas dan perguruan tinggi bertujuan untuk menghindari monopoli Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Makanan (LPPOM) MUI. Meski demikian, MUI tetap memiliki otoritas untuk mengeluarkan fatwa halal.

"Fatwa tetap dong di MUI. Enggak bisa diberikan kepada ormas. Itu nanti beda. Rokok saja antara NU dan Muhammadiyah udah beda. Belum lagi soal bekicot. Ada yang bilang halal dan tidak. Itu berat nanti," ujar anggota Komisi VI DPR RI tersebut. 

Poin krusial lainnya dalam revisi ialah terkait penetapan batas waktu sidang fatwa MUI. Pasal 33 ayat (3) berbunyi, "Sidang fatwa halal memutuskan kehalalan produk paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian produk dari LPH."

Sponsored

Pada Pasal 35A ayat (2) ditegaskan bahwa BPJPH dapat langsung menerbitkan sertifikat halal jika MUI tidak dapat memenuhi batas waktu penetapan fatwa. 

"Fatwa ulama kan administratif keagamaan kan. Kalau, misalnya, dari tingkat kesucian, dari segi kesehatan sudah memenuhi, tapi dari MUI enggak keluar (fatwa), itu kan kita bertanya-tanya," jelas Awiek. 

Bunyi dua pasal itu dipersoalkan anggota Baleg dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mulyanto. Menurut dia, penetapan fatwa halal lewat sidang para ulama merupakan wewenang MUI yang tidak boleh diganggu-gugat. 

"BPJPH dan MUI ini adalah dua lembaga dengan wilayah otoritas yang terpisah dan kompetensi yang berbeda. Lha, kalau MUI mengambil kesimpulan dari tidak halal menjadi halal, ini repot nanti. Ini masalah keyakinan kan," kata dia kepada Alinea.id

Terkait pelibatan ormas Islam, Mulyanto mengatakan, itu disepakati sebagai langkah untuk mempercepat sertifikasi halal produk-produk unit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Menurut dia, proses sertifikasi kerap terganjal karena minimnya auditor. 

"Dulu ada masalah terkait penyelia dan auditor halal. Itu yang bikin lama keluarnya di MUI. Nah, itu yang dipercepat. Karena itu administrasi, mereka (ormas) bisa melakukannya. Ormas menjadi penyelia dan auditor," kata dia. 

Pengujian sampel daging dalam proses sertifikasi halal. /Foto halal.mui.org

BPJPH vs MUI

Revisi juga diarahkan untuk menganulir sejumlah aspek kerja sama antara MUI dan BPJPH. Sebagaimana dinyatakan pada revisi Pasal 10 ayat 1, sertifikasi auditor halal dan akreditasi LPH tidak lagi menjadi bagian dari kerja sama antara dua lembaga. BPJPH dan MUI hanya bekerja sama dalam penetapan kehalalan produk. 

Dihapuskannya kerja sama dalam mengakreditasi LPH merupakan upaya pemerintah menghindari polemik. Pasalnya, BPJPH dan MUI pernah berkonflik karena BPJPH menunjuk PT Sucofindo sebagai LPH pada 2019 tanpa persetujuan MUI. 

Penunjukan Sucofindo itu berbuntut panjang. Pada 1 Juli lalu, Indonesia Halal Watch menggugat BPJPH ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta lantaran menganggap BPJPH melanggar UU JPH dan Surat Keputusan (SK) Menteri Agama Nomor 982 tahun 2019 tentang Layanan Sertifikasi Halal. 

"Secara formal dalam ketentuan pembentukan LPH, PT Sucofindo barangkali tidak mendapat persetujuan dari kedua belah pihak sekaligus. Jangan sampai ada pihak yang kewenangannya ditinggal. Itu akan membuat PT Sucofindo tidak diakui penuh oleh kedua pihak," kata Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah kepada Alinea.id, Minggu (27/9).

SK Menag Nomor 982 tahun 2019 itu, kata Ikhsan, merupakan diskresi pemerintah dalam menyikapi belum siapnya BPJPH sebagai lembaga penyelenggara sertifikasi halal pascapemberlakuan UU JPH. SK itu diteken Menag Fachrul Razi pada 12 November 2019 atau sekitar tiga bulan setelah LPPOM MUI mengajukan permohonan gugatan uji materi UU JPH ke Mahkamah Konstitusi.

Dalam dokumen uji materi tersebut, MUI mempersoalkan kewenangan Menag sebagai penyelenggara JPH. Apalagi, dua tahun berselang sejak berdiri pada Oktober 2017, BPJPH dianggap belum kompeten dalam memproses sertifikasi halal. Selain tak punya jaringan di daerah, BPJPH juga belum banyak menggandeng LPH yang bisa mengaudit produk-produk.

Disebutkan dalam SK tersebut, BPJPH hanya diberi wewenang menerima pendaftaran sertifikasi dan menerbitkan sertifikasi halal. Di sisi lain, LPPOM MUI dan MUI diberi wewenang untuk memeriksa produk, menguji kehalalan produk, dan menggelar sidang fatwa. 

"Terjadi stagnansi proses sertifikasi karena BPJPH belum siap dalam menyelenggarakan sertifikasi. BPJPH belum memiliki lembaga auditor halal. Auditor ini masih sedikit dan hanya baru ada di LPPOM MUI," kata Ikhsan menjelaskan maksud isi SK itu. 

 

MUI sebenarnya tak tinggal diam ketika mengetahui kewenangan mereka untuk menerbitkan sertifikasi halal direduksi oleh sejumlah pasal di Omnibus Law Ciptaker. 

Agustus lalu, rombongan petinggi MUI menyambangi DPR untuk "berdiskusi". Usai diskusi, Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin mengatakan, petinggi MUI berpesan agar wewenang sertifikasi halal tetap di tangan MUI.  

Terkait itu, Ikhsan mengatakan, tak seharusnya BPJPH dan MUI berkonflik dalam proses sertifikasi halal. Sebagaimana diatur dalam UU JPH dan SK Menag, kedua lembaga tersebut sudah memiliki wewenang masing-masing. 

"Ini kan soal pengelolaan birokrasi yang membutuhkan semangat gotong-royong agar UU itu dapat berjalan baik. Jangan sampai satu sama lain merasa kewenangannya didelusi atau dikooptasi yang dapat memunculkan ketidaksesuaian atau perlawanan," tuturnya.

Jika dibandingkan, Wakil Direktur LPPOM MUI Muti Arintawati mengatakan LPPOM MUI jauh lebih maju dalam sertifikasi halal. Saat ini, kata dia, BPJPH tak punya jejaring di daerah dan pelayanannya masih terpusat di Jakarta. 

"Kalau mau lebih baik, perlu segera diperbaiki atau dikembangkan sistem pelayanan sertifikasi halal itu. Sementara, ini kan setahu saya, masih manual,” kata Muti kepada Alinea.id

Kepala BPJPH Sukoso membenarkan kapasitas lembaganya dalam memproses sertifikasi halal sebuah produk masih terbatas. Ia pun membenarkan banyak perwakilan perusahaan yang mesti terbang ke Jakarta demi sertifikasi lantaran BPJPH tak punya perwakilan di daerah.

“Jadi mau tidak mau ya, sementara harus begitu. Biaya untuk sertifikasi bisa menjadi tidak ekonomis," ujar dia saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, belum lama ini. 

Sejak Oktober 2019 hingga 23 September 2020, kata Sukoso, sudah ada 560 pelaku usaha yang telah lulus sertifikasi melalui BPJPH. "Jika rata-rata ada tiga jenis produk, maka ada 1.500 produk sudah bersertifikat halal," kata dia. 

Ilustrasi produk-produk yang wajib bersertifikat halal. Foto Unsplash

Diapresiasi ormas Islam 

Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini menyambut baik pelibatan ormas dalam sertifikasi. Menurut dia, sertifikasi halal seharusnya memang tidak dimonopoli MUI.

"Karena memang pada praktiknya MUI juga tidak mampu, ya. Kan turunannya banyak sekali terkait dengan sertifikat halal ini," kata Helmy kepada Alinea.id Minggu (27/9).

Menurut catatan LPPOM MUI, ada lebih dari 270 ribu pengajuan sertifikasi halal pada 2019. Namun demikian, MUI hanya menerbitkan sekitar 15 ribu sertifikat halal pada tahun yang sama. 

Helmy mengatakan, pelibatan ormas Islam juga tepat karena kedekatan mereka dengan para konsumen. Di sisi lain, kapabilitas pemerintah untuk mengkaji kehalalan produk juga terbatas. 

"Belum lagi kalau misalnya memberikan sertifikasi yang bersifat internasional, ya. Karena sudah banyak yang datang ke PBNU, dari pengusaha restoran dari beberapa negara, misalnya Jepang dan Korea," kata Helmy.

Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas mengatakan pelibatan ormas Islam dan perguruan tinggi hanya di ranah audit. Ia pun optimistis keterlibatan mereka bisa mempermudah kerja MUI. 

"Di situ kan ada ahli kimia, ahli biologi. Ketika mereka sudah tahu, misalnya, oh ada babinya, enggak usah lagi di bawah ke komisi fatwa (MUI). Tapi, kalau masih diragukan, nanti dibahas dan diputuskan oleh komisi fatwa," kata dia.
 

Berita Lainnya
×
tekid