close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi borgol./Foto jhusemannde/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi borgol./Foto jhusemannde/Pixabay.com
Nasional
Jumat, 31 Mei 2024 06:26

Problem di tubuh kepolisian bisa berakibat salah tangkap

“Moral integritas itu fluktuatif. Apalagi polisi manusia biasa, belum tentu bisa objektif.”
swipe

Pegi Setiawan alias Perong tampak gelisah, saat dirinya dihadirkan dalam konferensi pers di Mapolda Jawa Barat, Bandung, Minggu (26/5). Diapit dua petugas dengan tangan diborgol, beberapa kali Pegi tampak menggelengkan kepala, kala Kabid Humas Polda Jawa Barat Kombes Pol Jules Abraham Abast membeberkan keterlibatan dan perannya dalam kasus pembunuhan Vina Dewi Arsita dan Muhammad Rizky Rudiana di Cirebon, delapan tahun silam.

Sesaat usai konferensi pers selesai, kepada juru warta Pegi menyatakan dirinya tak bersalah dan korban fitnah. Pegi juga berulang kali menyatakan siap mati karena menganggap dirinya bukan tersangka kasus yang viral kembali gara-gara film itu.

Bantahan Pegi, ditambah beberapa kejanggalan seperti penangkapan yang terlalu lama, dihapusnya dua daftar pencarian orang (DPO) selain Pegi, dan Pegi yang diduga bekerja sebagai kuli bangunan di Bandung saat peristiwa pembunuhan terjadi, membuat banyak orang menilai ia diduga korban salah tangkap.

Apalagi, Saka Tatal, mantan terpidana kasus pembunuhan Vina dan Rizky, dalam pengakuannya di banyak media, berkali-kali menyatakan ia korban salah tangkap, tak bersalah, dan kerap disiksa agar mengaku. Bagai bola salju, pengacara terpidana lainnya menyatakan hal serupa.

Walau terpidana bisa saja membela diri dan belum terbukti kebenarannya, tetapi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat, ada 51 peristiwa salah tangkap sejak Juli 2018 hingga Juni 2019. Teranyar, KontraS mencatat salah tangkap sepasang suami-istri bernama Subur dan Titin pada 7 Februari 2024 di daerah Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Saat itu, Subur dan Titin hendak mengisi bahan bakar sepeda motor di sebuah pom bensin, Tiba-tiba, beberapa oknum anggota kepolisian, yang terdiri dari lima unit mobil mendatangi dan menyergap mereka dengan menodongkan pistol. Korban lalu dipaksa mengaku sebagai anggota dari sindikat perampokan yang terjadi di Rancabungur, Kabupaten Bogor.

Setelah mengetahui mereka bukan tersangka, Subur dan Titin ditinggal tanpa ada penjelasan lebih lanjut. Pasca-kejadian itu, Kapolres Bogor AKBP Rio Wahyu Anggoro meminta maaf dan membebastugaskan sembilan anggota reserse kriminal Polres Bogor dua hari setelah peristiwa.

Dugaan salah tangkap Pegi pun kembali mengangkat nama Sengkon dan Karta, dua petani miskin yang dipenjara gara-gara kasus perampokan dan pembunuhan. Peristiwa yang menyebabkan Sulaeman dan istrinya tewas itu terjadi pada 1974 di Desa Bojongsari, Pondok Gede, Bekasi.

Di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta Timur, ketika keduanya tengah menjalani hukuman, mereka bertemu dengan Gunel yang masih punya hubungan darah dengan Sengkon. Gunel ditangkap karena kasus pencurian. Kepada Sengkon, Gunel mengaku sebagai pelaku perampokan dan pembunuhan yang dituduhkan kepada Sengkon dan Karta.

Pada Oktober 1980, komplotan Gunel pun ditangkap. Akhirnya, November 1980, Sengkon yang divonis 7 tahun dan Karta yang divonis 12 tahun dibebaskan dari penjara usai segala macam proses hukum.

