sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Revisi UU ITE mendesak

Revisi perlu dilakukan karena pasal-pasal karet di dalam UU ITE telah memakan banyak korban. 

Kudus Purnomo Wahidin Rakhmad Hidayatulloh Permana
Kudus Purnomo Wahidin | Rakhmad Hidayatulloh Permana Senin, 04 Feb 2019 21:09 WIB
Revisi UU ITE mendesak

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mendesak untuk dievaluasi dan direvisi. Menurut Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie, revisi perlu dilakukan karena pasal-pasal karet di dalam UU ITE telah memakan banyak korban. 

"UU ITE itu harus dievaluasi kembali karena sudah banyak memakan korban yang tidak perlu. Bahkan, (UU ITE) ini sudah mirip dengan pasal-pasal karet di UU Subversif yang sudah pernah dihapus Mahkamah Konstitusi dulu," ujar Jimly kepada di ICMI Center, Warung Jati Timur, Jakarta Selatan, Senin (4/2).

UU ITE disahkan pada 21 April 2008 atau pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurut catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), sudah ada lebih dari 200 orang dilaporkan ke polisi karena diduga melanggar UU ITE sejak 2008 hingga 2018. 

Tak hanya warga biasa, sejumlah figur publik ikut terjerat oleh UU ITE di antaranya mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (BTP) dan musikus Ahmad Dhani Prasetyo. BTP baru saja menyelesaikan masa hukumannya di Mako Brimob sedangkan Dhani baru beberapa hari mendekam di Rutan Cipinang. 

Menurut Jimly, pada mulanya UU ITE lahir dengan niatan positif, yakni mengerem kebebasan berekspresi tanpa batas yang cenderung mengarah ke ujaran kebencian. Namun, pada praktiknya, penggunaan UU ITE justru 'keluar dari rel'.

Alih-alih menjadi pengontrol penyebaran ujaran kebencian, menurut Jimly, UU ITE justru rentan menjadi menghambat proses demokrasi Indonesia dan merenggut kebebasan berekspresi. 

"Hal-hal semacam itu jika dibiarkan, saya khawatir akan mengancam dan mencoreng wajah demokrasi kita yang sudah terbangun dengan baik," imbuh mantan Ketua MK itu.

Desakan revisi UU ITE juga dilontarkan juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Dahnil Anzar Simanjuntak. Menurut Dahnil, pasal-pasal karet dalam UU ITE kerap disalahgunakan pihak pemerintah untuk membungkam suara-suara kritis. 

Sponsored

"Pasal karet yang selalu digunakan adalah pasal 27 ayat 3 maupun pasal 28 ayat 2 ini selalu dikenakan. Terhadap Dhani kalau enggak salah pasal 28 ayat 2," tuturnya. 

Di dalam pasal 28 ayat 2 UU ITE, disebutkan bahwa 'setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).' Namun, frasa 'tanpa hak' sama sekali tidak disertai penjelasan memadai. 

Menurut catatan BPN Prabowo-Sandi, Dahnil mengatakan lebih dari 35% pelapor yang menggunakan UU ITE sebagai senjata berasal dari kalangan pejabat negara. "Anda bayangkan ini sinyal sederhana bahwasanya memang Undang-Undang ITE ini menjadi alat buat pejabat negara membungkam kritik," jelasnya. 

Meskipun disahkan pada era SBY, Dahnil mengatakan, UU ITE paling banyak digunakan di era pemerintahan Jokowi. UU ITE, kada dia, paling banyak digunakan pada era kampanye Pilgub DKI Jakarta, yakni sebanyak 84 kasus.

"Di tahun 2017, (ada) 51 kasus. Korban rata-rata masyarakat awam 30% dan pelapor pejabat negara 35%. Peristiwa paling banyak dan di tangani itu di DKI Jakarta presentasinya 61,80 persen," tutur Dahnil.

Lebih lanjut, Dahnil mengatakan, tim BPN Prabowo-Sandi saat ini tengah menyiapkan materi untuk merevisi UU ITE. "Komitmennya nanti ketika Pak Prabowo dan Bang sandi memimpin kami pastikan undang-undang ini akan direvisi," tuturnya.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani meminta kubu Prabowo-Sandi tak hanya mengumbar kritik terkait UU ITE di ruang publik. Menurut Arsul, Prabowo bisa memberdayakan kadernya di parlemen untuk menginisiasi revisi UU. 

"Jangan hanya ramai di ruang publik saja, apalagi medsos, tetapi kewenangannya sebagai legislator tidak didayagunakan," ujar Arsul. 

 


 

Berita Lainnya
×
tekid