sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Soal putusan MK, Wakil Ketua KPK: Ada dahaga terhapus

Putusan tersebut dapat menumbuhkan kembali kehidupan politik yang baik.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Rabu, 11 Des 2019 17:44 WIB
Soal putusan MK, Wakil Ketua KPK: Ada dahaga terhapus

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang, menyambuk baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ketentuan mantan narapidana korupsi baru dapat mengajukan diri menjadi pejabat publik setelah lima tahun pascamasa hukumannya berakhir.

"Apa yang diputuskan MK, paling tidak membuat sebagian dahaga terhapus di tengah Undang-Undang KPK dan Undang-Undang Tipikor yang belum ideal itu," kata Saut, saat dihubungi melalui pesan singkat, Rabu (11/12).

Putusan tersebut dapat menumbuhkan kembali kehidupan politik yang baik. "Paling tidak, sedikit terobati apa yang kami minta perlunya politik cerdas berintegitas," tutur dia.

Dengan putusan itu, Saut meyakini, keadilan hukum di Indonesia masih bergerak, meski berjalan lambat.

"Revolusi mental seperti yang akan kita lihat lima tahun mendatang, juga akan tergantung pada kita semua, mau gak membangun nilai atau hanya so and so terus," tutup Saut.

Seperti diketahui MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada terkait syarat mantan terpidana korupsi mencalonkan diri menjadi kepala daerah.

Gugatan tersebut diajukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK Anwar Usman dalam pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta, Rabu.

ICW dan Perludem selaku pemohon sebelumnya menggugat Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang syarat bagi warga negara, termasuk terpidana mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Pasal 7 Ayat (2) Huruf g UU Pilkada menyatakan syarat calon kepala daerah tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Pemohon menilai pasal itu membuka kesempatan mantan terpidana, khususnya kasus korupsi, untuk menjadi calon kepala daerah tanpa masa tunggu setelah menjalani hukuman.

Selain itu pasal tersebut juga dapat dimaknai bahwa mantan terpidana korupsi bisa langsung mencalonkan diri menjadi kepala daerah setelah mengumumkan rekam jejaknya kepada publik.

Sponsored

Oleh karena itu pemohon meminta Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pasal 7 Ayat (2) Huruf g UU Pilkada tidak mengikat sepanjang tidak dimaknai pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, bagi mantan terpidana telah melewati jangka waktu 10 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, jujur atau terbuka mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana dan bukan pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

Anwar Usman pada amar putusannya mengabulkan sebagian permohonan dari ICW dan Perludem tersebut.

Anwar menyatakan Pasal 7 Ayat (2) Huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Artinya, mantan terpidana baru bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah setelah melalui masa tunggu lima tahun usai menjalani pidana penjara.

Dengan demikian MK mengabulkan permohonan adanya masa tunggu bagi mantan terpidana selama lima tahun sebelum mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Adapun permohonan ICW dan Perludem mengenai waktu masa tunggu selama 10 tahun, tidak dikabulkan.

MK kemudian memutuskan mengubah bunyi pasal 7 Ayat (2) Huruf g UU Pilkada, yakni sebagai berikut:

g. (i) Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali terhadap pidana yang melakukan tindak pidana kealfaan dan tindak pidana politik, dalam suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif, hanya karena pelakunya memiliki pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa, (ii) bagi mantan terpidana yang telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana, dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang. (Ant)

Berita Lainnya
×
tekid