close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi merokok. Foto Freepik.
icon caption
Ilustrasi merokok. Foto Freepik.
Bisnis
Rabu, 13 Desember 2023 20:52

Rokok ketengan dan jalan masuk para remaja menuju masa depan suram

Terbukanya akses terhadap rokok, ditambah harga per batang yang hanya di kisaran Rp2.000 per batang, membuat anak-anak mudah membeli.
swipe

Bukan rahasia lagi jika Indonesia dianggap sebagai negara yang ramah candu. Hal ini terlihat dari masih diperbolehkannya penjualan rokok ketengan atau batangan di warung-warung kelontong maupun pedagang asongan.

Dengan terbukanya akses terhadap rokok, ditambah harga yang hanya di kisaran Rp2.000 per batang, membuat anak-anak dan remaja sangat mudah membeli produk tembakau ini. Peneliti dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI) I Dewa Made Karma Wisana mengungkapkan, selama 1998 – 2021, harga rokok memang mengalami kenaikan, namun tidak begitu besar.

“Secara rata-rata, kenaikan cukup landai atau tidak cukup besar,” katanya, di Jakarta, Selasa (12/12).

Tidak hanya itu, menurut Dewa, harga rokok Indonesia pun jauh lebih murah dibandingkan banyak negara lain di dunia. Mengutip data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada 2018, harga rokok di Tanah Air hanya sebesar US$1,82 per bungkus, jauh lebih rendah dari negara miskin seperti Yaman (US$2,56) atau negara Asia, seperti India (US$2,77) dan Malaysia (US$4,19). Bahkan, harga rokok di Indonesia tidak sebanding dengan harga rokok di negara-negara maju, misalnya Singapura (US$10,35), Amerika Serikat (US$6,86), atau Selandia Baru (US$16,08).

Kemudian, saat harga rokok merangkak naik, pendapatan per kapita masyarakat Indonesia pun turut terkerek, baik oleh perbaikan ekonomi nasional maupun inflasi. Dus, harga rokok pun semakin terjangkau untuk dibeli masyarakat dari berbagai lapisan dan usia, termasuk anak-anak dan remaja. Apalagi, kini rata-rata uang saku anak-anak sekolah lebih dari Rp50.000 per minggu.

“Remaja itu membeli rokok karena murah dan mudah didapat di warung. Beberapa juga membelinya satuan atau batangan, enggak harus sebungkus,” ujar Dewa.

Dalam studi terbaru Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), yang bekerja sama dengan Pusat Kajian Jaminan Sosial UI (PKJS UI) dan University of Illinois Chicago (UIC) mengungkapkan, dari 741 perokok anak yang didapat dari data GYTS (Global Youth Tobacco Survey) 2019 dan 49 siswa yang menjadi peserta diskusi kelompok dengan rentang usia di antara 15 tahun hingga 19 tahun mengaku mencoba rokok pertama kali dengan membeli rokok ketengan. Kata Pengamat ekonomi dari UI ini, dari mencoba satu batang, kemudian berkembang menjadi candu.

“Ada beberapa tahapan, persiapan, percobaan awal, ekperimentasi, konsumsi rutin, sampai banyak bisa keluar (konsumsi rokok). Jadi kalau mereka memulai dengan rokok ketengan tersebut, itu sebetulnya adalah pintu masuk untuk menjadi ketergantungan,” beber Dewa.

Dari studi lain CISDI memperlihatkan bahwa untuk anak usia 15 tahun hingga 19 tahun rata-rata mengonsumsi 8 batang rokok per hari. Jumlahnya meningkat menjadi rata-rata 12 rokok per hari, saat usia seseorang
di rentang 20 tahun hingga 24 tahun.

Selanjutnya, di usia 25 tahun hingga 40 tahun, orang akan merokok rata-rata 13 batang per hari. Jumlah ini bertahan hingga seseorang mencapai usia 60 tahun. Setelah itu, jumlah batang rokok yang diisap oleh orang berusia lebih dari 60 tahun akan berkurang menjadi 11 batang dalam sehari.

“General trennya memang begitu, dengan bertambahnya usia, konsumsi rokok akan semakin banyak,” lanjutnya.

