Pelestarian wastra Indonesia dan setumpuk tantangannya

Pelestarian kain tradisional masih terhambat banyak hal.

Ilustrasi Alinea.id/Muji Prayitno.

Batik dan tenun tanpa sadar membuat Trisna Dewi (49) jatuh hati. Pesona wastra Indonesia itu kerap ia pamerkan kala menghadiri acara-acara resmi. Lambat laun, ia menjadi kolektor wastra dan tanpa ragu bergabung dengan Komunitas Cinta Berkain 2010 lalu.

“Saat ada perkumpulan atau seminar yang dihadiri oleh arkeolog-arkeolog, mereka semua pakai wastra. Dari situ, enggak tahu sejak kapan, saya jadi berfikir kok ini (wastra-red) menarik,” kisahnya kepada Alinea.id, Jumat (13/8).

Di dalam komunitas itu, dirinya diharuskan untuk selalu terbiasa mengenakan kain setiap hari. Batik Solo peninggalan sang nenek menjadi koleksi pertamanya. Selanjutnya, Dewi kerap membeli wastra dari berbagai daerah.

Ahli arkeologi di Universitas Udayana, Bali itu kini telah memiliki beragam wastra yang berasal dari Sabang hingga Merauke. “Ada yang dari NTT, itu dari Kupang, Alor, Sumba, Flores. Terus sudah ada juga dari Toraja, Lombok, Bali,” rincinya.

Ibu dua anak itu mengaku, ke depannya, dia masih akan terus melanjutkan kegemarannya dalam berburu kain tradisional. Pasalnya, koleksinya masih belum lengkap seperti wastra dari Indonesia bagian barat.