sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

RUU Sisdiknas dan nestapa sekolah swasta yang tak terjangkau negara

Banyak sekolah swasta berbasis masyarakat adat yang perlu perhatian dan dukungan pemerintah.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Kamis, 24 Mar 2022 17:00 WIB
RUU Sisdiknas dan nestapa sekolah swasta yang tak terjangkau negara

Meski belum dibuka ke publik, kabar burung isi draf Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) rupanya sudah menuai polemik. Kepala Sekolah SMP Tri Mulya Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, Wahyu Alamsah menganggap, calon aturan baru di dunia pendidikan itu bakal membuat sekolah yang ia bina bisa “tamat”.

SMP Tri Mulya adalah sekolah komunitas Sunda Wiwitan, yang penting perannya bagi sarana pendidikan komunitas itu. Sekolah tersebut sudah berdiri sejak 1959.

Salah satu hal yang membuatnya khawatir adalah tiada kepastian nasib sekolah swasta yang dikelola masyarakat. Sebab, menurutnya, tak ada poin yang mengatur kewajiban negara dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah swasta.

“Padahal sekolah swasta itu penting untuk mengisi kekosongan yang tidak terpenuhi dalam aspek pendidikan di banyak daerah,” ujar Wahyu kepada Alinea.id, Senin (21/3).

Ia menilai, tak elok bila kewajiban pemerintah terhadap peran sekolah swasta ditiadakan dalam beleid yang baru. Katanya, hal itu bisa memperuncing diskriminasi antara sekolah negeri dan swasta yang sejak lama terjadi.

"Padahal dalam dunia pendidikan, negeri dan swasta itu sama,” katanya. “Tujuan umumnya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa."

Jika aturan baru itu tak mengatur dengan jelas soal kewajiban negara dalam mendukung sekolah swasta, Wahyu berpendapat, sekolah swasta bakal sulit berkembang atau minimal menyamakan kualitas sekolah negeri.

Butuh dukungan pemerintah

Sponsored

Kunjungan kerja Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim di SMA Muhammadiyah Al-Amin, Distrik Malaimsimsa, Kota Sorong, Papua Barat, Rabu (17/2/2021). Foto kemendikbud.go.id

Setelah membuka lembar demi lembar draf RUU Sisdiknas, pengamat pendidikan Doni Koesoema tak menemukan rincian terkait peran dan dukungan pemerintah terhadap sekolah swasta.

“Peranan penyelenggara pendidikan swasta sangat penting dalam sistem pendidikan nasional,” ujar Doni, Minggu (20/3).

Menurut Doni, dalam Undang-Undang (UU) Sisdiknas yang saat ini masih berlaku, yakni UU Nomor 20 Tahun 2003, sudah memuat kewajiban negara dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan di sekolah swasta. Hal itu secara eksplisit terdapat dalam pasal 55 ayat 4.

“Dalam pasal itu diatur norma bahwa pemerintah dapat membantu sekolah swasta,” katanya.

Pasal 55 ayat 4 UU Nomor 20 Tahun 2003 berbunyi, lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

Kemudian, pada 2011 ada uji materil di Mahkamah Konstitusi (MK). Saat itu, para pemohon mendalilkan frasa “dapat” dalam pasal 55 ayat 4 sudah menghilangkan atau setidaknya berpotensi menghilangkan kewajiban pemerintah, yang sekaligus menjadi hak pemohon dalam pembiayaan penyelenggaraan pendidikan dasar.

MK, yang kala itu dipimpin Mahfud MD—sekarang Menko Polhukam—mengabulkan gugatan tersebut. Mahfud menilai, kata “dapat” yang digugat pemohon bertentangan dengan UUD 1945.

“Mengapa justru norma ini dihapus dalam RUU Sisdiknas sekarang? Kata ‘dapat’ ini mendiskriminasi peranan sekolah swasta karena bertentangan dengan konstitusi,” ujar Doni.

Di sisi lain, Wahyu mengungkapkan, persoalan yang dihadapi sekolah-sekolah swasta di daerah sangat pelik. Misalnya, sekolah yang dipimpinnya mesti berjuang dengan anggaran yang terbatas supaya tetap beroperasi. Perkaranya, dana bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah, yang berdasarkan jumlah murid, tak cukup memenuhi segala kebutuhan operasional sekolahnya.