Sementara itu, pada kesempatan yang sama, Senior Research Officer for Tobacco Control Advocacy CISDI Gea Melinda bilang, para remaja sangat sadar jika uang saku yang mereka miliki terbatas. Hal ini lah yang kemudian membuat mereka bertahan mengonsumsi rokok batangan. Ini terbukti dari hasil dtudi kuantitatif CISDI yang menunjukkan 7 dari 10 anak membeli rokok eceran dalam 30 hari terakhir.

Tidak hanya itu, ketimbang rokok bungkus, rokok batangan juga lebih mudah dibeli. Bahkan, warung-warung kelontong di dekat sekolah mereka tak segan menjual rokok ketengan kepada anak-anak yang masih mengenakan seragam.

Sebaliknya, saat membeli rokok bungkus di minimarket, beberapa penjual akan menanyakan identitas anak-anak tersebut. Tak heran, jika dengan berbagai kemudahan ini, anak-anak semakin sulit untuk berhenti merokok.

“Walaupun alasan remaja membeli rokok ketengan kan karena murah, tapi ternyata pengeluaran mereka untuk membeli rokok ketengan dalam jangka waktu seminggu, ternyata pengeluarannya tidak juga sekecil yang kita bayangkan,” ujar Gea.

Sebab, pengeluaran para remaja untuk membeli rokok ketengan dalam seminggu bisa mencapai Rp30.00 hingga Rp200.000. Jumlah ini bisa menghabiskan setengah bahkan lebih besar dari uang saku yang mereka miliki.

Tidak hanya itu, pengeluaran konsumsi zat adiktif ini juga setara dengan separuh dari pengeluaran per kapita mingguan penduduk Indonesia pada Maret 2023. “Jadi, bisa kita bayangkan betapa besar resource yang mereka keluarkan untuk membeli produk tembakau di usia yang begitu muda,” imbuhnya.

Berdasar temuan ini, Gea pun berharap agar pemerintah dapat melarang penjualan rokok ketengan di Tanah Air. Kebijakan ini menjadi penting untuk diberlakukan, karena dari pelbagai studi terdahulu, terlihat jelas bahwa pelarangan penjualan rokok ketengan bisa efektif menekan prevalensi perokok anak.

“Sebenarnya kebijakan pelarangan penjualan rokok ketengan ini buka hal baru di dunia. Sudah ada 87 negara di dunia yang melarang penjualan rokok ketengan. Indonesia adalah satu dari sedikit negara di ASEAN yang belum melaksanakan kebijakan ini,” tegasnya.

Saat kebijakan ini telah diberlakukan, harus dibarengi dengan pengawasan dan penegakan hukum yang ketat. Sehingga, tidak ada pihak yang curi-curi menjajakan rokok batangan. Selain itu, untuk menekan angka perokok anak, pemerintah juga perlu mengimplementasikan usia minimum penjualan produk tembakau dan memberi penegasan kepada toko-toko yang menjual produk tembakau untuk tidak menjual rokok konvensional maupun elektronik kepada anak di bawah usia 18 tahun.

Lalu, toko atau penjual produk tembakau pun seharusnya memiliki lisensi atau izin khusus untuk memasarkan produk adiktif ini. Hal ini berfungsi juga untuk menganulir pihak-pihak yang berniat menjual rokok batangan atau mengurangi penjualan rokok ilegal.

“Kami juga menyarankan pemerintah untuk mengatur jumlah minimum batang per kemasan rokok. Hal ini dilakukan untuk menghindari praktik industri yang mengatur kemasan rokok kecil, sehingga harganya masih terjangkau bagi remaja,” kata Gea.

Terakhir, pemerintah juga harus menaikkan tarif cukai rokok, setidaknya 25% setiap tahunnya dan menyederhanakan tarif. Ini bertujuan untuk mengungkit harga rokok yang kini masih terlampau murah.

“Hal ini bertujuan sama, yaitu untuk membuat rokok tidak lagi terjangkau terutama bagi para remaja,” tandas Gea.

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Berita Terkait

Bagikan :
×
cari
bagikan