sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Di balik fenomena tingginya swing voters dalam pemilu

Swing voters adalah seorang pemilih yang bukan pendukung salah satu calon, lebih memilih berdasar rasionalitas.

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Minggu, 06 Agst 2023 06:12 WIB
Di balik fenomena tingginya <i>swing voters</i> dalam pemilu

Andre Setyadi, 28 tahun, tak bisa menyampaikan banyak hal soal Pemilu 2024. Sebab, ia mengaku, belum menentukan pilihan.

“Meskipun sudah ada yang digadang-gadang (jadi capres), seperti Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan Prabowo Subianto, tapi kan belum diajukan secara resmi (ke KPU),” kata pemuda yang bekerja sebagai copywriter itu kepada Alinea.id, Senin (31/7).

Semua bakal capres itu belum meyakinkan dirinya. Ia mengatakan, akan terlebih dahulu mempelajari visi-misi tiga kandidat. Walau ia mengaku tak sepenuhnya percaya dengan visi-misi mereka.

Ia juga belum memberi dukungan kepada partai politik karena merasa tak dekat dengan partai mana pun. “Yang pasti, partai-partai ini sangat dekat di sekeliling saya karena sudah banyak baliho, bendera partai, cuma secara personal mereka enggak ada,” tutur dia.

Tingginya swing voters

Andre merupakan salah seorang calon pemilih yang masuk kategori swing voters—seorang pemilih yang bukan pendukung salah satu calon, lebih memilih berdasar rasionalitas. Para pemilih ini bisa berubah pilihan, sesuai dengan gagasan tertentu.

Di beberapa survei, jumlah swing voters cukup tinggi. Dalam survei Litbang Kompas yang dilakukan 29 April-10 Mei 2023 dengan 1.200 responden misalnya, rata-rata kepastian pilihan capres di semua generasi adalah 51,8%. Sebanyak 43,7% belum pasti dan 4,5% tidak tahu.

Petugas KPPS, saksi dan pemilih berada di lokasi TPS yang logistik pemilunya belum tersedia di TPS 9, Desa Tanjung Gusta, Deli Serdang, Sumatera Utara, Rabu (17/4/2019)./Foto Antara/Irsan Mulyadi

Sponsored

Kelompok generasi Z (17-26 tahun) yang sudah pasti pilihan capresnya 51,1%, belum pasti 43,6%, dan tidak tahu 5,3%. Generasi Y atau milenial (27-41 tahun) yang sudah pasti pilihan capresnya 50,3%, belum pasti 45,9%, dan tidak tahu 3,8%.

Lalu, generasi X (42-55 tahun) yang sudah pasti pilihan capresnya 54,8%, belum pasti 40,2%, dan tidak tahu 5,0%. Sedangkan baby boomers (56-76 tahun) yang sudah pasti pilihan capresnya 49,4%, belum pasti 46,8%, dan tidak tahu 3,8%.

Litbang Kompas turut pula menyampaikan potensi perubahan pilihan partai politik di parlemen. Potensi strong voters—pemilih garis keras—PKB 46,3%, Partai Gerindra 49%, PDI-P 56,2%, Partai Golkar 34,5%, Partai NasDem 37,95, PKS 37,8%, PAN 42,1%, Partai Demokrat 42%, dan PPP 65,5%. Sementara swing voters PKB 53,7%, Partai Gerindra 51%, PDI-P 43,8%, Partai Golkar 65,5%, Partai NasDem 62,1%, PKS 62,2%, PAN 57,9%, Partai Demokrat 58%, dan PPP 34,5%.

Sedangkan lembaga survel Poltracking Indonesia periode 9-15 April 2023 mencatat, 66,7% responden masih mungkin mengubah pilihan, 17,0% tidak akan mengubah pilihan, dan 16,3% responden tidak tahu/tidak menjawab. Adapun survel Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan, dari 2019-2023 rata-rata pemilih loyal di Indonesia 60,96% dan swing voters 39,04%.

Analis politik sekaligus pendiri Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, swing voters bisa terjadi karena undecided voter, yang notabene masih ragu atau belum menentukan pilihan.

Selain itu, identifikasi partai (party identification/party ID) di Indonesia lemah. Party ID adalah tingkat kedekatan masyarakat dengan partai politik, yang diyakininya untuk dipilih dalam pemilu.

Di samping itu, Pangi mengatakan, swing voters tinggi karena masyarakat cenderung menunggu waktu yang tepat sebelum menentukan pilihan. “Bisa menjelang pemilu, bisa menunggu visi-misi dulu, bisa juga menunggu masa kampanye,” ujarnya, Senin (31/7).

Pangi menengarai, generasi Z dan Y merupakan kelompok yang paling tinggi potensi swing voters-nya. Alasannya, dua generasi tersebut belum cukup punya pengalaman dalam pemilu. Apalagi jika pemilih muda, baru pertama kali menentukan hak pilihnya. Mereka pun cenderung memiliki potensi kekecewaan terhadap partai politik, presiden, dan anggota DPR.

“Mereka (pemilih pemula) kalau kecewa pasti pindah lagi,” ucap Pangi.

“Dan kita jangan lupa, undecided voter kita masih besar, antara 15-20%. Undecided itu kan rata-rata pemilih intelektual, bisa juga pemilih ideologis, atau dia menyembunyikan pilihannya dan menentukan di akhir.”

Terpisah, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati menjelaskan, jika melihat ke belakang, swing voters di Indonesia muncul ketika rezim Orde Baru mengeluarkan kebijakan peleburan partai-partai politik awal 1970-an, menjadi PPP, PDI, dan Golkar.

“Pemilih ini jadi enggak punya rumahnya. Kalau dulu (sebelum Orde Baru) mungkin bisa terkonsentrasi di beberapa partai, tapi (Orde Baru membuat) partai (jadi) ada tiga, sehingga massanya (partai yang terdampak fusi) jadi mengambamg,” kata dia, Senin (31/1).

Sementara itu, peneliti politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor mengatakan, persentase swing voters di lembaga-lembaga survei seiring waktu akan turun, saat sudah pasti nama capres dan cawapres, program dan agendanya, serta seperti apa kampanyenya.

Petugas KPU Tangerang Selatan menunjukan surat suara Pilpres untuk pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di Kantor KPU Tangerang Selatan, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (23/4/2019)./Foto Antara/Muhammad Iqbal

Namun, bisa jadi pemilih belum lekas menentukan pilihan seiring dengan bergeraknya partai-partai pengusung capres. Alasannya, program-program yang ditawarkan bisa saja menarik, sehingga membuat pemilih bimbang menentukan suara.

“Dan ini wajar dari yang tadinya tidak mendapatkan informasi, tahu-tahu sekarang jadi banyak informasinya,” ucap Firman, Senin (31/7).

Bagi Firman, terlalu dini untuk menyimpulkan tingginya swing voters karena pemilih di Indonesia sudah mulai rasional dan kritis. Menurutnya, untuk menilai seseorang sudah menjadi pemilih yang rasional adalah harus jelas dahulu pilihannya.

“Artinya, masa sih ada orang yang kerjanya enggak baik tetap dipilih. Saya kira itu enggak rasional untuk ukuran negara maju. Jadi, irasionalitas itu sudah ada di level partai (karena mendukung calon yang tidak bisa kerja), bukan di level rakyat,” ujarnya.

Firman mengatakan, orang belum menentukan pilihan bisa jadi karena di lingkungan tempat tinggalnya belum ada pergerakan sama sekali. “Di masyarakat bawah, faktor kolektif di lingkungan itu penting,” katanya.

Problem party ID

Salah satu tantangan untuk menekan swing voters, menurut Pangi, adalah memperkuat party ID. Jika party ID masyarakat kuat, maka dalam pemilu, pemilih akan memilih berdasarkan ideologi. Amerika Serikat, dicontohkan Pangi, termasuk negara yang kuat secara party ID. Pemilih Partai Republik di sana, tak akan berpindah memilih Partai Demokrat.

Lain lagi di Indonesia, yang pemilihnya cenderung menentukan suara berdasarkan figur ketimbang partai politik. Memilih berdasarkan figur membuat swing voters tinggi karena orang bisa kecewa terhadap tokoh idolanya.

“Tapi, kalau orang yang party ID-nya kuat, misal Jawa Tengah dan Bali, mau apa pun yang terjadi dengan PDI-P, mau ada isu korupsi, tidak puas dengan gubernurnya, mau bagaimanapun nasibnya, mereka tetap setia sama PDI-P,” ujarnya.

