sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Megawati, Pancasila, khilafah & tantangan BPIP masa kini

Polemik Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) terus bergulir, terutama terkait gaji Megawati Soekarnoputri yang mencapai Rp112 juta.

Robi Ardianto
Robi Ardianto Jumat, 01 Jun 2018 03:08 WIB
Megawati, Pancasila, khilafah & tantangan BPIP masa kini

Polemik Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) terus bergulir, terutama terkait gaji Megawati Soekarnoputri yang mencapai Rp112 juta.

Kontroversi besarnya gaji BPIP ditanggapi oleh tokoh-tokoh yang berada di dalamnya, termasuk Mahfud MD dan Zuly Qodir. BPIP menggelar konferensi pers di kantornya sekaligus memperingati hari lahir Pancasila, pada Kamis (31/5).

Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang juga menjabat sebagai anggota BPIP Zuly Qadir, menyebut membumikan ideologi Pancasila memiliki tantangan tersendiri yang dihadapi oleh bangsa ini.

Saksi ahli dari pemerintah dalam sidang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam perkara gugatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada Kementerian Hukum dan HAM, itu menyebut setidaknya ada lima tantangan yang dihadapi bangsa sehingga harapan bersatu, berbagi, dan berprestasi menjadi kenyataan. 

Pertama, tantangan historis. Simpang siurnya kelahiran serta, pemahaman Pancasila, sehingga tidak jarang menciptakan kegaduhan politik. "Antara pro dan kontra Pancasila, sekalipun sama-sama warga Indonesia," kata Zuly.

Tak dapat dipungkiri, sejumlah kelompok masyarakat ingin mendirikan Indonesia bukan berdasarkan Pancasila, tetapi Khilafah sebagai fondasi negara.

Apalagi, kata dia, sejak reformasi 1998 bergulir, mata pelajaran pendidikan Pancasila tak lagi diampu di sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Dari kenyataan itu, Unit Kerja Presiden BPIP tengah menyusun langkah otentik terkait Pancasila. Khususnya untuk kehidupan berbangsa dan bernegara, agar tidak terjadi kekeliruan sejarah.

Sponsored

Selanjutnya yang kedua, terkait inklusivitas. Kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini tengah mengalami masalah serius, terutama dalam hal ekslusivisme sosial.

"Sehingga muncul kekuatan-kekuatan yang saling berlawanan, menyalahkan, bahkan mengkafirkan karena pandangan teologi kegamaan, politik bahkan ideologi," katanya.

Ekslusivisme sosial inilah yang membuat pengakuan kepada kelompok-kelompok yang beragam menjadi tidak terakomodir dengan maksimal. "Minusnya kepercayaan antara satu dengan yang lainnya, karena yang tumbuh adalah distrust," lanjutnya.

Tantangan ketiga, yaitu kesenjangan sosial dan keadilan sosial. Pancasila sebagai dasar negara yang telah dirumuskan, memiliki keyakinan bahwa keadilan politik dan keadilan ekonomi, harus menjadi tujuan bersama bangsa Indonesia. Tidak hanya sekadar partisipasi politik warga dalam proses politik seperti Pemilu. 

Akan tetapi, sambungnya, harus ada keadilan pemerataan ekonomi warga negara. Sehingga, tidak boleh adanya penguasaan ekonomi hanya oleh segelintir orang. "Semua warga harus mendapatkan akses ekonomi dan kesejahteraan," tuturnya. 

Pesan Pancasila inilah yang masih mengawang jauh untuk direalisasikan, karena kemiskinan masih menjadi kenyataan objektif di Indonesia. Meskipun saat ini kemiskinan telah berkurang dari 27,4 juta, menjadi  17,4 juta jiwa penduduk miskin pada tahun 2017. 

Keempat, praktik-praktik keteladanan Pancasila telah ada di Nusantara sejak sebelum kemerdekaan hingga saat ini. Namun, dalam praktiknya keteladanan Pancasila terabaikan. Sebab, banyaknya persoalan yang membalut negeri ini dari berbagai kepentingannya seperti ideologi, ekonomi, keagamaan, politik, dan lain sebagainya.

"Keteladanan akhirnya tercecer dan tidak mendapatkan tempat semestinya. Inilah yang menyedihkan karena praktik-praktik keteladanan di masyarakat seakan tidak nyata adanya," tutur dia.

Tantangan terakhir, yaitu pelembagaan. Persoalan praktik keteladanan Pancasila, belum menjadi bagian dari sistem di negara ini. 

Belum terjadinya pelembagaan terhadap praktik kebajikan Pancasila mengakibatkan kebijakan yang tumpang tindih, saling menegaskan dan tidak singkron. Hal tersebut yang menyebabkan lambatnya aktualisasi praktik keteladanan Pancasila di ruang publik, di kalangan pejabat negara.

"Hal seperti ini tidak boleh terjadi lagi, antara lembaga kementrian harus saling bersatu kata, satu langkah dan satu kerja yang mendorong terjadinya praktik kebajikan Pancasila. Sehingga, nilai-nilai Pancasila berjalan dengan baik dan sistemik," ungkap Zuly. 

Mantan presiden Megawati Soekarnoputri yang juga Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) (kiri) bersama Direktur Utama PT Pos Indonesia (Persero) Gilarsi W. Setijono (kedua kiri), Ketua BPIP Yudi Latif (ketiga kiri) dan Duta Arsip Nasional sekaligus politikus PDIP Rieke Diah Pitaloka (kanan) berbincang usai menandatangani prangko edisi 73 Tahun Lahirnya Pancasila pada Peringatan tersebut di Museum Filateli, Jakarta, Kamis (31/5). (Antara Foto)

Menjawab lima tantangan 

Dalam menjawab tantangan tersebut, UKP BPIP menyusun peta jalan Pancasila sejak tahun 2017-2025. 

Pada tahun 2017-2019, UKP BPIP kembali membangun dan memupuk harapan publik, perihal pentingnya Pancasila hadir sebagai jiwa bangsa dan negara.

Kemudian, pada tahun 2020-2022, pada tahun tersebut diharapakan mampu menciptakan keteladanan Pancasila, yang bisa tersemai dan mengakar di masyarakat. 

Selanjutnya, pada tahun 2022-2024, Pancasila bisa menjadi bagian dari gerak hidup, urat nadi dan praktik berbangsa dan bernegara setiap warga negara. 

Baca: Polemik gaji Megawati di BPIP Rp112 juta
Baca: Mahfud MD Tak sepeserpun kami terima gaji BPIP

Berita Lainnya
×
tekid