sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Rapid test antibodi, cara sia-sia deteksi Covid-19

Banyak pihak meragukan rapid test antibodi untuk mendeteksi virus dalam tubuh. Cara ini dianggap sia-sia belaka.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Selasa, 22 Des 2020 06:47 WIB
Rapid test antibodi, cara sia-sia deteksi Covid-19

Pertengahan November lalu, Aprilia Utami bergegas pergi ke rumah sakit untuk melakukan tes pemeriksaan Covid-19. Ia khawatir tertular virus, setelah mengetahui ada seorang rekan kerjanya yang terinfeksi. Perusahaannya, hanya mampu memberikan ongkos pengganti untuk melakukan rapid test (tes cepat) antibodi.

“Soalnya kalau swab (metode usap) mahal,” kata dia kepada reporter Alinea.id, Rabu (16/12).

"Kalau rapid test antibodi itu hargamya Rp150.000-Rp250.000.”

Usai dinyatakan hasil rapid test antibodi reaktif, Aprilia melakukan berinisiatif melakukan karantina mandiri. Ia tak ingin menularkan virus ke orang lain.

Namun, ia sesungguhnya ragu dengan hasil rapid test antibodi itu. Beberapa waktu sebelum ia melakukan tes Covid-19, atasannya di kantor sempat terkecoh dengan hasil rapid test antibodi, yang menyatakan reaktif. Namun, ketika dites dengan metode polymerase chain reaction (PCR) atau tes swab, hasilnya malah negatif.

 Petugas kesehatan mengambil sampel darah warga saat Rapid Test Covid-19 di Taman Balai Kota Bandung, Jawa Barat, Sabtu (4/4/2020)/Foto Antara Novrian Arbi.

Tak akurat

Rapid test antibodi merupakan metode mendeteksi antibodi di dalam darah seseorang untuk mengetahui kemungkinan terpapar Covid-19. Hasilnya bisa diketahui lima hingga 10 menit. Belakangan, metode ini diragukan.

Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Abdul Kadir mengatakan, Kemenkes tak lagi merekomendasikan rapid test antibodi sebagai metode mendiagnosa Covid-19 karena akurasinya rendah.

"Rapid test antibodi itu hanya digunakan untuk screening," ujarnya saat dihubungi, Sabtu (19/12).

“Itu pun bilamana ingin melakukan screening dalam populasi besar.”

Sponsored

Abdul menuturkan, saat ini sudah terjadi perubahan tren pemeriksaan Covid-19, dari rapid test antibodi ke rapid test antigen dan PCR. Rapid test antigen merupakan metode tes Covid-19 dengan mendeteksi protein virus, melalui sampel lendir yang diambil dari hidung atau tenggorokan.

Abdul menyarankan rumah sakit tak lagi memakai cara rapid test antibodi. “Tidak bisa untuk memastikan adanya virus. Terlalu banyak variabel yang berpengaruh di situ,” katanya.

Oleh karenanya, kata Abdul, Kemenkes perlahan sudah meninggalkan penggunaan rapid test antibodi. “BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) yang banyak pakai itu,” tuturnya.

Di awal pandemi Covid-19, Maret 2020, anak usaha PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI)—badan usaha milik negara yang bergerak di bidang agroindustri, farmasi, dan perdagangan—yakni PT Rajawali Nusindo ditunjuk pemerintah untuk mengimpor alat rapid test antibodi. Saat itu, diimpor alat rapid test antibodi sebanyak 500.000 dari China. Hingga Juli 2020, Rajawali Nusindo sudah mendistribusikan sebanyak 2,5 juta alat rapid test.

Per September 2020, menurut data dari situs web BNPB.go.id, Satgas Penanganan Covid-19 mendistribusikan alat rapid test antibodi ke beberapa lembaga, seperti Merpati Halim sebanyak 285.000, Kelapa Gading dan BGR sebanyak 44.900, Pusat Krisis sebanyak 838.350, dan cold storage BGR sebanyak 2.000.

Ratusan ribu alat rapid test antibodi pun sudah didistribusikan ke 34 provinsi. DKI Jakarta menjadi provinsi penerima alat rapid test terbanyak, yakni 300.040, diikuti Bali sebanyak 90.250. Sementara yang paling sedikit menerima alat rapid test adalah Kalimantan Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Jambi, Riau, Aceh, dan Bengkulu. Masing-masing provinsi tersebut hanya mendapat alat rapid test sebanyak 12.000.

Menurut VP Sekretaris Korporasi RNI Emmi Mintarsih, pihaknya ditunjuk Menteri BUMN Erick Thohir untuk mengimpor alat rapid test antibodi di awal pandemi karena dianggap cara paling memungkinkan mendeteksi Covid-19.

