

Kucing-kucingan pelapak rokok ilegal di DKI

Udin--bukan nama sebenarnya--heboh. Baru satu jam menggelar lapak dagangan, Udin berbenah. Bungkus-bungkus rokok tak berpita cukai buru-buru ia masukan ke dalam tas. Meja dagangan ia lipat sebelum ia sembunyikan di bawah terpal berwarna biru.
"Ada temen deket-deket sini ngabarin didatengin petugas. Bukan razia sih, tapi dimintai duit aja. Daripada kenapa-napa, mending tutup dulu," kata Udin saat berbincang dengan Alinea.id di sebuah warung kopi di kawasan Tanjung Duren, Jakarta Barat, Sabtu (7/6) malam itu.
Udin sengaja melipir ke warkop itu. Ia tak berniat untuk pulang. Jika dirasa sudah aman, Udin berencana membuka kembali lapak rokok ilegalnya. "Cuma baru berapa bungkus (yang terjual). Kan, sayang," ujar pria berusia 35 tahun itu.
Jalan di permukiman padat penduduk itu ia pilih sebagai tempat menggelar lapak lantaran cukup tersembunyi. Dekat dengan pasar, jalan itu juga tergolong ramai dilalui orang.
Sehari, Udin bercerita bisa menjual hingga kisaran 20-40 bungkus rokok tak bercukai. Yang termahal dibanderol Rp15 ribu per bungkus, sedangkan yang termurah Rp8 ribu. Merek-mereknya terasa asing, mulai dari YS-Pro Mild hingga Dubai.
"Yang ini katanmya rasanya mirip Gudang Garam. Banyak yang beli. Ya, lumayan kalau lagi laris bisa dapet untung sampe Rp100 ribu," kata dia sambil menunjukkan sebungkus rokok yang didominasi warna merah.
Tanpa merinci, Udin mengaku mendapatkan rokok-rokok tak bercukai itu dari seorang rekan. Sang rekan, kata Udin, mendapat kiriman dari "pengepul" di salah satu kota di Jawa Timur. Merek-merek yang dikirim tak selalu sama.
"Tapi, rata-rata harganya segitu (kisaran Rp8 ribu-Rp15 ribu). Mungkin karena murah, jadi yang minat juga banyak. Kan sekarang rokok (berpita cukai) emang lagi mahal banget," kata dia.
Tak seperti Udin yang kucing-kucingan, Dhanu, 26 tahun, menjajakan rokok tak bercukai di warung yang ia jaga di sebuah kawasan di Jakarta Timur. Merek-merek yang biasanya ia jual semisal Balvir, Smith, dan Blizz.
"Kalau untuk untung, saya mengabil keuntungan itu Rp2 ribu sampai Rp3 ribu (per bungkus). Jauh lebih besar (daripada jual rokok yang bercukai)," kata Dhanu kepada Alinea.id.
Dhanu mengaku sudah enam bulan menjual rokok tak bercukai. Ia tak tahu persis di mana rokok itu diproduksi. Ia hanya menyebut ada yang menyuplai rokok itu ke warungnya secara berkala.
"Di sini, kebanyakan anak muda sih (yang beli). Jarang kalau orang tua," kata Dhanu menceritakan mayoritas konsumen rokok ilegal yang ia jual.
Harga dan rasa yang tak jauh berbeda dengan rokok bercukai jadi alasan utama para perokok beralih ke rokok ilegal. Itu setidaknya dibenarkan, Riski, 22 tahun. Ia mengaku sudah lebih dari setahun beralih ke rokok tak bercukai.
Biasanya, Riski membeli Eees--plesetan dari Esse--dan Smith yang rasanya konon mirip Marlboro. Karena bukan perokok berat, Riski biasanya membeli sebungkus rokok favoritnya untuk dihabiskan selama dua hari.
"Ada juga (merek) Sulthan, ya. Di Cikarang banyak tuh... Kalau gue sih, cukai cuma hanya stempel aja. Kalau rasa mah, menurut gue, sama aja," kata Riski kepada Alinea.id.
Riski membeli rokok tak bercukai di warung Madura di dekat rumahnya. Rokok-rokok tak bercukai itu, kata dia, biasanya hanya dijual kepada konsumen langganan. Tak seperti rokok bercukai, rokok ilegal tak dipajang di etalase warung.
“Jadi, langsung sebut merek, 'Bang, beli Smith, Bang!' Karena disebut beli rokok apa, takutnya ada orang yang di belakang kita mau beli. Eh, ternyata dia itu intel apa gimana. Kan kita enggak tau. Nah, sekarang di (warung) Madura, ngomongnya langsung ke (merek) rokoknya," ujar Riski.
Kepada Alinea.id, Fawaz, konsumen rokok tak bercukai lainnya, juga menceritakan hal serupa. Ia mengaku pindah ke rokok ilegal karena harganya yang jauh lebih murah ketimbang rokok bercukai.
Untuk menemani kesehariannya, Fawaz mengandalkan rokok bermerek Blizz. Sebungkus dengan isi 20 batang hanya dibanderol Rp18 ribu. Rasanya, kata Fawaz, tak kalah dibanding rokok bercukai.
"Namanya SDM orang Indonesia begini. Masyarakat (kelas) menengah ke bawah rata-rata kan. Jadi, kita mau ngerokok dengan harga murah, ya, beli yang ilegal," ujar dia.
Rokok ilegal saat ini tengah jadi buruan aparat keamanan. Di berbagai daerah, aparat kepolisian dan petugas Ditjen Bea Cukai mengungkap kasus-kasus peredaran rokok ilegal.
Sepanjang 2024, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat kerugian negara akibat peredaran rokok ilegal mencapai Rp97,81 triliun.



Berita Terkait
Di balik anjloknya saham Gudang Garam
Perang di Sudan adalah lahan subur bagi bisnis industri rokok raksasa
Satu dekade pembatasan tembakau, jumlah perokok di Beijing turun 4%
Meski dilarang, polisi Singapura laporkan 4 ribu kasus vaping selama 2023-2024

