Terungkap bukti baru pembersihan Rohingnya

Bukti baru terkait pembersihan kelompok Rohingnya ditemukan. Militer Myanmar kian brutal menculik dan merampok kelompok ini.

Ilustrasi korban tindak kekerasan militer/ Pixabay.com

Operasi penyerangan yang dilancarkan pasukan keamanan Myanmar terhadap penduduk Rohingya di negara bagian Rakhine Utara masih jauh dari kata usai, terang Amnesty International, Kamis (8/2). Dari hasil wawancara dengan 19 orang Bangladesh, organisasi ini menemukan fakta adanya pendatang baru selama Desember dan Januari. Kelaparan, penculikan, dan penjarahan properti memaksa 688.000 orang Rohingnya lari melintasi perbatasan, sejak Agustus silam.

"Dimanipulasi oleh kebohongan dan penyangkalan dari pihak otoritas serta upaya untuk menolak dilakukannya penyelidikan secara independen, militer Myanmar terus menampik tuduhan atas kejahatan kemanusiaan," tegas Matthew Wells, Senior Crisis Advisor di Amnesty International, yang baru saja kembali ke organisasi tersebut selepas perjalanan penelitian dari Cox's Bazar, Bangladesh.

Pada 25 Agustus 2017, tentara Myanmar meluncurkan operasi kekerasan terhadap penduduk sipil Rohingya di seluruh negara bagian Rakhine Utara. Aksi ini merupakan balasan serangan yang dilakukan kelompok bersenjata Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), pada 30 pos keamanan militer. Serangan ini diwarnai kejahatan kemanusiaan seperti pembunuhan wanita, pria, dan anak-anak. Juga, pemerkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya terhadap perempuan dan anak perempuan, deportasi massal, serta pembakaran desa secara sistematis.

Aksi represif militer ini berbuntut krisis pangan di kalangan masyarakat Rohingnya. Dalam rilisnya, Amnesty International mengatakan, kelaparan dan krisis pangan terjadi setelah militer memblokir akses mereka ke sawah saat musim panen beberapa waktu lalu. Pasukan keamanan Myanmar juga terlibat dalam memfasilitasi pencurian ternak penduduk Rohingya dan membakar sejumlah pasar lokal serta memblokir akses ke pasar lainnya. Tindakan itu semua telah mengakibatkan kekurangan pangan dan menutup mata pencaharian penduduk Rohingya. Krisis panjang ini jauh dari kata usai, akibat usaha Pemerintah Myanmar yang selalu membatasi bantuan kemanusiaan ke negara bagian Rakhine Utara.

Dildar Begum (30), tiba di Bangladesh pada awal Januari 2018 setelah meninggalkan Desa Ka Kyet Bet Kan, dekat Kota Buthidaung. Dia menuturkan keluarganya mengalami krisis keuangan parah, karena militer memeras banyak uang dan mengancam akan membui suami. Selain itu, tentara militer juga menghalangi mereka dan penduduk desa Rohingya lainnya untuk memanen sawah. "Kami tidak bisa mendapatkan makanan, karena itulah kami melarikan diri," katanya.