Menanggapi hal itu, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan, polisi sudah dibekali ilmu kriminologi, penyidikan, forensik, dan kemampuan autopsi yang mumpuni. Maka, amat disayangkan jika terjadi beberapa kejadian salah tangkap. Ketika salah tangkap terjadi, kata Bambang, artinya anggota yang bertugas tidak mengedepankankan ilmu maupun profesionalitasnya.

“Ini kan tergantung kemauan polisi. Kalau secara institusi sudah terpenuhi. Namun tidak secara personal yang kerap sepele melihat masalah dan tidak mau repot,” kata Bambang kepada Alinea.id, Rabu (29/5).

Bambang pun menilai, beberapa penyidik kerap menggunakan data sekadarnya, tanpa melaksanakan prosedur yang ada. Kemudian, alat bukti penyidikan sebatas keterangan pelaku, yang sering diperoleh dengan intimidasi dibuat supaya mengaku. Pengakuan tersebut dianggap merupakan alat bukti dengan bobot terkuat, sehingga bisa menetapkan seseorang sebagai tersangka.

Padahal, katanya, alat bukti masih ada yang bersifat circumstantial evidence atau bukti tidak langsung. Misalnya, sidik jari, senjata yang digunakan sebagai alat membunuh, maupun barang-barang lainnya yang ada di sekitar tempat kejadian perkara (TKP). Sementara, setiap orang dengan asas praduga tak bersalah berhak untuk mengingkari tuduhan apa pun.

“Antisipasinya bukan dengan dipaksa mengaku, melainkan penyidikan secara ilmiah, seperti forensik sebagai bukti materil harus dikejar,” ujar Bambang.

Terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Edi Saputra Hasibuan menganggap, Polri secara sumber daya manusia masih dalam kondisi tidak baik. Padahal, standar pemenuhan alat bukti yang cukup, minimal hanya dua. Nafsu akan pengakuan seorang tersangka menjadi motivasi. Sayangnya, kata dia, didapatkan dengan kekerasan, bukan penyidikan ilmiah.

“Polisi jangan terlalu mengandalkan pengakuan. Yang penting bisa buktikan, berdasarkan (alat) bukti,” ujar Edi, Rabu (29/5).

Di sisi lain, Bambang mengatakan, salah tangkap sering terjadi pada masyarakat kalangan bawah. Minimnya akses dan tidak melek hukum, menjadikan kelompok ini sangat rentan diintimidasi.

Fungsi pengawasan, ujar Bambang, perlu berfokus pada mentalitas. Secara struktur, Kapolri Listyo Sigit Prabowo harus menjalankan fungsi Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) Polri. Irwasum sendiri merupakan unsur pengawas dan pembantu pimpinan di tingkat Mabes Polri, yang berada di bawah Kapolri.

Lebih lanjut, Bambang menjelaskan, mental kejar target penyelesaian kasus secara kuantitas pun menjadi persoalan. Akibatnya, kasus yang selesai dianggap prestasi. Padahal, kualitas penyidikan rendah. Belum lagi tak kompak antara satuan di tubuh kepolisian. Misalnya, oknum bermasalah di divisi profesi dan pengamanan (propam), tetapi dapat promosi dari bidang SDM Polri.

Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) juga tidak bisa berbuat banyak. Sebab, tiga orang dari sipil sebagai komisioner terbilang minoritas.

“Moral integritas itu fluktuatif. Apalagi polisi manusia biasa, belum tentu bisa objektif,” kata Bambang.

Di samping itu, Edi mempersoalkan kondisi anggota di lapangan yang masih “buta” dan “tuli” soal profesionalisme. Apalagi, ketika terkait penetapan status tersangka terhadap seseorang. Maka, pengawasan dari masyarakat dan warganet perlu diusahakan.

“Polisi harus meningkatkan profesionalisme. Sekolah yang pintar sampai doktor, jangan sampai masyarakat lebih pintar soal hukum daripada polisinya,” kata Edi.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan