Transaksi digital konsumen belum dilindungi

Ekonomi digital diperkirakan akan tumbuh pesat dalam pengembangan teknologi big data, konektivitas, dan kecerdasan artifisial.

Dalam diskusi "Perlindungan Konsumen Bukan Lagi Pilihan" di kantor Kementerian Perdagangan, Selasa (7/2), Badan Perlindungan Konsumen Nasional menyosialisasikan rekomendasi untuk mengantisipasi insiden dalam transaksi ekonomi digital. Alinea.id/Robertus Rony

Peran perlindungan konsumen mengemban tugas baru dalam ranah transaksi digital. Terkait itu, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mendesak penyusunan rancangan undang-undang perlindungan konsumen (RUUPK).

“Pemerintah harus mengambil langkah segera untuk mengakomodir ledakan potensi insiden dalam perlindungan konsumen di seluruh Indonesia,” kata Edib Muslim, anggota Komisi Komunikasi dan Edukasi BPKN dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Perdagangan RI, Selasa (7/2).

Beberapa insiden perlindungan hak konsumen itu antara lain terjadi dalam bidang transportasi daring, peserta asuransi kesehatan, dan perdagangan barang dan jasa secara daring. Edib menekankan, pentingnya perangkat hukum karena arah ekonomi digital tak sebatas bertumpu pada transaksi digital melalui e-commerce.

Setiap transaksi digital, kata dia, menyimpan dan mengolah data transaksi konsumen. Hal ini, menjadi potensi bagi pengembangan lini bisnis yang berlangsung secara digital. Akibatnya peluang insiden juga akan semakin besar.

Maka diperlukan cakupan perlindungan konsumen yang meluas meliputi proses produksi, distribusi, transaksi, dan pascatransaksi. Atas dasar itulah, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, ujar Edib, perlindungan konsumen nasional merupakan salah satu bentuk perlindungan pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan bagi bangsa Indonesia.