"Tahap awal memang yang digunakan di Indonesia memakai rapid test untuk menganalisis reaktif atau tidak reaktifnya imun tubuh," ujarnya saat dihubungi, Sabtu (19/12).

Emmi mengatakan, pihaknya tak lagi mengimpor alat rapid test antibodi, setelah melihat adanya perubahan tren pemeriksaan Covid-19 ke rapid test antigen dan PCR. Akan tetapi, ia tak membantah bila masih ada fasilitas pelayanan kesehatan yang menggunakan rapid test antibodi. Sebab, masih ada stok impor yang tersisa dan berusaha dihabiskan.

"Namun dalam jumlah yang tidak terlalu banyak karena Rajawali Nusindo masih menyediakan stok untuk melayani pemeriksaan calon penumpang di beberapa stasiun kereta api," ucapnya.

Meski begitu, Emmi tak bersedia membuka data berapa alat rapid test antibodi yang masih tersisa. "Secara prinsip, kami sebagai distributor akan mengikuti arahan dan aturan pemerintah yang berlaku terkait penyediaan produk-produk Covid-19,” kata dia.

“Rajawali Nusindo akan bersiap juga impor antigen."

Berhenti pakai rapid test antibodi

Petugas mengambil sampel darah warga saat pelaksanaan tes cepat di Kota Kupang, NTT, Kamis (25/6/2020). Foto Antara/Kornelis Kaha.

Dihubungi terpisah, epidemiolog dari Universitas Airlangga (Unair) Windhu Purnomo menegaskan, rapid test antibodi tak tepat digunakan untuk mendiagnosa seseorang terinfeksi Covid-19 atau tidak. Alasannya, rapid test antibodi adalah alat ukur antibodi setelah seseorang terpapar virus.

"Rapid test berbasis antibodi sesungguhnya digunakan untuk serosurveillance (menguji sampe populasi). Padahal, antibodi baru terbentuk secara umum paling cepat tujuh hari setelah seseorang terinfeksi Covid-19," ujar dia saat dihubungi, Sabtu (19/12).

Ia mengatakan, rapid test antibodi tak bisa diharapkan lagi untuk memutus penularan virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. Sebab, metode tersebut tak bisa memberikan kepastian yang valid terkait keberadaan virus di dalam tubuh seseorang.

"Karena itu, kalau memang akan menggunakan rapid test, bila hasilnya nonreaktif, harus tes ulang tujuh hingga 10 hari kemudian,” katanya.

“Bila tes kedua hasilnya tetap nonreaktif, dianggap tidak tertular. Tapi bila reaktif, harus lanjut ke PCR test."

Ia menyarankan, lebih baik pemerintah berhenti menjadikan rapid test antibodi sebagai ketentuan pemeriksaan Covid-19 dan beralih menggunakan rapid test antigen atau PCR, agar tak lagi ada alasan pihak tertentu mendulang keuntungan.

Ia menerangkan, bila seseorang dites menggunakan antigen dan hasilnya negatif, tak perlu diulang kembali. Hal itu sudah bisa membuktikan orang tersebut bebas dari virus. Namun, bila hasilnya positif, dianjurkan ke tes PCR.

Lebih lanjut, Windhu menyarankan pemerintah dan pihak rumah sakit membuat standar operasional prosedur (SOP) terkait tes Covid-19. Tujuannya, untuk memperjelas tes yang layak dipakai dan demi meminimalisir terjadinya komersialisasi tes Covid-19.

Infografik beda rapid test antibodi dan antigen. Alinea.id/Oky Diaz.

Dalam situasi kedaruratan kesehatan, Windhu menegaskan, pemerintah harus memegang kendali penuh perihal tes Covid-19. Ia melihat, sejauh ini pemerintah belum tegas untuk menindak pihak rumah sakit yang mencari keuntungan dari rapid test antibodi.

"Harusnya diberlakukan punishment bila ada penyimpangan," ucap Windhu.

Windhu pun mencermati, selama ini ketentuan kelayakan tes Covid-19 di masyarakat masih tumpang tindih dan membingungkan. Padahal, sudah terang masing-masing punya kualitas yang berbeda. SOP mencakup tujuan penggunaan masing-masing tes, kata Windhu, dibutuhkan, seperti cara dan prosedur penggunaan hingga interpretasi dan implementasinya.

“Semisal, untuk screening massal digunakan rapid test antigen. Kemudian untuk diagnosa pasti gunakan PCR test," ucapnya. “Pemerintah yang mengontrol harga, tapi harus mengikat. Sehingga dipatuhi.”

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid