Pelanggaran kebebasan beragama marak, Setara Institute sindir mendagri
Setelah Pilpres 2019, ada kecenderungan peningkatan ekspresi intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok agama minoritas.
Jelang setahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, berbagai pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KKB) dan ekspresi intoleransi mengalami peningkatan intensitasnya.
Direktur riset Setara Institute Halili Hasan menyebut, dalam sebulan terakhir, terdapat beberapa peristiwa menonjol terkait pelanggaran kebebasan KKB yang menyita perhatian publik. Pertama, pada Selasa (1/9) terjadi pelanggaran pembangunan fasilitas rumah dinas pendeta di Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) Kecamatan Napagaluh, Kabupaten Aceh Singkil. Kedua, pada Minggu (13/9) terjadi gangguan sekelompok orang yang intoleran atas ibadah terhadap jemaat HKBP KSB di Kabupaten Bekasi.
Ketiga, pada Minggu (20/9) terjadi penolakan ibadah yang dilakukan oleh sekelompok warga Graha Prima Kecamatan Jonggol Kabupaten Bogor terhadap jemaat dari Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI). Keempat, pada Senin (21/9) terjadi pelarangan ibadah bagi umat Kristen di Desa Ngastemi, Kecamatan Bangsal, Kabupaten Mojokerto.
“Potret tersebut memperkuat fenomena umum terjadinya peningkatan tindakan intoleransi dan pelanggaran di KBB Indonesia,” ujar Halili dalam keterangan tertulis, Selasa (29/9).
Setelah Pilpres 2019, ada kecenderungan peningkatan ekspresi intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok agama minoritas. Berdasarkan catatan Setara Institute, terjadi 200 peristiwa pelanggaran KKB.
Ia pun mengutuk berbagai tindakan untuk menghalangi pemenuhan warga negara untuk beragama dan beribadah. Pelanggaran konstitusional atas KBB telah dijamin dalam Pasal 28E Ayat (1) dan (2) dan Pasal 29 Ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia 1945. Halili juga menuntut pemerintah hadir menjamin dan melindungi hak konstitusional minoritas.
Sejak 2007, negara lebih sering absen ketika minoritas diintimidasi, direstriksi, didiskriminasi, dan bahkan dipersekusi.
“Kalau pun hadir, aparat pemerintah termasuk aparat keamanan, cenderung berpihak pada kepentingan pelaku intoleransi dan pelanggaran yang mengatasnamakan mayoritas. Minoritas kerap kali dikorbankan dan dipaksa mengalah atas nama harmoni dan kerukunan,” tutur Halili.
Ia pun mendesak Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, menjamin tata kelola pemerintahan daerah yang inklusif dan toleran dalam kebhinekaan. Pemerintah daerah (Pemda) menjadi aktor negara paling banyak melanggar KKB. Terdapat 157 tindakan pelanggaran KKB dalam rupa tindakan langsung, peraturan intoleran dan diskriminatif, hingga pembiaran.
“Pemerintah pusat tidak boleh diam, melainkan harus hadir menangani penjalaran intoleransi yang secara terus-menerus terjadi di daerah,” ucapnya.