Meskipun baru berusia dua tahun, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) kembali direncanakan untuk direvisi. Masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025, DPR sudah mulai membahas revisi UU tersebut.
Dalam rapat tertutup sekitar dua pekan lalu, Badan Keahlian DPR (BKD) menyodorkan draf RUU ASN kepada Komisi II DPR. Namun, pasal-pasal dalam draf RUU itu diprotes keras anggota Komisi II, termasuk oleh Wakil Ketua Komisi II Aria Bima dan sejumlah politikus Golkar.
Salah satu pasal yang dipersoalkan ialah terkait wewenang pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat pimpinan tinggi pratama di pusat dan daerah. Semula kewenangan dari menteri atau kepala lembaga dan kepala daerah, kini wewenang itu dapat diambil alih oleh pemerintah pusat.
"Presiden dapat mendelegasikan kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat pimpinan tinggi pratama kepada menteri,” bunyi pasal Pasal 29 ayat 2 dalam draf revisi UU ASN.
Jabatan pimpinan tinggi pratama setara pejabat eselon II. Di tingkat daerah, jabatan pimpinan tinggi pratama, misalnya, melekat pada jabatan sekretaris daerah, kepala dinas, kepala badan, serta asisten sekretaris daerah.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N. Suparman menilai revisi UU ASN--terutama terkait pengangkatan pejabat pratama--mengangkangi semangat otonomi daerah. Dalam skema otonomi, manajemen ASN sepenuhnya dipegang pemerintah daerah.
"Ketika nanti mutasi, promosi, dan demosi itu disentralisasi, tentu akan mengganggu efektivitas dan efisiensi mesin birokasi serta berdampak pada pelayanan publik di daerah. Perlu dipertimbangkan agar tetap kembali ke undang-undang yang disahkan kemarin saja," kata Herman kepada Alinea.id, Kamis (15/5).
Dalih pemindahan kewenangan demi mencegah politisasi ASN setiap gelaran pemilu, kata Herman, sama sekali tak logis. Pasalnya, tak ada jaminan pemerintah pusat bisa menjaga ASN bersih dari pengaruh politik.
"Kita belajar saja dari kasus PJ (pelaksana jabatan) kepala daerah selama pilpres itu. Politisasi di birokrasi daerah itu sebetulnya terjadi karena memang ada beberapa instrumen yang tidak diperkuat, semisal penerapan meritokrasi. Apakah benar- benar konsisten dijalankan dalam rekrutmen atau seleksi. Kedua, juga soal pengawasan netralitas itu sendiri," kata Herman.
Herman menilai manajemen ASN yang dikendalikan pemerintah pusat akan jauh lebih rentan dipolitisasi, khususnya sebagai mesin pemenangan bagi presiden petahana. Di sisi lain, ASN di daerah akan setengah hati membantu kerja kepala daerah karena tidak ada sanksi yang bisa diberikan oleh kepala daerah terhadap ASN yang nakal.
"Chemistry (relasi) antara kepala daerah dengan ASN itu pasti sulit dibangun. Akan berjarak karena kepala daerahnya tidak punya kewenangan untuk mutasi, demosi. Itu pasti sangat mengganggu," kata Herman.
Lebih jauh, Herman berpendapat pemerintah perlu mengkaji ulang penghapusan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Komisi itu bisa diberi tugas untuk membentengi ASN dari politisasi. "Sayangnya, KASN telah dihapuskan. Selain itu, sanksi juga seringkali tidak diterapkan," kata Herman.
Dosen ilmu politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Bakir Ihsan persoalan utama manajemen ASN di daerah terkait kultur kerja. ASN kerap mengutamakan kepuasan kepala daerah ketimbang melayani publik.
"Akar masalahnya terletak pada kultur birokrat kita yang lebih melayani ke atas ketimbang ke bawah. Jangan muncul budaya kerja asal bapak senang," kata Bakir kepada Alinea.id.
Namun, Bakir tidak sepakat bila manajemen ASN di daerah ditarik menjadi kewenangan pemerintah pusat. Sebab, kewenangan mengelola ASN merupakan salah satu amanat reformasi terkait aspek otonomi daerah.
"Jadi, ini bukan perkara ditarik ke pusat atau ke daerah. Tetapi, bagaimana memaksimalkan kinerjanya itu pada masyarakat. Idealnya harus selaras dengan otonomi daerah. Jadi, dibiarkan tumbuh sesuai dengan problem yang ada di masing- masing daerah. Tapi, sekali lagi harus dikontrol secara kuat," kata Bakir.