close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menjadi pembicara dalam sebuah seminar di Gedung CSIS, Jakarta, Oktober 2022. /Foto dok. Kemenko Perekonomian
icon caption
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menjadi pembicara dalam sebuah seminar di Gedung CSIS, Jakarta, Oktober 2022. /Foto dok. Kemenko Perekonomian
Peristiwa
Minggu, 06 Juli 2025 16:02

Prasasti dan krisis lembaga pemikir di Indonesia

Pada 2020, tercatat baru ada 37 lembaga pemikir yang beroperasi di Indonesia.
swipe

Lembaga pemikir (think tank) Prasasti Center for Policy Studies (PCPS) resmi diluncurkan di Jakarta, Senin (30/7) lalu. Meski digagas oleh elite Partai Gerindra, Prasast mengklaim bakal tetap kritis menyikapi kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap keliru atau merugikan rakyat. 

”Kalau kita lihat pemerintah bersalah atau keliru, ya, kita harus terus terang. Kalau kita berpikir kebijakan pemerintah itu salah, kita harus berani sampaikan,” kata pengusaha sekaligus inisiator Prasasti, Hashim Djojohadikusumo, saat memberikan sambutan dalam peresmian lembaga itu. 

Hashim adalah adik dari Presiden Prabowo Subianto. Di Gerindra, Hashim menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra. Di pemerintahan, Hashim saat ini menjabat sebagai Ketua Satuan Tugas Perumahan.
 
Sejumlah akademisi, pengusaha, dan pakar telah bergabung jadi anggota Prasasti, semisal pengusaha Sulistiyanto dan Ellyus Achiruddin, eks Ketua Mahkaham Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie, dan ekonom Soedradjad Djiwandono.

Meskipun digagas oleh elite-elite di lingkaran kekuasaan, peneliti Lab45 Jaleswari Pramodhawardani mengatakan kehadiran Prasasti sebagai salah satu lembaga pemikir baru di Indonesia patut diapresiasi. Pasalnya, Indonesia masih butuh banyak lembaga think tank

"Sedikitnya think tank di Indonesia bukanlah sekadar soal statistik, melainkan simtom (gejala penyakit) dari ekosistem pengetahuan kita," kata Jaleswari kepada Alinea.id, Sabtu (5/7).

Pada 2020, tercatat hanya baru ada 37 think tank di Indonesia. Jika dibandingkan, Indonesia kalah jauh dengan Amerika Serikat yang punya 2.203 lembaga pemikir dan Tiongkok  dengan 1.413 think tank. Pada level Asia Tenggara, Indonesia juga kalah dengan VIetnam yang 
"memproduksi" 180 think tank.  

Sebelum Prasasti, sejumlah lembaga think tank yang sudah beroperasi cukup lama di Indonesia, semisal Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), Center for Strategic and International Studies (CSIS), Habibie Center, Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), dan Indonesian Corruption Watch (ICW). 

Menurut Jaleswari, ada dua akar persoalan yang membuat jumlah lembaga think tank di Indonesia sedikit. Pertama, warisan rezim Orde Baru selama 30 tahun masih berakar kuat dan telah secara sistematis menjinakkan pemikiran kritis. Ketika itu, rezim kekuasan lebih butuh teknokrat, ketimbang intelektual yang gelisah.

Kedua, patologi modal. Kapitalisme di Indonesia, kata Jaleswari, lahir dari patronase politik. Karena itu, para pemodal besar belum memiliki tradisi filantropi untuk mendanai gagasan jangka panjang. Di sisi lain, negara lebih mengandalkan konsultan politik atau lembaga survei untuk hasil pragmatis dan instan. 

"Bukan mendanai lembaga yang potensial mengkritik mereka. Ini bukan soal kurang percaya, tapi soal watak modal itu sendiri yang berkelindan dengan kekuasaan," kata Jaleswari. 

Saat ini, menurut Jaleswari, hasil riset think tank kerap tak dijadikan pijakan dalam membuat kebijakan. Sebab, kombinasi nalar kekuasaan dan nalar kapital membuat kebijakan lebih kental berbasis kepentingan politik ketimbang berbasis riset atau bukti empiris.

"Fusi antara nalar kekuasaan dan nalar kapital—bukan sekadar ganjalan besar, ia adalah sistem operasi dari mesin kebijakan kita saat ini. Di hadapan fusi ini, nalar ilmiah (scientific reasoning) yang menjadi basis riset think tank seringkali menjadi tidak relevan, bahkan dianggap sebagai sebuah gangguan," kata Jaleswari. 

Menurut Jaleswari, skema untuk menghidupkan think tank bisa saja dilakukan melalui intervensi negara dengan bantuan pendanaan. Namun , pendanaan dari negara bisa berisiko menjadikan think tank sebagai alat legitimasi kekuasaan atau sekadar perpanjangan tangan birokrasi. 

"Nantinya, lembaga think tank kehilangan independensi dan taji kritiknya. Prinsip utamanya adalah otonomi. Idealnya, (lembaga think-tank) dijamin oleh sumber dana yang beragam dan tidak mengikat," kata Jaleswari. 

Kooptasi negara terhadap lembaga pemikir, menurut Jaleswari, potensial menimbulkan dampak negatif. Salah satunya ialah terjadi hegemoni nalar tunggal, yakni nalar teknokratik dari negara dan nalar profit dari pasar menjadi satu-satunya suara.

"Tanpa ada penyeimbang dari perspektif sosial, keadilan, atau kemanusiaan. Lalu, defisit Imajinasi masa depan. Inilah dampak terbesarnya. Sebagai bangsa, kita terjebak dalam siklus politik jangka pendek dan kehilangan kemampuan untuk membayangkan dan merancang masa depan yang berbeda. Kita miskin alternatif saat menghadapi krisis," kata Jaleswari.

Pengusaha Hashim Djojohadikusumo (tengah) berfoto bersama di sela-sela peluncuran lembaga pemikir Prasasti Center for Policy Studies (PCPS) resmi diluncurkan di Jakarta, Senin (30/7). /Foto Instagram @prasasticenter

Dominasi kepentingan politik 

Peneliti senior The SMERU Research Institute Luhur Bima menilai, ada banyak faktor yang membuat lembaga think tank minim di Indonesia. Salah satunya adalah imbas dari posisi Indonesia sebagai middle income country. Banyak lembaga donor lebih berminat mendanai lembaga think tank di negara miskin. 

Minimnya jumlah think tank di Indonesia juga dipengaruhi ekosistem riset yang belum mendukung. Sebab, model perumusan kebijakan di Indonesia lebih kental aspek politik ketimbang aspek teknokrasi dalam proses perumusan kebijakan.  

"Idealnya, think tank adalah lembaga yang merumuskan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah berdasarkan analisis berbasis bukti empiris. Namun kita tahu bahwa aspek politik lebih mendominasi, dibanding aspek teknokrasi dalam proses perumusan kebijakan," kata Luhur kepada Alinea.id, Sabtu (5/7).

Menurut Luhur, think tank sebenarnya bisa didanai melalui bantuan filantropi. Namun,  filantropi belum terlalu menaruh perhatian untuk mendukung think tank secara lebih besar. Ia mengkritik pembiayaan melalui negara yang potensial melemahkan independensi lembaga pemikir dalam memproduksi kajian.  

Di lain sisi, hasil riset dari lembaga think tank oleh negara juga kerap kali hanya sebatas formalitas. Butuh peningkatan kesadaran dari para pembuat kebijakan untuk memahami hasil riset lembaga pemikir. "Dalam membahas kebijakan, tidak semata kepentingan politik saja," kata Luhur. 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan