Rokok ketengan dan jalan masuk para remaja menuju masa depan suram

Terbukanya akses terhadap rokok, ditambah harga per batang yang hanya di kisaran Rp2.000 per batang, membuat anak-anak mudah membeli.

Ilustrasi merokok. Foto Freepik.

Bukan rahasia lagi jika Indonesia dianggap sebagai negara yang ramah candu. Hal ini terlihat dari masih diperbolehkannya penjualan rokok ketengan atau batangan di warung-warung kelontong maupun pedagang asongan.

Dengan terbukanya akses terhadap rokok, ditambah harga yang hanya di kisaran Rp2.000 per batang, membuat anak-anak dan remaja sangat mudah membeli produk tembakau ini. Peneliti dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI) I Dewa Made Karma Wisana mengungkapkan, selama 1998 – 2021, harga rokok memang mengalami kenaikan, namun tidak begitu besar.

“Secara rata-rata, kenaikan cukup landai atau tidak cukup besar,” katanya, di Jakarta, Selasa (12/12).

Tidak hanya itu, menurut Dewa, harga rokok Indonesia pun jauh lebih murah dibandingkan banyak negara lain di dunia. Mengutip data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada 2018, harga rokok di Tanah Air hanya sebesar US$1,82 per bungkus, jauh lebih rendah dari negara miskin seperti Yaman (US$2,56) atau negara Asia, seperti India (US$2,77) dan Malaysia (US$4,19). Bahkan, harga rokok di Indonesia tidak sebanding dengan harga rokok di negara-negara maju, misalnya Singapura (US$10,35), Amerika Serikat (US$6,86), atau Selandia Baru (US$16,08).

Kemudian, saat harga rokok merangkak naik, pendapatan per kapita masyarakat Indonesia pun turut terkerek, baik oleh perbaikan ekonomi nasional maupun inflasi. Dus, harga rokok pun semakin terjangkau untuk dibeli masyarakat dari berbagai lapisan dan usia, termasuk anak-anak dan remaja. Apalagi, kini rata-rata uang saku anak-anak sekolah lebih dari Rp50.000 per minggu.