Ombudsman minta 2 aturan penghambat smart city Surabaya diubah

"Jika tidak direvisi, berpotensi sebagai tindakan malaadministrasi."

Ombudsman meminta 2 aturan daerah yang menghambat pelaksanaan smart city di Kota Surabaya, Jatim, diubah. Dokumentasi Ombudsman

Sejumlah pemerintahan daerah (pemda) di Indonesia mulai mengadopsi konsep kota cerdas (smart city) dalam kegiatan penyelenggaran pemerintahannya. Menurut Ombudsman, setidaknya ada tiga daerah yang menjadi rujukan (role model) penerapan smart city, yakni Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, DKI Jakarta, dan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya.

Kendati begitu, dalam amatan Ombudsman, dua regulasi yang memberlakukan biaya retribusi tinggi berpotensi menghambat "Kota Pahlawan" menjadi smart city. Yakni, Peraturan Daerah (Perda) Surabaya Nomor 5 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Jaringan Utilitas dan Peraturan Wali Kota (Perwali) Surabaya Nomor 1 Tahun 2022 tentang Formula Tarif Sewa Barang Milik Daerah Berupa Tanah dan/atau Bangunan.

"Pemko Surabaya harus segera merevisi Perda Kota Surabaya Nomor 5/2017 tentang Penyelenggaraan Jaringan Utilitas dan Perwali Kota Surabaya Nomor 1/2022 tentang Formula Tarif Sewa Barang Milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan. Pasalnya, ketentuan tersebut belum menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya sehingga jika tidak direvisi, berpotensi sebagai tindakan malaadministrasi," ujar anggota Ombudsman RI, Hery Susanto, dalam seminar "Pengelolaan Insfratruktur Telekomunikasi yang Menunjang Smart City dan Pelayanan Publik" di Narita Hotel, Kota Surabaya, Jawa Timur (Jatim), pada Kamis (12/10).

Ia melanjutkan, Pemkot Surabaya bisa merujuk Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dalam merancang aturan tentang pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD). "Pemerintah menetapkan kebijakan fiskal nasional yang berkaitan dengan PDRD, termasuk dapat menetapkan tarif PDRD yang berlaku secara nasional."

Dicontohkannya dengan ketentuan tentang sewa seluruh dan/atau sebagian lahan di permukaan maupun di bawah permukaan tanah yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 115 Tahun 2020 tidak berlaku terhadap hal yang berkaitan dengan fasilitas publik. Tujuannya, fasilitas publik dapat dimanfaatkan secara optimal dengan biaya yang efisien.