Menyimpulkan swing voters tinggi atau rendah, jelas Pangi, bisa juga dilihat dari hasil pemilu. “Misalnya, selalu berganti-ganti lima tahunan, artinya selera orang berubah-ubah. Jadi, setiap tahun tidak ada yang konsisten,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan menjelaskan, jumlah orang di Indonesia yang punya kedekatan secara emosional dengan partai politik sedikit. Diprediksi, sekitar 15%.

“Pemilih di Indonesia 85% mudah berpindah ke lain hati dari pemilu ke pemilu berdasarkan data ini,” ucapnya dalam diskusi yang disiarkan YouTube Moya Institute, Jumat (21/7).

Di sisi lain, Firman menerangkan, minimnya performa partai politik di masyarakat, adalah salah satu faktor yang menyebabkan party ID masih rendah. Identitas kepartaian, katanya, bisa dibangun kalau ada suatu kebutuhan yang bisa dipenuhi partai politik. Dengan begitu, orang akan merasa ada ikatan dengan partai yang dianggap mewakili aspirasinya.

Faktor lainnya karena partai-partai yang ada tak jauh berbeda secara ideologi dan visi-misinya. Kondisi ini berbeda dengan dahulu—era pemerintahan Sukarno—yang perbedaan antarpartai bisa terlihat.

“Kalau sekarang relatif hampir sama,” tuturnya.

“Hanya pada momen tertentu dia (partai) menunjukkan itu (karakter ideologi), sehingga untuk mengidentifikasikannya menjadi lebih blur dan juga mungkin saling-silang dengan partai yang lain.”

Khoirunnisa pun tak membantah, party ID Indonesia makin melemah. Becermin dari survei Indikator Politik pada 2021, hanya 6,8% dari 1.200 responden yang menyatakan dekat dengan partai politik.

“Orang Indonesia enggak punya kedekatan dengan partai politik,” katanya.

“Beda dengan negara lain, misal Amerika, yang warganya bisa dengan tegas mengatakan saya Demokrat atau Republik.”

Petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Solo menghitung jumlah kotak berisi surat suara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Kantor KPU, Solo, Jawa Tengah, Rabu (6/2/2019)./Foto Antara/Mohammad Ayudha

Senada dengan Firman, ia menduga, salah satu penyebabnya adalah ideologi partai politik di Indonesia yang mirip. Partai baru dinilai tak punya perbedaan pula dengan partai lama. Dengan demikian, publik tak bisa menyimpulkan secara tegas perbedaan di antara partai politik.

“Partai politik kita juga baru mendekat kepada masyarakat hanya pada pemilu saja, sehingga kita enggak dekat dengan partai politik. Itu juga salah satu yang membuat SV (swing voters) belum menentukan (pilihan) sampai hari ini,” tuturnya.

Kalangan muda, generasi Z dan Y, diprediksi menjadi penentu karena sekitar 53% pemilih Pemilu 2024 berasal dari dua generasi itu. Oleh karenanya, partai politik tak bisa menggunakan strategi seperti pemilu sebelumnya. Sebab, karakteristik pemilih pemilu mendatang sudah berbeda.

“Sekarang, katakan ada tiga bakal calon presiden. Nah, dari ketiga bakal calon presiden ini kan yang kita lihat di media belakangan lebih banyak soal pertemuan-pertemuan, tapi belum pernah ada, sebenarnya gagasannya apa sih?” ucap dia.

Gagasan perlu dikemukakan karena anak muda lebih ingin mendengarkan gagasan dari para kandidat ihwal isu-isu yang menjadi perhatian mereka, seperti lingkungan dan korupsi. Bila elite politik masih sibuk dengan lobi-lobi, Khoirunnisa mengatakan, bisa jadi swing voters semakin besar. Hal itu dapat berdampak pada tingkat partisipasi dalam pemilu.

Ia melanjutkan, penyelenggara pemilu dapat juga melakukan sesuatu untuk meningkatkan partisipasi. Salah satunya, bekerja secara transparan.

“Jadi, partisipasi jangan hanya dimaknai berapa banyak orang yang datang ke TPS, tapi orang yang diajak diskusi, ikut sama-sama mengawasi pemilu,” ucapnya.

Berita Lainnya
×
tekid