“Murid kami sangat sedikit,” ucapnya. “Total ada 39 siswa.”

Jangankan untuk meningkatkan mutu pendidikan, kata Wahyu, dana BOS yang terbatas itu tak mencukupi membayar guru honorer.

"Ya kalau sekolah swasta yang bermodal besar sih mungkin enggak masalah,” tuturnya.

“Tapi sekolah di daerah yang hanya memiliki murid sedikit, itu jadi masalah.”

Wahyu pun melihat, sikap diskriminatif pemerintah terhadap sekolah swasta juga tecermin dari program perekrutan guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), yang hanya dikhususkan bagi sekolah negeri.

"Kami korban dari kebijakan itu,” ujarnya.

“Ada empat guru yang pindah dari sekolah kami (karena lolos sebagai guru PPPK).”

Akibat perekrutan guru PPPK itu, jumlah pengajar di SMP Tri Mulya berkurang, dari 10 menjadi enam guru.

Kepala Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Sarana Maju, Tegal, Jawa Tengah, Tunjung Aji Dwiyanto merasakan kekhawatiran serupa. PKBM Sarana Maju sendiri menyelenggarakan pendidikan kejar paket untuk membantu warga putus sekolah.

“Warga yang belajar di PKBM Sarana Maju itu rata-rata menengah ke bawah,” ucap Tunjung, Selasa (22/3).

“Kalau tidak ada dukungan pemerintah, akan sulit bagi kami dalam merancang program sekolah paket.”

Selama ini, PKBM Sarana Maju lebih banyak mengandalkan sumbangan sukarela dari warga yang menjalani pendidikan kejar paket. Sehingga, sekolah ini kesulitan merancang program tahunan terkait pengembangan sarana fisik.

"Untuk gaji guru saja, jujur kita dari sukarela warga,” kata dia.

Sedangkan dana dari pemerintah, PKBM Sarana Maju mengandalkan dana alokasi khusus (DAK). Oleh karenanya, Tunjung merasa tak adil bila sekolah swasta dianak tirikan. Terlebih untuk sekolah swasta yang berperan mengadakan pendidikan bagi kalangan masyarakat kelas bawah—yang tak terjangkau negara.

“Apa yang kami lakukan salah satunya untuk membantu pemerintah, kok malah tidak dibantu,” tuturnya.

Staf Deputi IV untuk Urusan Pendidikan Adat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman), Marolop Manalu juga khawatir jika tak ada dukungan pemerintah terhadap pendidikan berbasis masyarakat adat. Ia menilai, hal itu justru membuat sekolah adat makin terdiskriminasi.

Berdasarkan catatan Aman, saat ini ada 82 sekolah komunitas adat di seluruh Indonesia. Mayoritas menyelenggarakan pendidikan informal.

"Tentunya berbeda jauh dengan sekolah swasta dan negeri yang ada di masyarakat urban," kata Marolop, Senin (21/3).

Marolop mengatakan, sekolah adat dibuat sebagai wadah melestarikan ilmu pengetahuan lokal. Sekolah ini bertujuan mengajar generasi masyarakat adat selanjutnya, agar mampu mengelola lingkungan adatnya secara berkelanjutan.

Menurutnya, pemerintah perlu bertanggung jawab terhadap kelangsungan sekolah adat. Sebab, menjaga eksistensi sekolah adat sama dengan menjaga kekayaan budaya Nusantara.

“Saya mau tekankan, pendidikan adat itu lokasi ruang belajarnya di wilayah adat yang sekarang hancur karena ekstraksi sumber daya alam,” kata dia.

“Kalau sampai saat ini kondisi itu masih berjalan terus, maka pendidikan akan sangat susah dijalankan.”

Marolop memandang, pemerintah tak perlu muluk-muluk memberi bantuan berupa dana operasional sekolah. Keberpihakan cukup diwujudkan dengan menjaga lingkungan masyarakat adat dan menghormati kurikulum sekolah adat.

