Menambang cuan dari budidaya dan ekspor tanaman hias

Dengan kekayaan florikultura Indonesia, ekspor tanaman hias terbilang masih sangat minim.

Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.

Tahun 2007, tanaman hias Gelombang Cinta bikin geger satu Indonesia. Bagaimana tidak tanaman bernama latin Anthurium Plowmanii (Wave of Love) itu tetiba harganya melambung tinggi hingga mencapai puluhan juta rupiah. Namun beberapa tahun kemudian, harga tanaman yang biasa menghiasi pekarangan ini kembali turun seiring dengan semakin sepinya peminat.

Meski begitu, Eddy Pranoto (41) tidak lelah mencintai tanaman hias jenis Anthurium. Sebagai kolektor, tak hanya Gelombang Cinta saja yang dirawatnya, ia juga rajin berburu semua jenis Anthurium sejak tahun 2004. Semula, kecintaan pada Anthurium membawanya pada ajang-ajang kontes dengan menjadikan beberapa tanaman sebagai indukan. Tanaman mother plant ini harus mempunyai karakter daun yang bagus dan performa kesehatan baik  demi menciptakan bibit-bibit yang unggul. 

Hobinya merawat dan membudidayakan tanaman hias itu pada akhirnya membuat lelaki asal Salatiga, Jawa Tengah ini mantap berbisnis tanaman hias hingga ekspor ke mancanegara. Tak jarang dia menelurkan beragam jenis tanaman baru atau hybrid dari hasil persilangan.

“Pasang surut sudah kita alami. Kalau pemilihan produknya bagus pasarnya stabil,” kisahnya kepada Alinea.id ditemui saat pameran tanaman hias Floriculture Indonesia International (FLOII) Expo 2023 di ICE BSD, Tangerang, Kamis, (28/9).

Hasil budidaya Anthurium pun kerap ia jual. Tak hanya ke pasar domestik juga tetapi juga ke luar negeri sebut saja Filipina, Vietnam, Thailand, hingga kawasan Eropa seperti Belgia. Geliat ekspor ini sudah dilakukan sejak tiga tahun silam atau ketika pandemi mendera tanah air.