Pemerintah membuka peluang merevisi Undang-Undang Nomor Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas). Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian mengatakan pemerintah menjajakki kemungkinan merevisi UU Ormas lantaran saat ini banyak muncul ormas bermasalah.
Salah satu aspek yang bakal dievaluasi adalah terkait mekanisme pengawasan ormas, terutama menyoal transparansi keuangan. Tito menilai ketidakjelasan alur dan penggunaan dana di ormas bisa menjadi celah penyalahgunaan kekuasaan di tingkat akar rumput.
"Kita lihat banyak sekali peristiwa ormas yang kebablasan. Mungkin perlu ada mekanisme pengawasan yang ketat, di antaranya, mungkin masalah keuangan, audit keuangan," kata Tito kepada wartawan di Jakarta, Jumat (25/4) lalu.
Beberapa hari lalu, polisi menangkap pria berinisial MS yang mengaku anggota Gerakan Indonesia Raya Bersatu (GRIB) Jaya. MS dan sejumlah rekannya kini ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penganiayaan dan pembakaran mobil polisi di Harjamukti, Depok, Jawa Barat.
Namun, Sekjen GRIB Jaya Zulfikar membantah MS merupakan salah satu anggotanya. Menurut dia, MS tak terdaftar dalam pangkalan data keanggotaan GRIB Jaya. Ia menegaskan GRIB Jaya tak akan memberikan bantuan untuk MS dan oknum GRIB Jaya lainnya yang terbukti melakukan kejahatan.
Sebelumnya, kasus-kasus vandalisme oleh oknum ormas juga terungkap di berbagai daerah. Jelang Hari Raya Idul Fitri, sejumlah ormas bahkan dilaporkan memaksa meminta tunjangan hari raya (THR) kepada perusahaan dan institusi pemerintahan.
Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Asep Suryana pesimistis revisi UU Ormas bakal mampu memagari perilaku anggota ormas yang menyimpang. Apalagi, ada ormas-ormas yang memang sengaja dipelihara oleh penguasa, baik di pusat maupun di daerah.
"Kenyataannya, negara bisa tidak berhenti membiarkan dan memelihara ormas untuk kepentingan menekan lawan politik. Secara sosial, ormas itu memang identik dengan FBR (Forum Betawi Rempug), Pemuda Pancasila. Ormas lebih identik pada sekelompok orang yang menggunakan kekerasan sebagai mata pencarian," kata Asep kepada Alinea.id, Minggu (27/4).
Menurut Asep, tak semua ormas bermasalah. Ada pula ormas yang berperan melengkapi fungsi negara di bidang pendidikan, sosial dan kemasyarakatan. Ia mencontohkan eksistensi ormas agama, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Di sisi lain, ada pula rupa ormas yang seolah bergerak di bidang sosial, tapi rutin menggunakan cara-cara kekerasan. "Kalau ormas sebagai subkultur kekerasan dalam rangka mendapatkan mata pencarian sebetulnya persoalannya itu bukan di transparansi dana, tapi pada perilaku," jelas Asep.
Untuk mengubah perilaku ormas yang menyimpang, Asep mengusulkan sejumlah cara. Pertama, memberikan akses pendidikan seluas-luasnya kepada masyarakat. Kedua, pemerintah harus berhenti memelihara ormas untuk kepentingan politik.
"Dua itu aja sebenarnya yang terpenting. Dengan pendidikan, orang perlahan akan menghindari cara-cara kekerasan. Kedua, pemerintah berhenti mengendalikan ormas ini untuk kepentingan menekan lawan politik," kata Asep.
Sosiolog dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Tantan Hermansah mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam "mengutak-atik" UU Ormas. Menurut dia, eksistensi ormas diakui oleh konstitusi sebagai bagian dari kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat.
"Tetapi, pemerintah jangan mudah mengabulkan berdirinya sebuah ormas tanpa akuntabilitas yang jelas. Misalnya, mulai dari syarat modal yang harus dimiliki. Sebagai bagian dari masyarakat, ormas jangan sampai jadi ladang baru para pencari kerja dan pengangguran," kata Tantan kepada Alinea.id.
Selain memperketat persyaratan pendirian ormas, menurut Tantan, pemerintah juga harus merumuskan sanksi tegas bagi ormas-ormas yang terbukti melanggar aturan dan terlibat kriminalitas. Apalagi, saat ini banyak oknum ormas yang berperilaku layaknya preman.
"Dari perspektif sosiologis, memang kehadiran ormas itu sangat penting. Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa ada ormas keagamaan yang justru berkontribusi sangat besar dalam kehidupan sosial-politik di Indonesia," kata Tantan.