sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Perusahaan WNA tinggalkan proyek Krakatau Steel yang hampir rampung

Dalam penyelidikan ternyata ada sejumlah temuan yang menunjukkan beberapa hal tidak sesuai spesifikasi.

Immanuel Christian
Immanuel Christian Selasa, 05 Apr 2022 07:33 WIB
Perusahaan WNA tinggalkan proyek Krakatau Steel yang hampir rampung

Direktorat Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) pada Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan pihak asing dalam perkara yang menjerat PT Krakatau Steel, meninggalkan begitu saja proyek pembangunan pabrik Blast Furnace pada tahun 2011 itu. Sementara pembangunannya sudah hampir selesai dan siap melaksanakan upacara serah terima.

Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Supardi mengatakan, proses pembangunannya berjalan dengan semua anggaran dari PT Krakatau Steel. Penyidik masih menelusuri sejumlah petunjuk untuk mengetahui kerugian negara dalam kasus tersebut.

“Sudah nyaris selesai prosesnya, bahkan belum diserahterimakan, artinya masa pemeliharan belum kelar tapi perusahaan asingnya sudah tinggal pergi,” kata Supardi kepada Alinea.id, Senin (4/4) malam.

Supardi menyebut, pembangunan itu sekilas terlihat normal tidak ada yang diragukan meski hampir rampung. Namun, dalam penyelidikan ternyata ada sejumlah temuan yang menunjukkan beberapa hal tidak sesuai spesifikasi.

“Beberapa hal, beberapa item belum sesuai spesifikasi, sudah tidak berfungsi lagi,” ucap Supardi.

Supardi menyampaikan, penyidik masih memburu Warga Negara Asing (WNA) yang terlibat dalam dugaan tindak pidana korupsi tersebut. WNA tersebut diketahui berjumlah empat orang dengan berpaspor warga negara Cina. Kini pihaknya berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Imigrasi untuk melacak mereka.

“(Mereka) otomatis kita panggil, kita (sedang) ngecek ke (Dirjen) Imigrasi ada di Indonesia apa enggak,” kata Supardi kepada Alinea.id, Sabtu (2/4).

Supardi menyebut, proyek tersebut dihentikan sebab ada dugaan proyek tidak sesuai perjanjian. Para WNA tersebut, kata Supardi, kemudian menyatakan mundur dan digantikan dengan pihak lainnya.

Sponsored

Sementara, pembayaran langsung dilunaskan, namun memang tidak sejalan dengan hasilnya. Hasil pembangunan sendiri menunjukkan barang tersebut tidak bisa dipakai, sehingga belum bisa melakukan proses serah terima.

“Dia menilai kayaknya Krakatau (Steel) enggak akan bisa bayar,” ucap Supardi.

Penyidik, kata Supardi, masih mengumpulkan bukti untuk memperkuat dugaan tindak pidana korupsi proyek pembangunan pabrik Blast Furnace oleh PT Krakatau Steel periode 2011 sehingga, perhitungan kerugian negara dalam perkara ini menjadi jelas.

Pengumpulan bukti itu berdasarkan hasil koordinasi dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Meski begitu, penyidik tidak menemui kesulitan dalam memenuhinya.

“Tim masih mengumpulkan bukti dalam rangka memenuhi kebutuhan dari BPKP, karena ketika koordinasi 'pak kurang ini, kurang ini’. Dia (BPKP) minta produk kita apa untuk mendukung perhitungan kerugian negara itu,” kata Supardi kepada Alinea.id, Kamis (31/3).

Kasus ini bermula dari Krakatau Steel yang melakukan lelang pengadaan pembangunan pabrik pada 31 Maret 2021. Tender lantas dimenangkan Konsorsium MCC Ceri dan PT Krakatau Engineering.  

Pendanaan pembangunan pabrik BFC awalnya dibiayai export credit agency (ECA) dari China. Namun, ECA dalam pelaksanaannya tak menyetujui pembiayaan proyek itu karena kinerja keuangan Krakatau Steel, yang dinilai dengan metode pendapatan perusahaan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi alias earning before interest, taxes, depreciation, and amortization (EBITDA), tak menuhi syarat. 

"Selanjutnya, pihak PT KS mengajukan pinjaman ke sindikasi Bank BRI (Bank Rakyat Indonesia), Mandiri, BNI (Bank Negara Indonesia), OCBC, ICBC, CIMB bank, dan LPEI (Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia)," ucap Ketut. 

Nilai kontrak pembagunan ini sekitar Rp6,9 triliun. Sementara, uang yang dibayarkan senilai Rp5,3 triliun dengan perincian dari bank luar negeri senilai Rp3,5 triliun dan bank dalam negeri Rp1,8 triliun. 

Pada 19 Desember 2019, proses pembangunan dihentikan. Alasannya, berdasarkan hasil uji coba operasi, biaya produksi lebih besar dibandingkan harga baja di pasar. Pekerjaan juga belum diserahterimakan dengan kondisi tak dapat beroperasi lagi atau mangkrak.

Padahal, Krakatau Steel membangun pabrik BFC dengan tujuan meningkatkan produksi baja nasional. Proyek itu dimulai dari 2011-2015 dan dilakukan beberapa kali addendum hingga 2019.

"Dilakukan pemberhentian di tahun 2019 karena biaya produksi lebih tinggi dari harga hun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011.

Berita Lainnya
×
tekid