sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pengamat: Gaji Dewan Pengarah BPIP terlalu besar

Pemerintah terlalu memaksakan dengan memberikan gaji besar, saat ekonomi Indonesia lemah seperti saat ini.

Robi Ardianto
Robi Ardianto Senin, 28 Mei 2018 18:16 WIB
Pengamat: Gaji Dewan Pengarah BPIP terlalu besar

Presiden Joko Widodo pada Rabu (23/5) lalu, menandatangani Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2018, tentang hak keuangan dan fasilitas lainnya, bagi pemimpin, pejabat, dan pegawai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Berdasarkan Perpres tersebut, Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP mendapatkan gaji Rp112.548.000 per bulan, anggota Dewan Pengarah yang terdiri dari delapan orang, yakni Try Sutrisno, Ahmad Syafii Maarif, Said Aqil Siradj, Ma'ruf Amin, Mahfud MD, Sudhamek, Andreas Anangguru Yewangoe, dan Wisnu Bawa Tenaya masing-masing mendapatkan Rp100.811.000 per bulan.

Lebih lanjut, Kepala BPIP yang dijabat Yudi Latif mendapatkan Rp76.500.000, Wakil Kepala Rp63.750.000, Deputi Rp51.000.000, dan Staf Khusus Rp36.500.000.

Pengamat politik Universitas Negeri Jakarta, Ubaedillah Badrun menyatakan, pemerintah terlalu memaksakan dengan memberikan gaji yang terlalu besar, dengan kondisi ekonomi saat ini. Presiden, imbuhnya, perlu mengevaluasi dan merevisi gaji tersebut agar tidak melahirkan sentimen negatif. Jika ia menolak revisi gaji ini, bisa jadi lawan politik Jokowi akan mengkapitalisasi isu BPIP sebagai bahan kampanye negatif.

"Ini merupakan penghormatan yang berlebihan dari Jokowi terhadap Megawati ataupun Dewan Pengarah BPIP lainnya," katanya.

Selain melakukan revisi, Jokowi bisa melakukan komunikasi yang baik terhadap tokoh-tokoh tersebut. Bisa juga, Jokowi memberikan argumen yang objektif kepada masyarakat.

Lebih lanjut, peneliti dan pengamat politik Universitas Telkom Dedi Kurnia Syah berpendapat, gaji besar Megawati bisa menjadi penanda kuatnya pengaruh Ketua Umum PDIP pada Presiden.

"Tentu tidak semua hal, soal gaji ini mungkin salah satunya," katanya kepada Alinea, Senin (27/5).

Sponsored

Menurutnya, konversi kinerja dengan nominal gaji, menjadi persoalan dilematis ketika dipublikasikan. Apalagi gaji besar itu tak dibarengi dengan penjelasan detail tentang ruang lingkup kerja Megawati.

"Saya melihat ini bukan persoalan nominal semata, tetapi lebih pada aspek komunikasi pemerintah yang tidak mampu menghadirkan pemakluman publik," katanya.

Mungkin saja, imbuhnya, gaji tersebut memang sudah layak dan pas, tetapi ketika tidak disertai penjelasan kinerja yang jelas, maka hanya akan menimbulkan polemik.

Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno berpendapat, persoalan gaji merupakan otoritas dari seorang presiden. Menjadi problematik, ketika negara tengah melakukan penghematan. 

Instansi pemerintahan, kritiknya, dipotong anggarannya, hanya untuk penghematan agar bisa terus melakukan pemerataan pembangunan infrastruktur dan membenahi faktor ekonomi.

"Kalau saat ekonomi bagus sih lain persoalan, ini saat kondisi ekonomi tdk bagus, rupiah anjlok, BBM mengalami kenaikan, dan lain sebagainya," pungkasnya.

Berita Lainnya
×
tekid