"Karena masih banyak yang mempermasalahkan kurikulum masyarakat adat, kadang-kadang ditanya soal izinnya,” ujarnya.

“Padahal mereka enggak ngerti saja soal seluk-beluk sekolah adat.”

Menjamin dukungan pada sekolah swasta

 Ilustrasi anak sekolah di sebuah desa. Foto Pixabay.

Doni Koesoema berpendapat, RUU Sisdiknas perlu memberikan dukungan pada sekolah swasta. Pasalnya, negara belum mampu menampung semua peserta didik di sekolah negeri.

"Di jenjang SMP dan SMA, ada 70% ke atas dikelola swasta. SMK malah 80% dikelola swasta,” tutur penulis buku Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (2007) itu.

Menurut dia, jika tak ada norma dan peranan sekolah swasta, maka tak ada pula rujukan bagaimana sekolah swasta itu mesti ditata, diatur, dan diberi peran. Ia menyarankan, di dalam RUU Sisdiknas perlu ada pasal-pasal yang memberikan perlindungan dan dukungan terhadap sekolah swasta dan sekolah berbasis masyarakat.

"Dalam pasal-pasal, harus ada pengakuan bahwa sekolah swasta adalah mitra pemerintah,” ujarnya.

"Pengakuan ini diwujudkan dalam bentuk kewajiban pemerintah membina, mendukung, dan mengembangkan sekolah swasta.”

Lalu, katanya, pemerintah perlu menghargai kekhasan sekolah swasta dalam mengelola pendidikan, sebagai bentuk penghargaan pada kebhinekaan. Ia menerangkan, tak semua sekolah swasta merupakan institusi pendidikan mewah dan berbiaya mahal. Banyak pula sekolah swasta yang punya peran vital menyelenggarakan pendidikan di tempat yang tak terjangkau pemerintah.

"Sampai sekarang mereka hadir untuk melayani anak Indonesia di daerah terpencil dan tidak ditampung sekolah negeri,” katanya.

“Bahkan banyak melayani anak orang miskin.”

Ia melihat, banyak sekolah tersebut memiliki kualitas dan pengelolaan yang kurang baik lantaran tak ada dukungan pemerintah. Imbasnya, banyak sekolah yang tutup.

“Hal ini tentu sangat disayangkan,” ujar Doni.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian menyatakan, bakal menjamin dukungan terhadap sekolah swasta di RUU Sisdiknas, kalau nanti sudah dalam tahap penyusunan dan pembahasan di parlemen.

"RUU (Sisdiknas) semestinya mengakomodasi sekolah swasta karena pemerintah tidak mungkin melakukan segala hal dan mengabaikan peran masyarakat," kata Hetifah saat dihubungi, Selasa (22/3).

Ia pun segera meminta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyampaikan secara utuh draf poin perubahan RUU Sisdiknas ke DPR. Tujuannya, agar publik memahami sepenuhnya soal perubahan itu.

“Dan menghindari spekulasi serta mispersepsi," kata Hetifah.

Menanggapi persoalan ini, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek, Anindito Aditomo, membantah bila RUU Sisdiknas yang tengah dirancang mengabaikan kewajiban pemerintah dalam mendukung sekolah swasta.

"Mungkin persepsi (mengabaikan sekolah swasta) tersebut didasarkan pada pembacaan parsial dari RUU yang memang dalam proses drafting ini," kata Anindito, yang akrab disapa Nino, Selasa (22/3).

Lebih lanjut, Nino mengatakan, prinsipnya peran sekolah swasta tak ada yang berubah dari aturan UU Sisdiknas yang masih berlaku. Bahkan, dukungan pemerintah justru diperluas.

"Melalui usulan wajib belajar 12 tahun, di mana pemerintah wajib membiayai sekolah swasta maupun negeri," kata Nino.

Nino meminta publik bersabar menunggu draf RUU Sisdiknas. Menurutnya, saat ini Kemendikbudristek tengah merancang poin-poin perubahan dalam RUU tersebut.

"Prosesnya masih panjang sekali,” ucap Nino. “Draf akan dibuka ke publik juga nanti, akan ada waktunya.”

Berita Lainnya
×
tekid