sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Dua bulan kampanye, Perludem: Para capres sibuk beradu pantun

Sejak dimulainya masa kampanye Pilpres pada 23 September 2018, belum ada dari masing-masing kandidat yang memaksimalkan visi dan misinya.

Robi Ardianto
Robi Ardianto Rabu, 28 Nov 2018 01:15 WIB
Dua bulan kampanye, Perludem: Para capres sibuk beradu pantun

Dalam dua bulan masa kampanye pemilihan presiden, para kandidat pasangan calon presiden dan wakil presiden baik dari nomor urut 01 maupun 02 masih terjebak beradu pantun. Tak ada program atau ide gagasan yang keluar melalui pernyataan dari kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden tersebut.

Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini. Menurutnya, sejak dimulainya masa kampanye Pilpres pada 23 September 2018, belum ada dari masing-masing kandidat yang memaksimalkan visi dan misinya. Kedua kandidat, menurut pengamatan Titi, masih fokus terhadap politik stigma.

“Politik untuk menjatuhkan lawan. Pasangan calon dan tim kampanye belum betul-betul mengangkat program dan ide gagasan yang digunakan sebagai instrumen untuk meyakinkan para pemilih,” kata Titi kepada Alinea.id di Jakarta.

Menurut Titi, kegiatan kampanye oleh masing-masing kandidat kali ini lebih banyak didominasi dengan politik saling sindir dan saling serang dengan mencari kesalahan pihak lawan. Titi pun tak melihat kedua kandidat membangun interaksi politik yang kuat, baik dengan konstituen maupun calon pemilihnya.

Sementara pengamat politik dari Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah Putra, menjelaskan sejak awal Jokowi terjebak dengan manuver lawan politiknya. Bahkan dalam menentukan pasangannya sekalipun Jokowi dibayangi opini yang merebak dari kubu Prabowo, hingga akhirnya memutuskan memilih wakil presiden dari kalangan agama.

Dalam kegiatan kampanyenya pun, kata Dedi, pernyataan-pernyataan dari Jokowi lebih banyak melakukan pembelaan atas tudingan lawan politiknya. Padahal, untuk menjawab tudingan tersebut semestinya cukup di kalangan tim pemenangan saja.

Juga dalam beberapa kesempatan, Dedi menilai, Jokowi kerap menganggap penting mengekspresikan kekesalannya terhadap hoaks. Imbasnya, hal tersebut akhirnya dibaca oleh kubu lawan bahwa Jokowi mudah dipancing secara psikologis.

“Mengikuti gerakan lawan tentu tidak menguntungkan bagi Jokowi. Ini bisa menimbulkan kesan kepanikan dan dalam peperangan psikologi politik. Juga berakibat bisa mengacaukan strategi komunikasi tim Jokowi,” ujarnya.

Sponsored

Mengantisipasi hal itu, Dedi berpendapat, Jokowi harus kembali pada posisi ketokohannya tanpa harus menanggapi komentar hal yang remeh temeh. Terlebih, tim Jokowi secara struktural cukup baik dan solid.

“Di atas kertas, setidaknya hari ini Jokowi masih diunggulkan, ia lebih potensial membangun optimisme dengan sosialisasi kinerja," ujar Dedi.

Berita Lainnya
×
tekid