close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Speaker Korea Selatan di perbatasan. Foto: AP file
icon caption
Speaker Korea Selatan di perbatasan. Foto: AP file
Peristiwa
Rabu, 11 Juni 2025 17:32

Korea Selatan dan speaker pengganggu tetangga

Segalanya dimulai pada tahun 1963, ketika Korea Selatan pertama kali memasang speaker di sepanjang zona demiliterisasi (DMZ).
swipe

Militer Korea Selatan mematikan pengeras suara yang menyiarkan propaganda anti-Korea Utara di sepanjang perbatasan antar-Korea. Pengumuman itu disampaikan Seoul, Rabu (11/6). Ini bukan hal baru. Selama ini, beberapa kali speaker itu dihidup-matikan, sesuai dengan intensitas ketegangan kedua negara itu. 

Di perbatasan Korea Selatan dan Korea Utara, sejarah panjang pengeras suara—yang menyuarakan propaganda lintas batas—menjadi bagian dari dinamika panas-dingin hubungan dua Korea selama puluhan tahun terakhir. Apa yang sekilas tampak seperti siaran biasa, sesungguhnya adalah alat perang psikologis yang kuat, dan penggunaannya mencerminkan naik turunnya tensi di Semenanjung Korea.

Segalanya dimulai pada tahun 1963, ketika Korea Selatan pertama kali memasang speaker di sepanjang zona demiliterisasi (DMZ). Di tengah ketegangan pasca-Perang Korea, speaker ini digunakan untuk menyebarkan informasi tentang dunia luar, mengkritik rezim Pyongyang, dan menyuarakan lagu-lagu Korea Selatan. Salah satu senjata paling tak terlihat dalam perang informasi ini adalah musik K-pop yang memikat, yang oleh Seoul dianggap mampu menggugah rasa ingin tahu sekaligus membangkitkan keresahan di kalangan tentara atau warga Korea Utara yang mungkin mendengarnya.

Speaker tersebut terus aktif selama beberapa dekade, hingga akhirnya dimatikan pada tahun 2004 sebagai bagian dari upaya rekonsiliasi antar-Korea. Namun, kedamaian itu tidak bertahan lama. Pada tahun 2015, ketika dua tentara Korea Selatan terluka akibat ranjau yang dipasang oleh Korea Utara di DMZ, Seoul kembali menghidupkan siaran propagandanya. Keputusan ini sekaligus menjadi sinyal bahwa setiap tindakan provokatif akan dibalas dengan perang informasi. Tak lama kemudian, pada Januari 2016, siaran kembali menggema menyusul uji coba nuklir Korea Utara yang menuai kecaman dunia internasional.

Namun suasana mulai berubah pada 2018. Setelah pertemuan bersejarah antara Presiden Korea Selatan Moon Jae-in dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un, keduanya sepakat untuk menonaktifkan pengeras suara sebagai simbol niat baik. Mei 2018, seluruh perangkat speaker dibongkar dari perbatasan, membawa secercah harapan akan babak baru perdamaian.

Sayangnya, ketegangan kembali mencuat pada 2024. Pada 28 Mei tahun itu, Korea Utara mengirimkan ribuan balon yang membawa sampah dan kotoran ke wilayah Korea Selatan, sebagai bentuk protes terhadap selebaran anti-Pyongyang yang diluncurkan oleh aktivis Korea Selatan. Aksi ini menuai kemarahan di Seoul. Sebagai balasan, pada 9 Juni 2024, Korea Selatan kembali memasang pengeras suara dan memulai siaran propaganda, kali ini dengan siaran K-pop, berita, serta pesan anti-rezim Kim Jong-un yang disiarkan sepanjang hari.

Respons Korea Utara tidak lama berselang. Mereka ikut memasang pengeras suara di sisi utara perbatasan untuk menyaingi siaran dari Selatan, menciptakan kembali “perang speaker” yang menggema di lanskap sunyi DMZ. Kedua belah pihak terjebak dalam duel suara yang simbolis, namun menyimpan potensi bahaya besar jika dibiarkan terus memburuk.

Hingga akhirnya, pada 11 Juni 2025 ini, tepat satu tahun setelah eskalasi dimulai, pemerintahan baru di Seoul yang dipimpin Presiden Lee Jae-myung memutuskan untuk menangguhkan siaran tersebut. 

Kementerian Pertahanan Korea Selatan mengatakan bahwa langkah tersebut merupakan bagian dari upaya untuk "memulihkan kepercayaan dalam hubungan antar-Korea dan mendorong perdamaian di Semenanjung Korea dengan membuka kembali jalur dialog antar-Korea yang sempat membeku. 

Yang jelas, penangguhan ini menjadi sinyal bahwa meskipun alat propaganda dapat diaktifkan kembali kapan saja, harapan terhadap perdamaian masih menjadi bagian dari strategi diplomatik Korea Selatan.

Pengeras suara di perbatasan mungkin tampak sederhana, namun keberadaannya mencerminkan dinamika hubungan dua negara yang secara teknis masih dalam kondisi perang. Bukan hanya sekadar alat penyebar informasi, melainkan simbol dari ketegangan, tekad, dan kadang—kerinduan terhadap normalisasi.(arabnews)

img
Fitra Iskandar
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan