PDIP jawab usulan Gerindra, usung kader terbaik di Pilpres 2024
Namun demikian, PDI Perjuangan menyebutkan, peluang kerja sama dengan Gerindra masih sangat terbuka.

Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto mengatakan bahwa partainya belum bisa menyampaikan sikap perihal usulan duet Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di Pilpres 2024. Menurut Hasto, seluruh keputusan, partai baik soal pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) maupun tokoh yang akan diusung, merupakan ranah Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri.
"Ya, nanti Ibu Megawati Soekarnoputri yang akan memutuskan pasangan yang terbaik dan sesuai dengan yang menjadi harapan rakyat," kata Hasto kepada wartawan, Senin (13/3).
Hasto menjelaskan, kewenangan Megawati memutuskan pencapresan sudah berjalan di PDIP selama ini. Hal tersebut bisa dilihat dari pengusungan Joko Widodo (Jokowi) sebagai capres pada Pilpres 2014 dan 2019.
"Jadi, kalau kita lihat secara empiris pada 2014 dan 2019, maka tahapannya, Ibu Megawati Soekarnoputri menetapkan calon presiden dari internal PDI Perjuangan, pada saat itu adalah Bapak Jokowi," ujar Hasto.
Hasto pun menegaskan bahwa calon capres harus berasal dari kader PDIP. Namun demikian, peluang kerja sama dengan Gerindra masih sangat terbuka.
"Ya penawaran kerjasama tentu saja dalam rangka calon presiden, berasal dari PDI Perjuangan. Sebagai partai pemenang pemilu dengan kepercayaan rakyat dua kali berturut-turut, tentu saja kami akan mengusung calon presiden dan inilah sebagai konsekuensi dari keputusan Kongres Ke-lima pada 2019," katanya.
Sebelumnya, analis politik sekaligus Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC-ASIA) Zaenal A Budiyono menilai, wacana menduetkan Prabowo dan Ganjar bakal sulit terwujud.
Menurut Zaenal, isyarat Gerindra mulai mendorong duet Prabowo-Ganjar bisa jadi karena 'restu' pihak Istana. Itu setidaknya terlihat dari endorse Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke dua nama tersebut. Sebaliknya, kata Zaenal, Jokowi tidak melakukannya untuk nama Capres lain, seperti Anies Baswedan atau Puan Maharani.
"Ditambah dengan meningkatnya frekuensi kehadiran ketiganya (Jokowi, Ganjar, dan Prabowo) di sejumlah momen, semakin menguatkan dugaan ke arah sana," kata Zaenal di Jakarta, Senin (13/3).
Masalahnya, kata Zaenal, Hashim mensyaratkan Prabowo harus sebagai capres, sementara di banyak survei, justru elektabilitas Ganjar yang di atas Prabowo.
Hal ini, menurut Zaenal akan menjadikan negoisasi berjalan sulit, karena seharusnya jika mengikuti teori cottail effect, maka calon dengan elektabilitas tertinggi, seharusnya yang menjadi capres.
"Itu juga yang dilakukan Jokowi di 2014 dan 2019, di mana dua wakilnya kala itu justru lebih senior. Terbukti Jokowi
menang mengikuti teori tersebut," katanya.

Derita jelata, tercekik harga pangan yang naik
Senin, 21 Feb 2022 17:25 WIB
Menutup lubang “tikus-tikus” korupsi infrastruktur kepala daerah
Minggu, 13 Feb 2022 15:06 WIB
Segudang persoalan di balik "ugal-ugalan" RUU IKN
Minggu, 23 Jan 2022 17:07 WIB
Cerita mereka yang direpresi di BRIN: Dari teguran hingga pemotongan tukin
Selasa, 21 Mar 2023 12:10 WIB
Benarkah thrifting mengancam bisnis lokal?
Senin, 20 Mar 2023 18:55 WIB