sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Riset Alinea.id: Potret murka netizen soal isu perkawinan anak Aisha Weddings

Alinea.id melakukan riset tentang respons masyarakat atas isu perkawinan anak yang dikampanyekan Ashia Weddings melalui media sosial.

Fatah Hidayat Sidiq
Fatah Hidayat Sidiq Selasa, 23 Feb 2021 07:22 WIB
Riset Alinea.id: Potret murka netizen soal isu perkawinan anak Aisha Weddings

Jasa pernikahan Aisha Weddings menuai kecaman dari publik menyusul viralnya konten yang mengatasnamakannya. Ia disebut-sebut mengampanyekan pernikahan dini dengan dalih agama, terutama untuk perempuan.

"Semua wanita muslim ingin bertakwa dan taat kepada Allah Swt dan suaminya. Untuk berkenan di mata Allah dan suami, Anda harus menikah pada usia 12-21 tahun dan tidak lebih," tulis Aisha Weddings dalam situs webnya.

Aisha Weddings pun mempromosikan jasa pernikahan siri dan poligami. Lagi-lagi dengan dalih agama.

Konten tersebut lalu viral, menjadi isu nasional, dan sempat menjadi topik populer di Twitter lantaran agenda yang diusung melanggar norma umum dan hukum positif. Menabrak Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, misalnya, yang mensyaratkan usia minimal calon pengantin berusia 19 tahun.

Gayung bersambut, kata berjawab. Publik dan berbagai lembaga terkait mengecam Aisha Weddings. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Kementerian Agama (Kemenag), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK.

KPAI pun melaporkan Aisha Weddings ke Bareskrim Polri selain melayangkan kecaman. Sahabat Milenial Indonesia (Samindo)-Setara Institute pun bersikap demikian.

Alinea sempat memotret gemuruh isu di berbagai platform media sosial dengan menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), 9-11 Februari 2020. Hasilnya, konten ini pertama kali beredar di Twitter karena utas akun @SwetaKartika, 9 Februari.

Secara umum, terdapat 288 kiriman pada hari pertama isu bergulir. Melonjak menjadi 5.863 kiriman pada hari berikutnya, 10 Februari.

Sponsored

Pada hari kedua konten Aisha Weddings bergulir, akun Twitter @representative mendapati kejanggalan tentang bisnis jasa pernikahan tersebut. Dia melakukan penelusuran secara daring (online) ataupun luring (offline) di tiga daerah yang menjadi sasaran promosi.

Pada hari yang sama, pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi, juga mendapati keanehan Aisha Weddings. Menurutnya, jasa pernikahan itu tidak jelas eksistensinya.

"Situs online-nya juga baru diisi kontennya pada 9 Feb' (berusia 1 hari), dan sebelumnya terakhir di-update 2018," kicaunya via akun Twitter @ismailfahmi.

Perputaran isu kian deras dan membesar bak bola salju pada 11 Februari. Ini ditandai dengan kiriman mencapai 11.002 kali. Namun, pada hari-hari berikutnya mulai melandai. Perinciannya 666 kiriman pada 12 Februari, 196 kiriman pada 13 Februari, 98 kiriman pada 14 Februari, dan 113 kiriman pada 15 Februari.

Hari ketiga, pembahasan netizen tentang Aisha Weddings umumnya mengenai permintaan agar isu tidak dibesarkan karena disetel (setting). Namun, sejumlah pihak tetap mendorong aparat menindaknya.

Riuh rendah isu ini di media sosial setali tiga uang dengan jumlah warganet yang ikut memperbincangkannya. Secara keseluruhan, terdapat 16.050 netizen yang "melahap" Aisha Weddings dengan total 18.226 kiriman. 

Konten itu tersebar di empat platform medsos yang diamati. Tertinggi di Twitter dengan 17.343 kiriman (96,4%) disusul Facebook 553 kiriman (3,07%), YouTube 67 kiriman (0,37%), dan Instagram 24 kiriman (0,13%).

Warganet yang berpartisipasi dengan masalah ini mayoritas berada di DKI Jakarta, Sulawesi Tenggara, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Ketiga daerah tersebut menjadi sasaran promosi Aisha Weddings dalam berbagai bentuk, seperti spanduk, selebaran, dan sebagainya.

Pembicaraan tertinggi di Jakarta menyoroti kontroversi kampanye dan selebaran Aisha Weddings yang diselipkan dalam harian KOMPAS. Kemudian kecaman dan tanggapan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Menteri PPPK, Komnas Perempuan, hingga berita KPAI melaporkan Aisha Weddings ke Barekrim Polri.

Sementara itu, topik pembicaraan di Sulawesi Selatan mengenai sindiran netizen terhadap Aisha Wedding yang tidak jelas, tetapi pernikahan anak di Makassar dan Lombok hingga pelecehan banyak terjadi luput dari perhatian.

Terlepas dari polemik asli atau fiktif tentang keberadaan Aisha Weddings, banyaknya kritik atas kampanye perkawinan anak, nikah siri, dan poligami membuat sentimen netizen atas isu tersebut negatif dengan emosi penuh kemarahan (angry). Mereka lalu mendesak aparat menyelesaikannya lantaran telah menyesatkan pola pikir publik tentang pernikahan dini yang semestinya dihindari.

Mengapa isu ini kontroversi dan menuai kecaman publik? Menurut Ketua Pengurus LBH APIK, Nursyahbani Katjasungkana, promosi pernikahan dini Aisha Weddings merupakan fenomena puncak gunung es yang membahayakan lantaran biasanya aduan didiamkan dan akhirnya menguap tanpa tindak lanjut.

Padahal, dia mengingatkan, pernikahan dini mengancam visi Indonesia. Utamanya tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDGs).

Nursyahbani kemudia mengutip Pasal 5 The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW). Isinya, negara wajib melindungi segala bentuk gender stereotip, akar masalah diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, yang didukung budaya dan agama. 

"Aisha Weddings ini menggunakan ajaran-ajaran agama yang sangat patriarki, yang menempatkan anak-anak perempuan sebagai objek seksual melalui promosi nikah siri dan poligami,” ujarnya saat telekonferensi, beberapa waktu lalu.

Sementara itu, kepolisian mengusut tuntas kasus tersebut usai menerima laporan. Perkembangan terakhir yang terekspose berupa pemeriksaan seorang pelapor, Disna Riantina, oleh penyidik Polda Metro Jaya pada Rabu (18/2) kemarin. Dia mengungkapkan, aparat telah mengidentifikasi pemilik situs web Aisha Weddings.

Berita Lainnya
×
tekid