Baru berusia dua tahun, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) bakal kembali direvisi. November lalu, revisi UU kontroversial itu disepakati masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.
Namun, pembahasannya tak mulus. Menurut laporan Kompas.id, sejumlah anggota Komisi II murka saat disodorkan draf revisi UU tersebut oleh Badan Keahlian DPR (BKD) dalam rapat tertutup di DPR RI, Senayan, Jakarta, pekan lalu.
Mereka juga mempertanyakan kenapa UU ASN kembali direvisi. Pasalnya, tak ada pembicaraan awal untuk memasukan revisi UU ASN ke dalam Prolegnas 2025. Ketika diusulkan masuk Prolegnas, naskah akademik revisi UU itu juga belum ada.
"BKD juga kaget melihat respons pimpinan dan anggota. Tetapi, kami marah karena memang baru mengetahui isi draf RUU ASN secara gamblang, ya saat (rapat) itu,” ujar salah satu anggota Komisi II DPR.
Apa saja pasal yang dipersoalkan?
Salah satu pasal yang dipersoalkan ialah terkait wewenang pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat pimpinan tinggi pratama di pusat dan daerah. Semula kewenangan dari menteri atau kepala lembaga dan kepala daerah, kini wewenang itu dapat diambil alih oleh pemerintah pusat.
Jabatan pimpinan tinggi pratam setara pejabat eselon II. Di tingkat daerah, jabatan pimpinan tinggi pratama, misalnya, melekat pada jabatan sekretaris daerah, kepala dinas, kepala badan, serta asisten sekretaris daerah.
"Presiden dapat mendelegasikan kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat pimpinan tinggi pratama kepada menteri,” bunyi pasal Pasal 29 ayat 2 dalam draf revisi UU ASN.
Selain itu, draf RUU juga memuat rencana melebur Lembaga Administrasi Negara (LAN) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) ke ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB). BKD beralasan peleburan untuk penyederhanaan birokrasi.
Padahal, pembagian tugas untuk manajemen ASN sudah tertuang di UU sebelumnya. KemenPAN-RB bertanggung jawab pada perumusan kebijakan strategis dan pengendalian ASN, sedangkan BKN menjalankan fungsi manjaerial ASN. Adapun LAN fokus pada pengembangan kapasitas ASN.
Bagaimana sikap parpol di DPR?
Rencana revisi UU ASN diprotes keras sejumlah legislator di DPR. Salah satunya ialah Wakil Ketua Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin. Politikus Golkar itu menyebut pihaknya menolak segala bentuk upaya sentralisasi ASN yang membuat presiden punya kewenangan mengatur birokrasi di daerah.
"Itu tak ubahnya kita ingin melakukan resentralisasi atau sentralisasi begitu. Sementara UUD kita, UUD 1945 tegas menyatakan bahwa negara kita adalah negara kesatuan yang didesentralisasikan di Pasal 18 atau Pasal 2," kata Zulfikar dalam sebuah diskusi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (22/4) lalu.
Komisi II, kata Zulfikar, meminta BKD mendengar aspirasi publik dan taat pada aturan konstitusi dalam membahas RUU ASN. "Kami meminta agar Badan Keahlian melakukan kajian, melakukan public hearing dengan seluruh stakeholder," imbuh dia.
Argumentasi serupa juga pernah diungkap Wakil Ketua Komisi II DPR RI Aria Bima. Menurut politikus PDI-Perjuangan itu, pasal-pasal yang rencananya direvisi dalam RUU ASN potensial melemahkan semangat otonomi daerah.
"Enggak bisa ekstrem kemudian eselon tingkat I, eselon II di dinas diambil, enggak bisa. Nanti semangat otonomi daerah dan desentralisasi menjadi resentralisasi lagi. Ini kurang tepat,” kata Aria kepada wartawan di Jakarta, April lalu.
Ada kepentingan penguasa di revisi UU ASN?
Dalam sebuah opini yang tayang di Detik, konsultan politik di Politika Research & Consulting (PRC) Nurul Fatta mengatakan perubahan-perubahan di draf revisi UU ASN kental kepentingan penguasa. Ia khawatir urusan mutasi dan promosi nantinya dijalankan sebagai alat kontrol baru dari pemerintah pusat.
"Sentralisasi mutasi hanya masuk akal jika digunakan untuk memutus siklus balas dendam kepala daerah terhadap ASN," tulis Nurul.
Birokrasi, kata dia, semestinya didesain sebagai kekuatan otonom, bukan kaki tangan partai. Para birokrat harusnya jadi aktor profesional yang mendistribusikan pelayanan berdasarkan kebutuhan warga-bukan loyalitas politik kekuasaan.
Jika komitmen itu tak bisa ditegakkan, ia mengusulkan agar pemerintah dan elite-elite politik berhenti pura-pura. "Sekalian saja ubah pasal netralitas ASN. Izinkan ASN terlibat politik secara terbuka-asal transparan dan akuntabel. Gimana? Setidaknya, kita tidak hidup dalam kepura-puraan bahwa ASN itu steril dari politik, padahal praktiknya tidak demikian," kata dia.